Tulisan ini berupaya menjawab teka-teki yang muncul atas motif apakah yang mendasari makin maraknya kaum profesional yang berkecukupan tergiur untuk menjadi tentara Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau yang lebih dikenal dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Hingga saat ini sudah sekitar 518 warga negara Indonesia diduga begabung dengan ISIS. Menurut catatan Sidney Jones dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), sudah lebih dari 200 warga negara Indonesia yang sudah berangkat dan bergabung dengan gerakan “teroris” tersebut di Suriah.
Baru-baru ini, The Intercept (8 Juli 2015) mengungkapkan dua pilot Indonesia (Ridwan Agustin alias Ridwan Ahmad al-Indunesiy dan kapten Tommy Hendratno alias Tommy Abu Al Fatih Hendratno) yang pernah menjadi aparat keamanan negara dan kemudian menjadi pilot sebuah maskapai multinasional, kini bergabung dengan ISIS. Banyak yang kemudian khawatir atas pilihan hidup yang dijalani dua profesional di usianya yang masih sangat produktif ini. Tidak sedikit pula yang mempertanyakan tentang motif keduanya ikut bergabung menjadi tentara ISIS, membela sesuatu yang mungkin dianggap sangat ideal di suatu tempat nun jauh di sana di luar tanah Indonesia. Bahkan kalangan politisi di dunia Barat cemas dengan rekam jejak mereka yang sebelumnya pernah bergabung dengan kesatuan keamanan negara yang sangat disegani di kawasan Asia Tenggara.
Sebelumnya, seorang anggota polisi aktif di Jambi, Syahputra (alias Abu Azzayn al Indunesiy) meninggalkan anak istrinya dan berangkat melalui Medan ke Suriah untuk berjihad melawan apa yang mereka persepsikan sebagai “thoghut” (musuh) yaitu rezim Bashir Al Asad. Statusnya sebagai anggota kepolisian negara ini dengan gaji yang berkecukupan tentu mengundang tanda-tanya besar: ada apa di balik semua ini? Tindakannya meninggalkan anak istri untuk berjihad ke sana, menceburkan diri ke dalam kancah perang, tentulah bukan sebuah keputusan rasional biasa. Ada sesuatu yang tak teridentifikasi dari realitas sosial yang problematik ini.
Semua kekhawatiran dan kecemasan berbagai kalangan ini sangat rasional. Kaum profesional dengan basis status sosial ekonomi kelas menengah dan dengan latar-belakang keluarga yang relatif sakinah ini tentunya mengharapkan jawaban nyata atas tanya yang membingungkan. Tindakan Syahputra menceraikan istrinya dan pergi ke tanah asing berperang tentunya tidak bisa dijelaskan dari perspektif psiko-sosial generik. Pasti ada alasan-alasan teologis atau bahkan eskatologis dari tindakan yang tidak biasa ini.
Perspektif akademis
Dari perspektif modern, banyak analisis tentang daya tarik finansial yang ditawarkan ISIS kepada sesiapa yang berkenan bergabung dengan bala tentara multi nasionalnya. Peluang ini disambut baik oleh banyak kalangan yang, menurut perhitungan berbagai ahli, berasal dari kaum marjinal yang berusaha mencari penghidupan ekonomi yang lebih layak. Bahkan ada juga yang menyebutkan tentang motif seksual yang melatari keinginan sebagian kecil warga Indonesia untuk berpartisipasi di dalam perang atau konflik di Suriah dan Irak tersebut. Ketika maraknya pencekalan terhadap orang-orang yang diduga hendak berangkat ke Suriah di berbagai bandara di Indonesia dan Malaysia sejak tahun 2013 hingga 2014, analisis economic interest sebagai motif sangat mendominasi penjelasan tentang latar-belakang kaum marjinal ini. Hampir tidak ada satu analisis pun yang mengaitkannya dengan kesadaran ideologis para aktor pendukung ISIS tersebut. Bahkan Daniel Bell (1960) dan Francis Fukuyama (1996) sangat yakin bahwa ideologi telah mati dan tak bisa memengaruhi kebangkitan dunia Timur. Akan tetapi, analisis kepentingan ekonomi, atau motif material apa pun, menjadi tidak mampu menjelaskan mengapa kaum profesional ikut terlibat dalam konflik yang sangat mengerikan bagi banyak kalangan.
Dibutuhkan satu penjelasan yang lain yang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan untuk memberikan jawaban atas fenomena yang sangat mengejutkan dunia ini. Secara antropologis, D’Andrade dan Strauss (1992) pernah mengajukan motif kultural yang bersifat ideologis atas fenomena maraknya perlawanan bersenjata dan konflik komunal di berbagai belahan dunia. Gupta dan Ferguson (1992) mencoba menjabarkan motif cultural model tersebut sebagai “a sense of loss territorial root” dimana nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme sudah mulai pudar atau sedang terjadinya “an erosion of the cultural distinctiveness of place” yang kemudian menghasilkan sebuah produk sampingan dari globalisasi yang disebut sebagai “deterritorialization of identity” dimana identitas tidak lagi dilekatkan pada tempat dimana seseorang dilahirkan atau dibesarkan dalam suatu periode formative age yang sangat menentukan. Identitas yang berdasarkan lokalitas tergantikan oleh apa yang sejak lama dikenal sebagai ideologi. Ideologi Islam telah menjadi pilihan bagi dua pilot dan satu polisi dari Indonesia yang tentunya telah terasuh di bawah ideologi Pancasila dan digaji oleh hasil pajak warga negara yang hidup di alam demokrasi.
Ridwan Agustin dan Tommy Hendratno serta Syahputra yang telah mengalami indoktrinasi ideologi sekuler ini kemudian menggantikannya dengan ideologi yang baru dipeluknya. Ke manakah nasionalisme dan patriotisme yang sempat diajarkan oleh negara ini? Nasionalisme dan patriotisme adalah ideologi yang berbasis tempat dan akan mudah hilang ketika kenangan tentang tempat itu semakin memudar di tengah kosmopolitnya dunia yang sekuler dan materialistis ini. Edward Said (1979: 18) menjelaskan situasi ideologi yang menembus batas-batas nasionalitas dan lokalitas lainnya sebagai “a generalized condition of homelessness”. Inilah yang mungkin bisa kita sebut sebagai ideologi transnasional keagamaan yang selama ini menyebar semenjak berakhirnya perang dingin antara Blok Kapitalis dan Blok Komunis/Sosialis. Kedua blok ideologis ini, oleh kalangan gerakan Islam transnasional dianggap telah menyebarkan polusi mental dan mengancam kesucian agama. Konsep “pollution and purity” (Louis Dumont, 1970 [1966]) inilah yang kemudian dikembangkan secara akademis untuk menjelaskan mengapa pilihan ideologis menjadi rasional di atas pilihan-pilihan material dan ekonomis lainnya.
Analisis ideologis menjadi penting ketika penjelasan-penjelasan motif ekonomi, sosio-psikologis dan politik menjadi lumpuh di hadapan realitas sosial yang problematik ini (Talal Asad, 1979; