Laporan Bacaan Metodologi Kajian Islam
Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama
(Alwi Shihab)
Konsep islam inklusif menurut Dr.Alwi Shihab harus dibangun dengan landasan pemahaman mengenai perbedaan yang merupakan sunnatullah, memiliki semangat pluralisme agama dan semangat toleransi. Sedangkan upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan islam inklusif adalah dengan melakukan studi perbandingan agama dan dialog antar agama guna menemukan titik temu dengan agama lain. Islam inklusif yang memiliki pandangan keterbukaan berarti mau menerima segala sesuatu dari agama lain yang didasarkan pada kesamaan ajaran dari sumber yang sama yaitu Allah SWT dengan tanpa mengabaikan komitmen ajaran dan iman secara penuh (kepasrahan, tunduk dan taat kepada Allah SWT). Hal ini semata-mata adalah sikap berbaik sangka kepada Allah SWT bahwa rahmatNya lebih luas dari murkaNya.
Alwi Shihab dengan menggunakan kacamata agama dalam bukunya “Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama” menyatakan bahwa agama Islam menghargai perbedaan-perbedaan dari setiap agama. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar dan keenam dalam luas wilayah, merupakan rumah bagi populasi muslim terbesar di dunia. Dengan perbedaan suku dan keyakinan beragamanya, Indonesia disifati oleh tradisi pluralisme yang luar biasa. Dengan adanya karakter mozaik latar belakang budaya Indonesia, rakyat Indonesia telah hidup dalam tatanan kerukunan dan keharmonisan yang baik. Tentu saja muncul konflik, tetapi segera dapat diselesaikan dalam semangat hubungan persaudaraan.
Melihat kenyataan bahwa Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentunya baik nilai-nilai universalitas dan pandangan pluralistis Islam telah menyumbang banyak untuk membangun falsafah hidup umat Islam dengan agama-agama lainnya. Kesantunan budaya muslim Indonesia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari ajaran Al-Qur’an yang memerintahkan setiap orang beriman untuk menghargai satu sama lain atas dasar kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (QS. Ali Imran,[ 3]: 64). Toleransi dan pemahaman Muslim di Indonesia tentunya juga diilhami oleh ayat “Untukmu Agamamu dan untukku agamaku” Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa dalam masyarakat yang pluralistik, semua agama dapat hidup damai secara berdampingan, dengan sikap saling menerima dan kreatif melebihi toleransi semata. Yang tidak kalah menariknya adalah, bahwa sikap eksklusivisme agama tidak sesuai dengan jiwa dan pandangan Islam.
Laporan Bacaan Metodologi Kajian Islam
NAMA : LIA SAFRINA
NIM : 27153094-2
KONSENTRASI : EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Yusni Sabi
Modal Pencari Ilmu: Pesan Imam Syafii
Teringat nasehat yang indah ketika mendengarkan kajian Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawwas tentang masalah Ilmu, Amal, Dakwah dan Istiqomah. Di bab Ilmu beliau menyampaikan tentang keutamaan ilmu (ilmu dien tentunya), bagaimana mendapatkannya, dan sebuah nasehat dari ulama besar Islam “Imam Syafi’I kepada para penuntut ilmu. Aku jadikan “LIKE” nasehat ini, supaya aku selalu termotivasi dalam menuntut ilmu. Yaitu enam bekal yang harus dimiliki para penuntut ilmu agama, agar dapat meraih kesuksesan dalam menuntut ilmu. Beliau Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ
“Wahai saudaraku… ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.”
Adapun penjelasannya saya rangkum dari buku “Bekal bagi Penuntut Ilmu” karya Abdullah bin Shalfiq Adh-Dhafiri terbitan Maktabah Al Ghuroba dan Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu karya Abu Anas Majid Al Bankani terbitan Darul Falah.
- Kecerdasan . Kecerdasan yang ada pada diri seseorang terkadang memang sudah sebagai perangai yang Allah berikan kepadanya. Sebagaimana kecerdasan yang dikaruniakan Allah kepada Ibnu Abbas. Terkadang kecerdasan ada karena memang harus diusahakan. Bagi orang yang sudah memiliki kecerdasan maka tinggal menguatkannya, namun apabila belum punya hendaknya ia melatih jiwanya untuk berusaha mendapatkan kecerdasan tersebut. Kecerdasan adalah sebab di antara sebab-sebab yang paling kuat membantu seseorang menggapai ilmu, memahami dan menghafalnya. Memilah-milah permasalahn, men-jama’ (menggabungkan) dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dan yang selain dar i hal itu
- Semangat untuk mendapatkan Ilmu. Allah Azza wa jalla berfirman:
إِنَّاللّهَ مَعَالَّذِينَاتَّقَواْوَّالَّذِينَهُممُّحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” (An Nahl: 128)
Seseorang apabila mengetahui nilai pentingnya sesuatu pasti ia akan berusaha dengan semangat untuk mendapatkannya. Sedangkan ilmu adalah sesuatu yang paling berharga yang dicari oleh setiap orang. Penuntut ilmu hendaknya memiliki semangat membaja untuk menghafal dan memahami ilmu , duduk bermajelis dengan para ulama dan mengambil ilmu langsung dari mereka, memperbanyak membaca, menggunakan umur dan waktunya semaksimal mungkin serta menjadi orang yang paling pelit menyia-nyiakan waktunya.
