Menerobos Lampu Merah dan Peluang Gugur Pahala

Tadi siang sepulang dari Desa Landinging saya bergegas menuju Lhong Raya. Di pertengahan jalan, saya berhenti di salah satu traffic light. Sembari menunggu lampu hijau menyala, ada beberapa kejadian yang kemudian memantik pikiran saya.

Ada satu dua pengendara yang menerobos lampu merah, dalam nuansa ramadan, di tengah teriknya matahari, saya memaklumi dan mencoba berbaik sangka (husnudhan), mungkin saudara kita tak tahan dengan panasnya sengatan matahari, ditambah lagi (boleh jadi) ianya sedang buru-buru.

Lantas, pikiran saya menerangkan. Dalam percakapan imajiner saya membatin, "Salah satu hal yang dapat membatalkan atau mengurangi pahala puasa ialah berbohong. Pertanyaannya, apakah menerobos lampu merah termasuk dalam katagori berbohong? Dan jika iya, mungkinkah menerobos lampu merah dapat membatalkan pahala puasa?".

Sungguh, dengan segala kefakiran ilmu saya tidak berani dan belum mampu menjawab pertanyaan itu. Apalagi sekoyong-koyong memfatwakan sebuah hukum.

Pergulatan itu menggiring saya pada suatu hal, boleh jadi ada banyak sekali tindakan kita yang berhubungan non hablumminAllah dan non hamblumminannas, sering sekali luput kita perhatikan. Mungkin terlalu remeh, dan terkesan kaku bila saja hukum dikaitkan dengan hal-hal benda tak hidup, ya semisal lampu merah.

Tetapi, tak menutup kemungkinan, hal-hal remeh nan tak peka itu kerap kali menggugurkan pahala puasa seseorang. Tentu, saya juga jauh dari disiplin sempurna di jalan raya. Namun, momentum ramadan setidaknya mengetuk sisi tak terlihat dalam realitas hidup untuk kembali kita gugat. Sejauh mana sudah kita peka terhadap hal-hal yang remeh itu.

Saya berharap, di berbagai lintas, entah agama maupun ilmiah akan ada bahasan yang serius terhadap hal-hal kecil nan remeh semacam kasus di atas. Bukankah agama kita sempurna mengatur segala hal dalam hidup, termasuk pada urusan ghaib juga benda mati.