Perang Aceh menyisakan duka bukan hanya untuk perempuan Aceh saja, tapi juga para wanita Eropa (Europeesche Vrouwen). Zentgraaff menulisnya dalam sebuah judul khusus dalam buku “Atjeh” dengan judul “De Vrouwen” seperti kutipan dan terjemahan di bawah ini.
Elke oorlog brengt den vrouwen persoonlijk leed, en er is minstens even groote kracht noodig voor het passieve deel: het dragen, het dulden, het aanvaarden, als voors het actieve van den strijd zelve, dat tenminste nog het geluk kan brengen der begeestering, waarin het oorlogswerk het best wordt uitgevoerd.
Tiap peperangan membawa penderitaan pribadi bagi wanita, dan untuk dapat menanggung bahagianya yang pasif, yakni: mengalami, menanggung, menerima, paling tidak memerlukan kekuatan jiwa yang sama besarnya dengan mengalami bahagia aktifnya, yaitu pertempuran itu sendiri, yang sekurang-kurangnya masih dapat memberikan keuntungan-keuntungan semangat, yang dapat membuat peperangan itu dilakukan sebaik-baiknya.
Cut Nyak Dhien perempuan heroir penentang tangguh penjajahan Belanda di Aceh Sumber
De vrouwen zij zitten thuis en wachten, en de poort der zorgen, voor zoovelen harer altijd wijd open, heeft een nieuwen gast binnengelaten: den voortdurenden angst voor hem of hen die uittrokken. Die gast zit in het centrum van het huiselijke leven, en zijn schaduw hangt over alien en alles, over het gangsche doen en denke van haar die achterbleven.
Tetapi kaum wanita, mereka tinggal di rumah dan menanti, dan, gapura hatinya yang khawatir, pada kebanyakan di antara mereka, senantiasa terbuka lebar menerima tamu baru, berupa; kecemasan terhadap kepergian dia atau mereka yang berangkat tugas. Tamu itu berada di pusat kehidupan rumah tangga, serta bayangannya itu menerawang di mana-mana dan pada apa saja. Bahkan bayangan itu menggelantung pada semua tanduk-tanduk serta pikiran mereka yang ditinggalkan itu.
Dit is zoo in alle oorlogen, waar ter wereld ze worden gevoerd, doch het was vooral erg in Atjeh, omdat daar de vrouwen zoo vlak op, of in den krijg zelf zaten. Ze leefden en in mee, haar geest volgde dagelijks den man of zoon op de tochten waarvan zij alle details kenden, en de schrik over een telefoon die plotseling rinkelde, was even groot als die over het telefoontje dat uit bleef. En liet dit al te lang op zich wachten, dan groeide de angst tot een fantoom dat heel het guis beheerschten; dan sloeg een onverwachte voetstsp, een bescheiden klopje op de deur of het groeiend geluid van stemmen in de verte, de wachtende volkomen uit het evenwicht, wan het kon zijn—en het was ook dikwijls zoo—dat dit de fatale boodschap over hem was, of de aankomst van den doode die naar de ziekenzaal werd ge bracht.
Demikianlah keadaannya dalam segala macam peperangan, di mana pun ia terjadi di muka bumi ini, namun keadaannya yang luar biasa, adalah di Aceh ini, oleh karena di sini kaum wanita tersebut berada sangat dekat dengan medan perang, atau mereka langsung berada dalam kancah peperangan tersebut. Mereka mengalami dan menghayati benar-benar, pikirannya mengikuti putra atau suami yang berangkat perang bergerak ke sana ke mari, yang perkembangan kejadian-kejadian diketahuinya secara terperinci, dan bunyi dering telpon yang tiba-tiba, menimbulkan rasa cemas yang sama hebatnya apa bila pesawat itu diam saja. Dan apa bila diam itu sudah agak terlalu lama, maka kecemasan itu berkembang menjadi bayangan hantu, yang menteror seluruh rumah itu, kemudian terdengarlah bunyi telapak kali yang sekoyong-koyong, sebuah ketukan lemah pada daun pintu, atau suara orang banyak yang bertambah jelas di kejauhan, membuat wanita yang menunggu ini hilang keseimbangan pribadi sepenuhnya, karena sumua itu boleh jadi –dan inilah yang sering kejadian—ini merupakan kabar naas tentang dia, atau tibanya orang yang mati untuk diangkut ke kamar mayat.
Istri Panglima Polem Sumber
Zoo ging het met de Europeesche vrouwen die vlak bij het terrain der actie leefden. Wat de Atjehsche vrouwen betreft, haar rol in den krijg is zelfs thans moeilijk te schatten, maar het was meestal eene zeer actieve. De Atjehsche vrouw, fier en dapper, was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid, en als zij medestreed, dan deed zij dit met eene energie en doodsverachting welke veelal die der mannen overtroffen. Zij was de dragster van een hat die branddle tot den rand van het graf, en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem den Kaphe in het gezicht. Er is geen romancier wiens fantasie, in haar stoutste zwerftochten op dit terrain een oogst zou kunnen leveren als de werkelijkheld heeft opgetast.
Begitulah yang terjadi dengan wanita-wanita Eropa yang berdiam dekat dengan medan pertempuran. Menganai wanita-wanita Aceh bagaimana peran mereka dalam pertempuran tersebut, hingga kini pun sulit untuk diduga, akan tetapi lazimnya peran mereka sangatlah aktif, wanita-wanita Aceh gagah dan berani adalah perwujudan lahiriah dari dendam kesumat yang paling pahit terhadap kita (Belanda), perwujudan jasmaniah watak tak kenal menyerah yang setinggi-tingginya, dan apa bila mereka ikut bertempur, maka dialukannya dengan energi dan semangat berani mati, yang kebanyakan lebih dari kaum laki-lakinya. Wanita Aceh adalah pemikul beban dendam yang membara sampai ke tepi lubang kuburnya, dan sudah di depan maut sekali pun, dia masih berani meludahi muka si kafir. Tidak seorang pengaran cerita roman pun dapat membuahkan karangan dengan daya fantasinya yang berkhayal setinggi apa pun dalam bidang ini, dibandingkan dengan kenyataan yang sunguh-sungguh terjadi.
Pocut Meurah Intan alias Pocut Di Biheue yang meludahi muka Veltman seorang perwira Belanda ketika hendak membantunya. Ia hampir tewas bersimbah darahkarena seorang diri melawan 26 tentara marsose Belanda. Sumber