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu adalah salah satu contoh shahabat yang bersemangat sekali dalam menuntut Ilmu. Di kala saudara-saudaranya di kalangan Muhajjirin sibuk berdagang di pasar dan saudara-saudara dari kalangan Anshar sibuk bekerja, Abu Hurairah telah kenyang dengan ilmubersama Rasulullah Shalallahu alahi wasallam dan hadir saat-saat saudara-saudara mereka tidak hadir serta menghafal apa yang tidak mereka hafal. - Bersungguh-sungguh dalam menuntut Ilmu. Menjauhi segala bentuk kemalasan dan kelemahan serta berjihad melawan hawa nafsu dan setan itu senantiasa merintangi dan melemahkan semangat dalam menuntut ilmu. Diantara sebab-sebab yang membantu seseorang untuk giat, tekun, bersungguh-sungguh adalah membaca biografi kehidupan para ulama, bagaimana kesabaran dan ketahanan mereka menanggung penderitaan serta kisah mereka dalam rihlah (mengembara) dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka mencari ilmu dan hadist.
Diriwayatkan dari Fadhal bin Ziad, dia berkata, “Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata, “Tidak seorangpun pada zaman Ibnul Mubarak yang lebih gigih dalam menuntut ilmu selain dirinya. Dia pergi ke Yaman, Mesir, Syam, Basrah dan Kuffah. Dia adalah termasuk orang yang meriwayatkan ilmu dan pantas untuk itu. Dia belajar dari yang tua maupun yang muda. - Memiliki Bekal yang cukup. Para ulama jaman dahulu rela mengorbankan harta bendanya untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu. Abu Hatim yang menjual bajunya untuk dapat menuntut Ilmu, Imam Malik bin Anas menjual kayu atap rumahnya untuk bisa menuntut ilmu, bahkan Al Hamadzan Al Atthar, seorang syaikh dari Hamadzan menjual seluruh warisannya untuk biaya menuntut ilmu. Penunutut ilmu mencurahkan segala kemampuan baik materi atau apapun yang ia miliki hingga ia menggapai cita-citanya hingga ia mumpuni dalam bidang keilmuan dan kekuatannya: baik hafalan, pemahaman maupun kaidah dasarnya.
- Memiliki Guru Pembimbing. Ilmu itu diambil dari lisan para ulama. Seorang penuntut ilmu agar kokoh dalam menuntut ilmu hendaknya ia membangunnya di atas dasar-dasar yang benar, hendaknya ia bermajelis dengan para ulama, mengambil ilmu langsung dari lisan mereka. Sehingga ia menuntut ilmu di atas kaidah-kaidah yang benar, mampu mengucapkan dalil-dalil dari nash Al Qur’an dan Al Hadist dengan pelafadzan yang shahih tanpa ada kesalahan dan kekeliruan dan dapat memahami ilmu dengan pemahaman yang benar sesuai yang diinginkan (oleh Allah dan Rasulnya). Terlebih lagi dengan hal itu kita bisa mendapatkan faedah dari seseorang yang ‘alim berupa adab, akhlaq dan sikap wara’.
Hendaknya bagi penuntut ilmu untuk menjauhi, jangan sampai menjadikan kitab-kitab sebagai gurunya. Karena barang siapa menjadikan kitab-kitab sebagai gurunya niscaya akan banyak kekeliruan dan sedikit kebenaran. Dan terus-menerus hal ini berlangsung sampai zaman kita sekarang ini. Tidaklah kita jumpai seorang yang menonjol dalam bidang keilmuan melainkan pasti ia berada dibawah bimbingan tangan dan didikan orang ‘alim.
Perjalanan ulama dalam menuntut ilmu tak hanya dengan satu atau dua orang guru saja. Bahkan ada yang sampai ribuan, seperti Al Hafizh As Sam’ani yang belajar kepada 7000 Syaikh. - Masa yang Panjang. Seorang penuntut ilmu jangan sampai menyangka bahwa menuntut ilmu itu cukup hanya dengan sehari atau dua hari, setahun atau dua tahun. Karena sesungguhnya menuntut ilmu membutuhkan kesabaran bertahun-tahun.
Al Qadhi Iyadh suatu ketika pernah ditanya ”Samapi kapan seseorang harus menuntut ilmu?”. Beliau menjawab: “ Sampai ia meninggal dan ikut tertuang tempat tintanya ke liang kubur.
Al Imam Ahmad mengatakan: “Aku duduk belajar Kitabu Haid selama Sembilan tahun, samapi aku benar-benar memahaminya.” Terus menerus para penuntut ilmu yang cerdik bermajelis dengan para ulama, ada di antara mereka yang selama sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan ada diantara mereka yang menghabiskan umurnya menuntut ilmu bersama para ulama sampai Allah ta’ala memwafatkannya.
Nasehat yang indah dari seorang Imam besar kepada para penuntut ilmu.Dan hanya memohon kepada Allah ta’ala semoga member taufik dan hidayah kepada kita untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih.
