Ku persembahkan nukilan ini buat abang sepupuku, sekaligus seorang sahabat tercinta almarhum "Gunawan Madjid" yang telah menutup kisah hidupnya dengan gemilang beberapa tahun silam.
Ketika suatu hari dia berkunjung ke tempat tinggalku, jauh sebelum dia memilih untuk hijrah ke ibukota, saat itu aku mengajaknya untuk menghirup udara segar ke luar rumah, sekedar menikmati suasana baru yang tentunya sangat jarang dirasakannya dikampung.
Sebagai seorang petani tradisional, tentu ia lebih banyak berkutat dengan rutinitasnya diladang, layaknya orang-orang yang tinggal dipedalaman. maka malam itu aku sengaja meluangkan waktu untuk bisa berlama-lama dengannya, karena dia hanya satu hari berkunjung ketempatku.
"Hana soe peu ek ie u blang (Gak ada yang mengairi sawah)"
Alasannya ketika kutanya kenapa harus buru-buru pulang.
Malam itu hujan deras mengguyur kota Lhokseumawe, lampu-lampu jalan yang tidak terlalu banyak terlihat semakin buram di selimuti bias hujan, beberapa penjaja makanan di pinggiran jalan meringkuk ditenda-tenda sempit yang mereka pasang seadanya. ku hangatkan tubuhku dengan menyalakan sebatang rokok sambil melirik ke arah sepupuku yang asyik memperhatikan kenderaan lalu lalang di seputaran simpang Lestari, aku tak begitu yakin dia fokus pada sesuatu yang sedang
dilihatnya.
Sengaja kami menyusuri emperan toko di sepanjang jalan perdagangan itu untuk menghindari hujan, sambil terus bercerita tentang kisah hidup dan pengalaman masing-masing. Sesekali kami terbahak saat mengulang kembali cerita-cerita dan kekonyolan masa lalu yang pernah kami nikmati bersama, mungkin Tak jauh berbeda denganku, sepertinya abang sepupuku juga menikmati kebersamaan di malam itu.
"Sebentar"
Serunya tiba-tiba, ia menghentikan langkah seperti orang kebingungan.
"Apakah kau mendengar sesuatu?"
Kuperhatikan sekeliling dengan mencoba lebih berkonsentrasi untuk mendengar sesuatu seperti yang dimaksud sepupuku.
"Hujan dan suara klakson mobil" Seruku setengah bercanda
Sepupuku memutar badannya, berjalan beberapa langkah kebelakang, dia berhenti di samping tembok Meunasah Kota. ada sejumput tanaman liar merambat didinding yang penuh coretan dan agak kumuh itu. Aku terus memperhatikan gerakannya, ia seperti memungut sesuatu dari tanaman tersebut, dengan tangan terkepal rapat ia mendekatiku, lalu dengan hati-hati ia membuka kepalannya dan memperlihatkan sesuatu yang bergerak ditelapak tangannya.
"Jangkrik" seruku berbinar
Aku baru paham dan menyadari, ternyata tadi dia mendengar suara seekor jangkrik lalu mencari asal suaranya. Luar biasa, dia berhasil menemukannya dan mampu mendengar suara seekor jangkrik, bahkan ditengah kebisingan dan derasnya suara hujan.
Sepupuku tersenyum puas sambil melepas kembali jangkrik tersebut.
"Hebat, Bang Wan bisa mendengar lebih baik dariku"
Kataku spontan sambil menepuk bahunya.
"Pendapatmu salah" Ujarnya tersenyum sambil menoleh kearahku.
"Pendengaranku tidak lebih baik dari mu"
Lagi-lagi ia tersenyum kearahku
"Mau kutunjukkan sesuatu?" Sambungnya.
Aku mengangkat bahu dengan senyum kecil. Sepupuku mengeluarkan sekeping uang logam dari sakunya, lalu menjatuhkannya perlahan dilantai depan sebuah toko boneka. Dentingan kecil yang ditimbulkan uang logam disela-sela derasnya suara hujan menarik perhatian banyak orang yang berseliweran diemperan itu, Ia menoleh ke arahku sambil memungut uang logam itu dan memasukkan kembali ke sakunya. Kami menjauh dari tempat tersebut
"Dentingan koin tadi tidak lebih keras dari suara jangkrik, kan?"
