Teuku Umar menjalankan politik perang melalui perdamaian semu dengan Belanda, ia balik menyerang Belanda setelah memperoleh berbagai fasilitas, baik dana maupun persenjataan.
Teuku Umar bersama 15 pengikutnya menyerahkan diri kepada Belanda. Dan mengucap sumpah setia kepada Belanda di hadapan Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh, Jenderal Deijckerhoff. Pengucapan sumpah itu dilakukan di hadapan Teuku Kadli di makan Teungku Di Anjong di Gampong Pelanggahan. Tempat itu sengaja dipilih oleh Belanda, karena termasuk salah satu makam keramat. Belanda berharap Teuku Umar tidak mengingkari sumpahnya yang diucapkan di makam ulama itu.
Teuku Umar bersama para bawahannya sumber
Paul Van’t Veer, dalam buku “Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hourgronje” mengungkapkan, pada awalnya Teuku Umar memang mentaati sumpahnya. Ia membantu Belanda melakukan penyerangan terhadap pejuang Aceh di beberapa tempat. Atas kesetiannya kepada Belanda itu, Teuku Umar diberi gelar “Panglima Perang Besar” dengan nama kebesaran “Teuku Johan Pahlawan”.
Belanda juga memberikan beberapa fasilitas kepada Teuku Umar diantaranya 380 senapan kokang moderen, 800 senapan jenis lama, 250.000 butir peluru, 500 kilogram mesiu, 120.000 sumbu mesiu, dan lima ton timah untuk mengisi sendiri persediaan mesiu. Ia juga diberikan candu dan uang sebanyak 18.000 ringgit Spanyol. Selain itu Belanda juga membangun sebuah rumah besar untuk keluarga Teuku Umar.
Namun kemudian dengan berbagai fasilitas persenjataan yang telah dimilikinya itu. Teuku Umar kembali melawan Belanda. Kelicikan Teuku Umar melalui politik menyerah pura-pura ini membuat Belanda murka, rumahnya dibakar, ia diburu dengan bayaran tinggi. Peristiwa fenomenal itu dikenal dengan sebutan “Tipu Aceh”.