Laporan Bacaan Metodologi Kajian Islam
NAMA : LIA SAFRINA
NIM : 27153094-2
KONSENTRASI : EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Yusni Sabi
Menyatupadukan Kesalehan Privat Dan Public Dalam Pendidikan Karakter-Akhlak (oleh Muhammad Amin Abdullah)
Tidak mudah mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi bangsa kita sekarang ini. Tidak ada definisi moralitas privat dan moralitas public dan bahkan pendidikan karakter yang memuaskan karena setipa definisi biasanya hanya menekankan pada pentingnya aspek tertentu dan mengabaikan aspek yang lain. Begitu juga pendekatan disiplin keilmuan pendidikan karakter. Tak ada satupun pendekatan keilmuan dengan mengabaikan pendekatan disiplin keilmuan lain yang memuaskan. Sifat pendidika karakter adalah multidimensi, multidisiplin bahkan interdisiplin sehingga diperluan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antar bebgai disiplin ilmu, tidak sektoral-parsial apalagi atomistik.
Menyadari kesulitan yang begitu komplek, dengan mengambil inspirasi dari seorang filsuf jerman era modern, Immanuel Kant. Dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan kemanusian yang bertujuan menjadikan manusia “baik” menjadikan manusia baik tanpa prasyarat apapun. Pendidikan karakter yang bermuara pada kesalehan privat dan public sangat diperlukan oleh bangsa manapun, karena dengan pendidikan karakter yang berhasil akan membuat masyarakat baik, tanpa embel-embel syarat agama, social, ekonomi, budaya, ras, politik dan hukum.
Namun ada pertanyaan yang sulit dijawab. Seiring dengan keberhasilan pendidikan di tanah air, maka pengetahuan dan keterampilan manusia Indonesia turut meningkat pesat, meskipun belum sebagus Negari lain, seperti malaysia dan singapura. mengapa MORALITAS dan KARAKTER manusia di Indonesia merosot tajam? Korupsi, kolusi dan nepotisme, pengadilan yang tidak adil, tawuran pelajar, bullyng, bentrok antar warga desa, kekerasan intern ummat beragama, juga antar ummat beragama, dan bebagai aktivitas amoralitas lain.
Bukankah pendidikan kewarganegaraan, pendidikan pancasila, pendidikan agama telah diselenggarakan dalam setiap jenjang pendidikan? Bahkan untuk pendidikan agama di sekolah selama 12 tahun. Namun mengapa hal ini belum membuat masyarakat berkarakter baik?? Jangan-jangan ada yang keliru dan perlu ditinjau ulang hal-hal terkait penyampaian, pendekatan yang digunakan, paradigma yang membimbing pendidikan karakter dan materi yang disusun.
Banyak factor menjadikan pendidikan karakter tidak atau kurang berhasil di lingkungan sekolah dan lebih-lebih di lingkungan masyarakat. Pendidikan karakter yang ada selama ini belum berhasil mencetak sebuah generasi yang kommit terhadap kesalehan privat dan public (kesalehan social sekaligus). Perangkat Undang-undang dan aturan-aturan yang ada sudah lebih dari cukup, namun pengawasan pelaksanaannya sangat lemah. Tapi yang sering dilupakan adalah bahwasanya pendidikan karakter memang diawali dengan pengetahuan (teori). Pengetahuan tersebut bisa bersumber dari pengetahuan agama, social dan budaya. Kemudian dari pengetahuan tersebut diharapkan dapat membentuk sikap atau akhlak yang mulia. Namun yang paling penting dari rangkaian panjang ini adalah mengamalkan apa yang diketahui.
Disini terjadi kekeliruan dan ketidaktepatan dalam menentukan paradigm pembelajaran pendidikan karakter di tanah air. Yang semestinya diperlukan adalah mengamalkan berubah menjadi yang dipentingkan adalah mengetahui atau menghafal tanpa kemampuan untuk melakukan dan mempraktekkannya di lapangan. Dengan demikian paradigm pendidikan karakter seharusnya lebih tajam di arahkan pada kehendak dan motivasi bukan intelektualitas dan hafalan. oleh karena itu yang perlu dikenal terlebih dahulu oleh para pendidik adalah struktur kepribadian manusia. Sedangkan motivasi atau kehendak sangat terkait dengan hati nurani.
Laporan Bacaan Metodologi Kajian Islam
NAMA : LIA SAFRINA
NIM : 27153094-2
KONSENTRASI : EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Yusni Sabi
Mengintegrasikan Kesalehan Privat Dengan Kesalehan Public Dalam Perspektif Kalam: Akidah Kuat, Produktivitas Hebat (oleh Hamim Ilyas)
Umat sejak masa kemunduran hingga sekarang mengalami krisis aspirasi dari agama yang mereka peluk. Dari islam mereka tidak mendapatkan inspirasi untuk melakukan dan mewujudkan sesuatu yang meninggikan peradaban, akibatnya sebagai pribadi banyak diantara mereka yang tidak shaleh, tapi sebagai masyarakat mereka menjadi masyarakat yang tidak shaleh dengan keterpurukan peradaban yang dalam.