Postur tubuhnya yang lebih tinggi dariku semakin memudahkannya untuk berbisik dengan kalem ditelingaku, aku tidak bisa melihat matanya, bahkan tidak mampu menangkap getar suaranya, bisa jadi dia berkata setengah mengejek.
Tak punya pilihan, aku mengangguk setuju
"Tau ngak, kenapa aku bisa mendengar suara jangkrik dengan lebih baik darimu dan kenapa orang kota bisa mendengar dan menoleh ke arah uang logam yang ku jatuhkan tadi?"
Heheee... aku menghela nafas mendengar istilah "Orang kota", dia belum berubah, aku suka caranya berfikir dan mengurai makna, sesuatu yang membuatku selalu merasa tak lengkap bila pulang ke kampung tanpa bertemu dengannya.
"Tentu bukan karena orang desa bisa mendengar lebih baik dibandingkan orang kota, tapi karena secara naluriah kita selalu mendengar dengan lebih baik hal-hal yang biasanya kita perhatikan"
Aku menelan ludah mendengar kata-kata sepupuku saat itu. dulu kami pernah berdiskusi tentang cara pandang masyarakat kota yang menurutnya cenderung materialistis.
"Tidak semua memang"
Katanya saat itu.
Hujan semakin deras mengguyur kota Lhokseumawe, sebatang rokok kembali ku keluarkan dari bungkusan yang telah lembab, mungkin pengaruh udara basah dan tempias hujan yang terbawa angin ikut melembabkan pakaianku, Aku menyulutnya dengan perlahan, bukan untuk menghalau dingin dan menghangatkan tubuhku, tapi untuk mendengar suara geretan mancis yang selama ini tak pernah kuperhatikan.
Malam itu, di sepanjang emperan jalan perdagangan, kami menghabiskan waktu dengan gembira, disela-sela udara basah dan hujan lebat yang terus mengguyur, mengalir deras cerita-cerita tentang nasib dan hidup yang tak berupa, tentang pekat dan keheningan, tentang gelap dan kesepian.
Di emperan toko yang beku itu kami terus bercerita, tentang pakaian-pakaian bagus yang tak mampu kami beli, tentang patung-patung yang terpajang di etalase, tentang pintu-pintu toko yang telah terkunci rapat, tentang pribumi-pribumi yang semakin terpinggirkan.
Hingga larut malam, diemperan itu kami terus bercerita dengan riang, membelah malam, menyongsong pagi bersama udara yang semakin beku, tanpa baju tebal dan rasa dingin...
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhum...
Belum ada postingan yang membuat saya kembali dua kali. Seksama saya membacanya. Tak ada satu huruf pun yang terlewat. Sesungguhnya tak ada yang istimewa dari postingan ini dibandingkan dengan postingan milik Bang Halim yang lain.
Saya sedang mencari pesan di balik tulisan ini. Namun gara2 mengunyah postingan Bang Halim ini sampai dua kali, sepertinya malam ini saya tak butuh lagi makan malam.
Saleum.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Khak khak khakkk...
Alhamdulillah, Bang @zainalbakri tidak bisa menemukan pesan dibalik tulisan ini, meunyoe meuteume habis kita... hihiii wik...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Because SBD prices are declining, I was forced to drink at home only
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Saban hahahaaa...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
nice share buddy
good post
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
nice share buddy
good post
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kau hanya akan mendengar apa yg ingin kau dengar.. pelajaran yg luar biasa
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sayangnya tidak bisa ternukilkan dengan sempurna... heheee
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sayang jangkrik nya tidak dibahas habis, padahal masud dari dia menangkap jangkrik di tengah kota diantara emperan toko agar kita tahu membedakan antara jangkrik yang sebenarnya jangkrik dengan istilah "jangkrik bos" yang selama ini di pakai menjadi istilah orang kota, jangkrik bos juga digunakan untuk meminta sesuatu pada seseorang yang bermasalah, dan takut masalahnya terbuka, untuk bg Halim "jangkrik bos" wkwkwk.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Jadi teringat film warkop Bang @deniandepa... hihihiii
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Ungkapan yg luar biasa dari sebuah penghayatan yg luar biasa. Sangat luar biasa.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit