Masih Ada Sahabat Sejati

Hampir setiap kita memiliki sahabat, orang dekat yang tidak sedarah namun ikatan yang terjalin layaknya saudara kandung. Sahabat adalah siapa saja yang baik dengan kriteria masing-masing dalam standar pertemanan yang naik tingkat.

Tapi lain halnya dengan politik. Sebuah quote lagendaris yang diucapkan seorang diplomat sekaligus politisi Italia, Niccollo Machiavelli yang intinya, dalam politik: "Tidak ada kawan dan lawan abadi yang ada hanya kepentingan sejati". Secara umum mungkin banyak benarnya, tetapi adagium ini memiliki ruang lemah, dimana persahabatan dalam perpolitikan seolah seremeh itu. Dengan kata lain, sahabat dalam dunia politik hanyalah utopia. Wajah politik dalam interaksi pertemanan disimpulkan "sepragmatis" itu.

Jika kita mau sedikit lebih ribet, dalam relasi politik yang matang, sesungguhnya ada banyak kisah persahabatan yang sejati lagi abadi. Tak perlu jauh, saat Irwandi Yusuf yang notabene incumbent, kalah di Pilgub tahun 2012. Kala orang-orang di sekelilingnya banyak yang menjauh, ada salah satu orang yang menemani hari-harinya selama bermukim di Jakarta, namanya Wibi.

Maka wajar saat Irwandi menang kembali di periode kemarin, Wibi menjadi salah seorang yang berada di ring satu pemerintahan Aceh. Wibi menjadi bayangan yang banyak memberikan masukan sekaligus melindungi Irwandi.

Dari kisah tersebut kita tahu, bahwa dalam politik sesungguhnya sahabat sejati itu ada! Hanya saja, kita terlalu sibuk dengan kecurigaan-kecurigaan yang kita bangun sendiri. Sembari tergiring dengan banyaknya kasus dalam dunia politik; orang-orang dekat pula yang kadang akhirnya menggunting dalam lipatan.

Politik relevan dengan hadih maja Aceh; "Menyoe menang meutumpok, menyoe taloe meusagoe". Jika diartikan secara serampangan; "Jika memang (Ter)berkumpul, bila kalah tersudut". Saat seorang tokoh atau politisi sedang naik daun, berbondong-bondonglah orang merapat, mengaku dia teman saya. Tapi saat kalah dan terpuruk, satu persatu mundur teratur, menjauh bahkan berlari, pura-pura amnesia bahwa si teman yang terpuruk itu bukanlah sahabatnya, paling keras ia berani mengaku; hanya pernah kenal.

Maka jika suatu hari entah itu saya atau anda, menjalin hubungan pertemanan dalam dunia politik, jangan menghitung sahabat saat sedang senang-senannya, saat saudara dititipkan kekuasan. Tapi hitunglah manakala anda tertimpa musibah. Di saat itulah kita tahu mana sesungguhnya sahabat dan mana yang hanya memakai topeng, yang hanya memanfaatkan kekuasaan untuk bergelantungan dan menjadi benalu.

Bagaimana intrik dalam dunia politik, silang kepentingan itu pasti. Ada deal-deal yang harus dieksekusi. Namun begitu, pastikan saudara memiliki seorang sahabat yang setia baik saat suka maupun duka. Sahabat sejati dalam politik bukanlah didapat dengan mudah, akan ditempa dan uji dalam setiap situasi.