Dalam perspektif kalam, mereka mengalami keadaan demiakian karena akidah yang mereka anut tidak fungsional untuk mewujudkan keshalehan social dan untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Laporan Bacaan Metodologi Kajian Islam
NAMA : LIA SAFRINA
NIM : 27153094-2
KONSENTRASI : EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Yusni Sabi
Agama Dan Pembangunan Masyarakat
Masyarakat adalah gabungan dalam kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Menurut kuper dan M.G. Smith terdapat dua aspek yang menjadi pengikat dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu solidaritas yang menjadi dasar terbentuknya organisasi dalam masyarakat dan kosensus yang merupakan persetujuan bersama terhadap nilai-nilai dan norma yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan berkelompok. Jika kedua spek tersebut digunakan sebagai pedoman hidup yang bersumber dari ajaran agama, maka fungsi agama adalah sebagai motivasi atau etos masyarakat, maka dari itu agama memberi pengaruh dalam menyatukan masyarakat, sebaliknya agama juga menjadi pemecah, jika solidaritas dan konsensus melemah dan mengendur.
Menurut Elizabeth K. Nottingham, masyarakat terbagi kepada tiga tipe, yaitu masyarakat yang keterbelakang dan memiliki nilai-nilai sakral, masyarakat pra-industri yang sedang berkembang dan masyarakat industri sekuler. Dalam masyarakt tipe pertama, setiap anggota masyarakat menganut agama yang sama, oleh karena itu keanggotaan dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup kedalam kelompok aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat ekonomis, politik kekeluargaan maupun rekreatif. Sedangkan dalam masyarakt pra-industri yang sedang berkembang, organisasi keagamaan sudah terpisah dari organisasi kemasyarakatan. Di masyarakat ini organisasi keagamaan merupakan organisasi formal yang memiliki tenaga profesional tersendiri, agama sudah tidak sepenuhnya menyusup ke aktivitas kehidupan masyarakat, walaupun masih ada anggapan bahwa agama dapat diaplikasikan secara universal dan lebih tinggi dari norma-norma kehidupan sosial sehari-hari pada umumnya. Nilai-nilai keagamaan menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perorangan dan pembentukan citra pribadinya. Pada masyarakat industri sekuler, organisasi keagamaan terpecah-pecah dan bersifat majemuk. Ia terlihat di masyarakat modern, ikatan antara organisasi keagamaan dan pemerintahan duniawi tidak ada sama sekali, karena itu, agama cenderung di nilai sebagai bagian dari kehidupan manusia yang berkaitan dengan persoalan akhirat, sedangkan pemerintahan berhubungan dengan kehidupan duniawi. Dalam kehidupan masyarakat tipe ini, fungsi agama memiliki implikasi ganda, yaitu perbedaan bidang agama dan pertumbuhan sekularisme menimbulkan sikap toleransi terhadap perbedaan agama yang cukup tinggi. Kedua, keyakinan dan pengalaman keagamaan menjadikan agama sebagai pemersatu di lingkungan organisasinya, khususnya bagi masyarakat minoritas. Terlepas dari bentuk ikatan antara agama dan masyarakat, baik dalam organisasi ataupun fungsi agama, maka yang jelas dalam setiap masyarakat agama masih tetap memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:
a. Fungsi edukatif, ajaran agama berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi lebih baik dan terbiasa dengan yang baik.
b. Penyelamat, yaitu keselematan yang meliputi dua alam, dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu, agama mengajarkan para penganutnya melalui: pengenalan kepada masalah sakral berupa keimanan kepada tuhan. Pengenalan terhadap tuhan bertujuan agar dapat berkomunikasi baik secara langsung maupun perantara, yang dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, diantaranya: Mempersatukan diri dengan tuhan (pantheisme), pembebasan dan pensucian diri (penebusan dosa) dan kelahiran kembali (reikarnasi). Kehadiran tuhan dapat dihayati secara batin yaitu, melaui meditasi dan juga melalui lambang-lambang, seperti: theopania spontanea: kepercayaan tuhan dihadirkan dalam bentuk: tempat angker, gunung, arca dan lainnya dan theophania innocativa: kepercayaan tuhan dihadirkan dalam lambang, seperti inocativa magic (mantera, dukun) maupun inocativa religius (permohonan, do’a, kebaktian dan sebagainya.
c. Perdamaian, orang yang bersalah dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntutan agama, seperti: tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.
d. Social control, agam aoleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok, karena: agama secara instansi, merupakan norma bagi pengikutnya dan agama secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis (wahyu kenabian).
e. Pemupuk rasa solidaritas, secara psikologi pemeluk agama akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan. Rasa ini akan membina solidari dalam kelompok maupun program, bahkan dapat membina rasa persatuan yang kokoh.
f. Transformative, mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
g. Kreatif, mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan sendiri tetapi juga kepentingan orang lain.
h. Subtimatif, mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat ukhrawi, melaikan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma agama merupakan ibadah.
