Pengaruh bangsa Arab dan Turki bagi perjuangan kemerdekaan di daerah Hindia Belanda (Indonesia) sangat besar. Pemerintah Kolonial Belanda sampai melarang orang-orang Arab dan Turki masuk Indonesia.
Larangan itu dikeluarkan Pemerintah Kolonial Belanda, setelah menemukan adanya koneksi antara orang-orang Arab dan Turki dengan gerakan perjuangan kemerdekaan di daerah Hindia Belanda, khususnya Aceh. Koneksi itu semakin kuat ketika kelompok orang Aceh di Mekkah, Arab Saudi menerima fatwa dari Mufti Arab Saudi bahwa perang melawan Belanda di Aceh adalah jihad fisabilillah.
De I'European Hotel di Kutaraja tahun 1892, Hotel untuk orang-orang Belanda dan pelancong Eropa yang singgah di Aceh Sumber
Pemerintah Kolonial Belanda juga menemukan berbagai dokumen-dokumen tertulis, baik itu kitab maupun surat-surat dan kutipan ceramah, yang dibawa para jamaah haji Aceh yang baru kembali dari Mekkah, Arab Saudi. Hal ini pula yang kemudian membuat Pemerintah Kolonial Belanda melakukan pendataan dan mengawasi para jamaah hasil asal Aceh, bukan hanya di Aceh, tapi kegiatan kelompok orang-orang Aceh di Arab juga dipantau dan diawasi oleh Pemerintah Belanda melalui konsul mereka di Jeddah.
Untuk mencegah makin besarnya pengaruh orang-orang Arab dan Turki di Aceh, Penasehat Pemerintah Kolonial Belanda, Christian Snouck Hurgronje mengusulkan agar orang-orang Arab, Turki dan Hadramaut yang sudah masuk ke daerah-daerah Hindia Belanda untuk dibatasi pergerakannya, dan harus memiliki izin bermukim.
Sikap Belanda kemudian bertambah keras dengan melarang orang-orang baru dari Arab, Turki dan Hadramaut masuk ke Hindia Belanda. Sementara bagi mereka yang sudah masuk dan memiliki izin bermukim keberadaannya terus diawasi.
Juliana Club tempat hiburan para perwira dan pembesar Belanda di Kutaraja Sumber
Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut kemudian diprotes oleh negara-negara Timur Tengah. Hal ini dimanfaatkan oleh pers pan-Islam di negeri-negeri Arab dan Turki untuk mengkritik Pemerintah Belanda. Snouck Hurgronje menilai hal itu sangat merugikan citra Pemerintah Hindia Belanda di mata internasional.
Snouck Hurgronje kemudian menyarankan: Dengan mengecualikan mereka yang sedikit banyak dapat mengukuhkan haknya karena berkerabat erat dengan orang-orang yang sudah bermukim di Indonesia, seorang pun jangan diperbolehkan masuk ke sini mengingat pengaruh orang Arab yang tidak diinginkan di bidang agama. Sebaliknya, mereka yang sudah terlanjur masuk, hendaknya diberi kebebasan yang menjadi haknya. Ketika Pemerintah mendapat pengertian lain pada tahun 1921 ternyata telah lewatlah waktu yang tepat untuk mengadakan perubahan peraturan, yang agaknya akan dihargai.
Sementara mengenai pengangkatan para penerjemah untuk bahasa-bahasa Turki dan Arab oleh Departemen Luar Negeri Belanda, pengangkatan itu dinilai sangat perlu untuk kembali mengangkat citra Pemerintah Belanda, sehingga Kedutaan Belanda di Konstatinopel (Istanbul, ibu kota Turki sekarang) tidak lagi perlu menggunakan penerangan dan bantuan para sarjana yang bekerja di Kedutaan Jerman di kota tersebut. Hal ini telah diingatkan berkali-kali oleh Snouck Hurgronje.
Gerbang Kerkhof komplek kuburan Belanda dihiasi dengan ribuan nama perwira dan serdadu Belanda yang tewas dalam perang Aceh sumber
Kemudian soal larangan naik haji jamaah dari Aceh dan nusantara pada tahun 1915 dan 1916 selama perang dunia pertama berlansung, yang dianggap mutlak perlu oleh Snouck Hurgronje untuk melawan Pemerintah Turki sehubungan dengan aksi pan-Islam, tidak dijalankan oleh Pemerintah Belanda akibat tekanan dari Turki sendiri.
Perbedaan pandangan antara Snouck Hurgronje dengan Departemen Pemerintah Dalam Negeri Hindia Belanda di Betawi juga terjadi pada masalah pemberian otonomi (kemandirian) bagi Pangreh Praja Pribumi agar pemerintahan ganda antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Pemerintah Pribumi di bawah kontrol Belanda bisa berangsur-angsur menjadi pemerintahan tunggal dan seluruh tugas dapat dibebankan kepada pejabat pribumi.
Perbedaan pendapat seperti itu kemudian berdampak pada ketegangan hubungan antar Departemen Tanah Jajahan. Snouck Hurgronje dalam suratnya kepada Jendral Van Der Maaten bulan Mei 1913 mengungkapkan hal tersebut, ia juga menjelaskan tentang sebuah peristiwa khusus selama ekspedisi di Pidie, Aceh yang terjadi pada tahun 1898, yang mempengaruhi berbagai usulannya kepada Pemerintah Hindia Belanda terkait masalah Aceh.