Ada sebuah kenangan dimasa silam bersama Guru tak terlupakan
ketika berada dalam satu mobil dengan Guru
Saya waktu itu sedang memiliki keinginan untuk membuat rumah besar dan megah
Guru “menangkap” apa yang terbersit di dalam fikiran saya
maka Beliau mengajak saya keliling-keliling dan kami memasuki kawasan perumahan elit
Setelah 15 menit keliling perumahan bagus tersebut
Guru berkata
“Coba kau perhatikan rumah-rumah besar itu rata-rata pemiliknya tidak tinggal disana
hanya dijaga pembantu dan satpam saja
lalu untuk apa mereka membangun rumah besar kalau tidak ditempati?”
Pertanyaan Guru itu mengingatkan saya akan sebuah kisah seorang sufi bernama Nidzam al-Mahmudi yang kaya namun memilih membuat rumah kecil dan sederhana
Tersebutlah seorang sufi bernama Nidzam al-Mahmudi
Ia tinggal di sebuah kampung terpencil
dalam sebuah gubuk kecil
Istri dan anak-anaknya hidup dengan amat sederhana
Akan tetapi
semua anaknya berpikiran cerdas dan berpendidikan
Selain penduduk kampung itu
tidak ada yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur berhektar-hektar dan perniagaan yang kian berkembang di beberapa kota besar
Dengan kekayaan yang diputar secara mahir itu ia dapat menghidupi ratusan keluarga yang bergantung padanya
Tingkat kemakmuran para kuli dan pegawainya bahkan jauh lebih tinggi ketimbang sang majikan
Namun
Nidzam al-Mahmudi merasa amat bahagia dan damai menikmati perjalanan usianya
Salah seorang anaknya pernah bertanya: “Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah
Bukankah Ayah mampu?”
Sang Ayah pun menjawab:
“Ada beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil:
Pertama
Karena betapapun besarnya rumah kita
yang kita butuhkan ternyata hanya tempat untuk duduk dan berbaring
Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya
Sehari-harian ia cuma mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya
Ia terlepas dari masyarakatnya dan ia terlepas dari alam bebas yang indah ini
Akibatnya ia akan kurang bersyukur kepada Allooh” Anaknya yang sudah cukup dewasa itu membenarkan ucapan ayahnya dalam hati
Apalagi ketika sang Ayah melanjutkan argumentasinya
Kedua
dengan menempati sebuah gubuk kecil
kalian akan menjadi cepat dewasa
Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih leluasa
Ketiga
kami dulu cuma berdua Ayah dan Ibu
Kelak akan menjadi berdua lagi setelah anak-anak semuanya berumah tangga
Apalagi Ayah dan Ibu menempati rumah yang besar
bukankah kelengangan suasana akan lebih terasa dan menyiksa?”
Si anak tercenung alangkah bijaknya sikap sang ayah yang tampak lugu dan polos itu
Ia seorang hartawan yang kekayaannya melimpah akan tetapi keringatnya setiap hari selalu bercucuran
Ia ikut mencangkul dan menuai hasil tanaman
Ia betul-betul menikmati kekayaannya dengan cara yang paling mendasar
Ia tidak melayang-layang dalam buaian harta benda sehingga sebenarnya bukan merasakan kekayaan melainkan kepayahan semata-mata
Sebab banyak hartawan lain yang hanya bisa menghitung-hitung kekayaannya dalam bentuk angka-angka
Mereka hanya menikmati lembaran-lembaran kertas yang disangkanya kekayaan yang tiada tara
Padahal hakikatnya ia tidak menikmati apa-apa kecuali angan-angan kosongnya sendiri
Kemudian anak itu lebih terkesima tatkala ayahnya meneruskan:
“Anakku
jika aku membangun sebuah istana anggun biayanya terlalu besar Dan biaya sebesar itu kalau kubangunkan gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal berapa banyak tunawisma/ gelandangan bisa terangkat martabatnya menjadi warga terhormat?
Ingatlah anakku
dunia ini disediakan Tuhan untuk segenap mahklukNya
Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya
Akan tetapi
dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu sedikit bahkan tidak cukup untuk memuaskan hanya keserakahan seorang manusia saja”
Suasana dalam mobil menjadi hening
ketika keluar dari komplek perumahan mewah
Guru berkata “Kesenangan bagi aku bukan memiliki rumah besar dan megah
tapi sebuah rumah yang seluruh orang senang datang berkunjung dan orang merasakan seperti berada di rumahnya sendiri