Mukti ali mengemukakan bahwa peran agam dalam pembangunan adalah:
a. Sebagai etos pembangunan, maksudnya adalah bahwa agama yang menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam dapat memberikan sesuatu tatanan nilai moral dalam sikap. Selanjutnya nilai moral tersebut akan memebrikan garis-garis pedoman tingkah laku seseorang dalam bertindak, sesuai dengan ajaran agamanya. Penerapan agama lebih cenderung kepada perbuatan yang bernilai akhlak yang mulia dan bukan untuk kepentingan lain.
b. Sebagai motivasi, ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengamalan ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharap imbalan yang berlebihan. Peranan positif ini telah membuahkan hasil yang konkret dalam pembangunan baik berupa saran dan prasarana yang dibutuhkan, seperti sumbangan harta benda untuk kepentingan masyarakat.
(Nurdinah muhammad,dkk. Antropologi Agama. Banda Aceh, Ar-raniry Press. Banda Aceh. 2007).
Laporan Bacaan Metodologi Kajian Islam
NAMA : LIA SAFRINA
NIM : 27153094-2
KONSENTRASI : EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Yusni Sabi
Agama Sebagai Katalisator Peradaban
Malik bennabi merumuskan adanya tiga faktor utama penentukan peradaban, yaitu: manusia (al-insan), tanah (al-thurab) dan waktu (al-waqt). Baginya setiap peradaban adalah hasil dari ketiga unsur tersebut. Ia berpendapat bahwa segala permasalahan peradaban terletak pada permasalahan dasar, yaitu manusia, tanah dan masa. Oleh karena itu, untuk membangun peradaban kita tidak dapat hanya dengan mengumpulkan (takdis) karya-karya peradaban, melainkan juga harus menyelesaikan problem-problem dasar ketiga faktor tersebut.
Faktor Manusia
Menurut malik bennabi, manusia adalah pencipta dan penggerak sejarah, ia adalah alat masyarakat yang paling penting, kalau ia bergerak, masyarakat dan sejarah ikut bergerak, tapi kalau ia berhenti masyarakat dan sejarah ikut berhenti. Manusia memiliki dua identitas, yang pertama adalah identitas yang statis dan tidak dapat dipengaruhi oleh sejarah, yaitu identitas yang merupakan kriteria-kriteria anatomi dan fisiologi yang membentuk wujud luaran manusia, identitas yang kedua adalah yang bisa berubah dan dapat dipengaruhi oleh sejarah dan keadaan sosial, yaitu keadaan mental dan psikologi manusia yang ditangkap oleh struktur sejarah dan warisan sosial. Manusia sepanjang sejarah telah berinteraksi dengan waktu dan ruang, tidak dengan kemampuannya sebagai suatu ciptaan yang alami, tetapi sebagai kepribadian-kepribadian sosial. Pengalaman-pengalaman masa lalu manusia dan kemauan-kemauan yang mereka miliki secara pasti telah membentuk sikap-sikap tertentu terhadap kehidupan dan masa depan.
Menurut malik manusia yang bersikap negatif dan tidak berperan secara positif dalam peradaban masanya akan mempengaruhi perjalanan sejarah selanjutnya. Yaitu manusia yang kehilangan semangat peradaban dan tidak berdaya untuk tampil ke depan dan berkarya, manusia yang tidak mampu menggunakan kreativitasnya pada faktor tanah dan waktu. Persoalan manusia selalu berbeda-beda sejalan dengan lingkungan dan fase-fase sejarahnya yang sennatiasa mengalami perubahan. Segala permasalahan yang terjad di dalam dunia islam atau persoalan utama kita dalah bagaimana kita dapat mencipta manusia-manusia yang dapat berjalan dalam sejarah dan dapat memanfaatkan tanah, masa dan segala kreativitas mereka untuk mencapai tujuan yana agung. Sebab itu ilmu-ilmu psikoligi, akhlak dan sosial sekarang ini menjadi lebh penting daripada ilmu-ilmu fisika. Untuk menyelesaikan persoaln-persoaln manusia, pertama-tamaa kita harus memahami bagaimana manusia dapat memberikan pengaruh dalam penyusunan sejarah. Ia berpendapat bahwa manusia sebagai individu dapat memberikan pengaruh dalam masyarakat melalui tiga faktor; yaitu akal, pekerjaan dan kekayaan. Ketidakseimbangan antara tiga faktor ini akan menimbulkan kekacauan dan menghabiskan masa dan energi, sebaliknya upaya mengarahkan tiga faktor ini dengan metode ilmiah dan perencanaan yang matang akan mampu menciptakan manusia sebagai agen pusat perubahan dan pembangunan.
Faktor tanah
Malik bennabi menjelaskan istilah ini dari aspek nilai sosial tanah, menurutnya nilai sosial tanah tergantung pada nilai pemiliknya. Ketika nilai suatu bangsa tinggi dan peradabannya maju nilai tanah akan mahal, sebaliknya kalau bangsa itu mundur maka harga tanahnya pun rendah. Menurutnya juga bahwa persoalan tanah tergantung kepada persoalan manusia, karena tanah adalah benda mati, yang hanya dapat digerakkan dan dimajukan oleh faktor manusia. Menurutnya jepang walawpun tanahnya tidak begitu subur dapat mencapai kemajuan peradaban yang tinggi idkarenakan orang-orang jepang dapat menaklukkan faktor tanah serta memanfaatkaannya sesuai dengan keperluan msyarakat. Sebaliknya indonesia tidak dapat bergerak maju walawpun memiliki tanah yang sangat subur dan kaya dengan sumber alam karena tidak mmeiliki faktor manusia yang berkualitas. Dunia islam pada umunya daya guna tanah bersifat mundur. Hal ini dikarenakan kemunduran orang-orang yang menghuninya. Bahkan tanah-tanah pertanian disebagian negara-negar islam, aljazair umpamanya, sedikit demi sedikit dimakan padang pasir yang terus memanjang ke arah-arah tanah hijau dan tempat-tempat peternakan. Beliau memandang serius fenomena terkiskisnya tanah subur ini, terutama di negara-negara islam di bagian afrika utara. Disepanjang garis selatan tunisia hingga selatan marrakesh padang pasir terus bertambah lebar setiap tahunnya, terutaam karena banyaknya aktivitas penebangan pohon-pohon dan penggundulan hutann. Seribu tahun lalu negara-negara afrika memiliki sekitar tujuh juta hektar tanah yang penuh dengan pohon, akan tetapi sekarang hanya tinggal sekitar satu pertiga.
Faktor waktu.
Waktu adalah nilainya dalam kehidupan manusia yang berkaitan erat dengan sejarah, kebangkitan ilmu, produktivitas dan pencapaian peradaban dengan tetap berpegang pada kualitas, nilai-nilai moral dan keindahan. Waktu bagaikan sungai yang melintasi alam sejak azali. Ia datang dan pergi dalam kehidupan manusia dengan kuantitas yang sama. Persoalannya adalah perbedaaan sikap manusia terhadap kepentingan dan nilai masa tersebut. Malik bennabi memberikan contoh tentang sikap positif orang jerman terhadap waktu. Setelah perang dunia kedua 1945, pada awal tahun 1948 orang jerman mula bangkit dan pada tahun 1957 mereka dengan cepat dapat bangkit kembali dan berhasil membangun perusahaan-perusahaaan besar. Menurut malik bennabi faktor terpenting atas keberhasilan mereka ialah faktor waktu.
Malik bennabi mengamati bahwa persoalan waktu di dunia islam kontemporer merupakan masalah yang besar. Umat islam tidak memahami makna dan fungsi waktu secara teknik. Mereka juga tidak mengetahui nilai setiap saat, menit dan jam didalam waktu, dan hingga hari ini mereka masih juga tidak mengerti ide tentang waktu dan kaitannya dengan sejarah. Kehidupan dan sejarah yang tunduk kepada waktu terus meninggalkan umat islam. Menurutnya umat islam perlu merancang waktu secara teliti dan membuat langkah-langkah fundamental untuk mengejar ketinggalan.
Pandangan bennabi tentang 3 faktor tersebut sesuai dengan yang diajarkan oleh islam, dalam konsepsi alquran manusia adalah: a. Khalifah yang bertugas untuk membangunkan oeradaban di atas muka bumi; b. Pembawa amanah dari tuhan c. Hamba allah swt. d. ciptaan yang paling terhormat dalam aspek mmoral dan kedudukan. E. Ciptaan yang paling baik dalam aspek fisik; adapun waktu dalam alquran juga merupakan faktor penting dalam peradaban karena ia berkaitan dengan pencapaian, produktivitas dan karya-karya positif, berkaitan dengan perlombaan dalam mengamalkan kebajikan dan berkaitan dengan perhitungan di hari kiamat tentang hasil kerja manusia selama hidup di dunia, yang dapat menjadi faktor pendorong bagi manusia untuk bekerja lebih keras untuk kedua kehidupan, yaitu dunia dan akhirat.
Referensi: Dr. Usman syihab, Membangun Peradaban Dengan Agama, Jakarta Dian Rakyat, 2010. Hlm 112-116.
Laporan Bacaan Metodologi Kajian Islam
NAMA : LIA SAFRINA
NIM : 27153094-2
KONSENTRASI : EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Yusni Sabi
Politik Berdasarkan Alquran
Abdul muin salim dalam bukunya konsepsi kekuasaan politik dalam al-quran menjelaskan bahwasanya al-quran memperkenalkan istilah-istilah yang relevan dengan kekuasaan politik, satu lainnya berbeda konotasi secara tajam. Istilah-istilah tersebut adalah pertama:“sulthan” yang bermakna pokok “kekuatan dan paksaan”. Bentuk yang ditemukan dalam al-quran adalah kata kerja “sallatha-yusallithu” dan kata benda “sulthan” yang bermakna kekuasaan, kekuatan memaksa, alasan, bukti, keterangan dan pengetahuan terdapat pada surat al-isra: 33.
Penggunaan kata sulthan tersebut berkonotasi sosiologis, karena ia berkenaan dengan kemampuan untuk mengatasi orang lain. Kedua: Al-mulk yang bermakna “keabsahan dan kemampuan”. Dari kata tersebut terbentuk kata kerja malaka-yamliku-mulkan “menguasai”. Dari disini diperoleh kata malik “raja” dan mulk “kekuasaan” Malik juga dapat diartikan sebagai “pemilik kekuasaan”. Penggunaan kata malaka-yamliku menunjukkan bahwa obyek kata tersebut bukan hanya merujuk kepada masyarakat ataupun individu, tetapi juga faktor-faktor kehidupan dan fenomena yang lainnya, makna ini mengandung arti lebih luas dan tidak terbatas pada kekuasaan politik saja. Ketiga:”al-hukm” merupakan mashdar dari kata kerja hakama-yahkumu-hukman yang berarti “memutuskan perkara atau membuat keputusan.” Kata Al-hukm berarti membuat atau menjalankan keputusan. Jika dikaitkan dengan kehidupan bermasyarakat maka kata tersebut mengandung makna pembuat kebijaksanaan atau melaksanakannya sebagai upaya pengaturan masyarakat. Dan dijelaskan pula bahwa kata tersebut tidak hanya disandarkan kepada tuhan, tetapi juga kepada manusia.
Al-quran tidak menjelaskan secara eksplisit bagaimana sistem politik terwujud akan tetapi kita dapat melihat dari sisi sejarah, seperti baiat atau mubayaah keislaman yang terjadi pada masa rasulullah dan khulafaurrasyidin. Konsekuensi dari baiat tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat muslim yang dikendalikan oleh kekuasaan yang dipegang rasulullah, dengan begitu terbentuklah suatu sistem politik islami yang pertama dengan fungsi dan struktur yang sederhana. Perkembangan ini berlanjut hingga keluarnya piagam madinah (1H) yang memiliki supremasi atas kota madinah. Yang perlu ditegaskan adalah dalam menjalankan subsistem politik harus berdasarkan kepada hukum-hukum Allah yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan meskipun dalam lingkup terbatas sesuai kemampuan, sehingga terbentuk masyarakat mukmin yang matang dan siap menjalankan hukum dan ajaran agama secara paripurna.
Begitu juga dengan hal yang berkaitan tentang fungsi dan struktur dari sistem politik, dapat dilihat dalam ajaran-ajaran islam, misalkan dari segi sosial politik, dapat ditemukan dalam tugas pembangunan spiritual, dengan ini, norma-norma dan ajaran-ajaran agama, termasuk didalamnya yang berkenaan dengan kehidupan politik, dikembangkan dengan sistem pendidikan dan pengajaran sehingga masyarakat dapat memiliki persepsi dan budaya yang sama. Dengan begitu diharapkan warga masyarakat dapat melaksanakan -perannya masing-masing dalam kehidupan bersama. Konsep rekuitmen dapat ditemukan dalam kenyataan adanya syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi pemimpin, adanya syarat-syarat subyektif yang relevan dengan iman dan pengabdian dan syarat-syarat obyektif yang relevan dengan kemampuan individual dan komitmen terhadap kepentingan rakyat. Fungsi lainnya ialah agresi dan artikulasi, dapat diketahui dengan adanya musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah dan khalifah-khalifah setelahnya. Dan satu lainnya ialah fungsi out put yang dapat ditemukan dalam kewajiban pemerintah membuat aturan hukum yang adil (fungsi legislatif), melaksanakan hukum-hukum agama dan perundangan (eksekutif) dan melaksanakan tugas pengadilan terhadap tindakan-tindakan yang menyerang dan melanggar hukum (yudikatif).
Cita-cita politik islam tersimpul dalam ungkapan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, yang mengandung konsep “negeri sejahtera dan sentosa”. Cita-cita ini merupakan nilai-nilai yang diharapkan terwujud, sehingga dengan begitu diperoleh sarana dan wahana untuk aktualisasi kodrat manusia sebagai makhluk abid yang diberikan kedudukan sebagai khalifah dalam membangun kemakmuran di muka bumi untuk kebahagiannya dalam kehidupan dunia akhirat dan hal ini akan dicapai dengan iman dan amal shaleh.
Dalam politik islam terdapat dua jenis hukum, yaitu hukum syariat yang bersumber pada Al-quran dan sunnah dan hukum qanuni yang bersumber pada keputusan-keputusan pemerintah. Pal-quran menggunakan ungkapan ulul amri untuk konsep pemegang pemerintahan atau kekuasaan politik. Kekuasaan politik mempunyai dua landasan: landasan formal normatif dan struktural formatif. Landasan pertama harus bertumpu pada alquran karena itu kekuasaan politik yang dimiliki oleh wali harus berdasarkan alquran yang memberinya tugas untuk menegakkan hukum Allah dan menyelenggarakan pemerintahan yang adil dalam masyarakat. Kedudukan wali sebagai pemerintah terkait pada penerimaan dan pengakuan rakyat. Dan hal ini diperoleh dari adanya pembaitan. Baiat inilah yang menjadi landasan struktural normatif. Dalam menjalankan pemerintahan, wali sebagai kepala pemerintahan. Ia memegang kekuasaan sepenuhnya. Meskipun begitu, ia tidak dapat bertindak sendiri tanpa bermusyawarah dengan lembaga-lembaga yang terkait. Sesuai dengan fungsi-fungsi yang diselenggarakan, lembaga tersebut dapat dipilih atas: lembaga legislatif (majelis taqnin), lembaga eksekutif (majlis tanfiz) dan lembaga yudikatif (majlis qadhai’).
Untuk penyelenggaraan mekanisme sistem politik pada umumnya, al-quran mengemukakan empat prinsip penggunaan kekuasaan politik yang dapat dianggap azas-azas pemerintahan, yaitu: (1) asaz amanat, (2) asaz keadilan (keselarasan), (3) asaz ketaatan (disiplin) dan (4) asaz musyawarah.
Referensi: (Abdul muin salim, konsepsi kekuasaan politik dalam al-quran, pr. Raja grafindo persada, jakarta: 1995).
Laporan Bacaan Metodologi Kajian Islam
NAMA : LIA SAFRINA
NIM : 27153094-2
KONSENTRASI : EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Yusni Sabi
Doktrin Ekonomi dan Islam
Sistem ekonomi Islam tidak hanya sekedar berbicara mengenai “sistem ekonomi tanpa bunga” saja. Sistem ekonomi Islam jauh lebih luas daripada itu. Berlandaskan pada asas keadilan Islam yang universal, Sistem ekonomi Islam mencakup seluruh aspek ekonomi dalam kehidupan manusia. Dengan runtuhnya sistem ekonomi sosialisme dan kegagalan sistem ekonomi kapitalisme dalam mensejaterahkan sebagian besar umat manusia didunia ini, sistem ekonomi Islam hadir sebagai sebuah alternatif solusi guna mengatasi berbagai permasalahan ekonomi manusia yang semakin kompleks dewasa ini. Melalui buku Iqtishaduna ini, penulis menghadirkan sebuah tinjauan yang lengkap mengenai sistem ekonomi Islam. Penulis juga menawarkan sebuah sistem yang berlandaskan pada nilai ketuhanan dan kemanusian. Kedua nilai inilah yang secara mendasar membedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi sosialis maupun kapitalis. Sistem ekonomi Islam dalam perspektif Muhammad Baqir Ash-Shadr ini jauh lebih komprehensif dan mengakar pada nilai-nilai keadilan Islam yang universal.
Dalam bukunya ini, Baqir Ash-Shadr lebih cenderung melihat permasalahan ekonomi terletak pada aspek manusianya sebagai pelaku ekonomi dibandingkan dengan ketersediaan alat pemuas kebutuhan yang terbatas versus teori ekonomi konvensional yang menyatakan bahwa keinginan dan kebutuhan manusia itu tidak terbatas. Ketersediaan sumber daya alam yang melimpah tidak akan dapat mensejaterahkan umat manusia, jika manusianya sendiri sebagai pelaku ekonomi tidak menjaga dan melestarikannya untuk kemaslahatan bersama.
Pada titik point inilah, Baqir Ash-Shadr mengelompokan ekonomi kedalam dua bagian utama, yakni “Ilmu Ekonomi” dan “Doktrin Ekonomi”. Perbedaan yang secara tegas antara ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis terletak pada doktrin ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya. Doktrin ekonomi Islam memberikan ruh pemikiran dengan nilai-nilai universal Islam dan batas-batasan syariah. Sementera ilmu ekonomi berisikan alat-alat analisa yang dapat digunakan dan dioperasikan. Ilmu ekonomi adalah segala teori atau hukum-hukum dasar yang menjelaskan perilaku-perilaku antar variabel ekonomi tanpa memasukkan unsur norma ataupun tata aturan tertentu.
Adapun doktrin ekonomi adalah ilmu ekonomi murni yang memasukkan norma atau tata aturan tertentu sebagai variabel yang secara langsung atau tidak langsung ikut mempengaruhi fenomena ekonomi. Norma atau tata aturan tersebut berasal dari Allah SWT yang meliputi batas-batasan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan ekonomi. Proses integrasi antara doktrin ekonomi kedalam ilmu ekonomi murni disebabkan adanya pandangan bahwa kehidupan di dunia tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan di akhirat kelak, semuanya harus seimbang karena dunia adalah ladang akhirat manusia.
Buku ini terasa lebih kaya dan lebih mencerminkan kontruksi pemikiran sistem ekonomi Islam yang seutuhnya jika dibandingkan dengan literatur-literatur ekonomi Islam lainnya, kebanyakan dari literatur-literatur tersebut telah tereduksi pada praktik dan gagasan mengenai ekonomi Syariah. Karya Baqir Ash-Shadr ini berusaha untuk memaparkan permasalahan ekonomi secara lebih luas.
Selain berbicara mengenai dasar-dasar teologis normatif dari sistem ekonomi Islam. Penulis juga mendiskusikan beberapa persoalan mengenai produksi, distribusi, jaminan sosial, sirkulasi, kekayaan pribadi, pajak dan posisi negara sebagai regulator.
Referensi: Muhammad Baqir Ash-Shadr (2008), Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, Zahra Publishing House, Jakarta
Hai @bohatemakdanabu, apa kabar? Kami telah upvote ya..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit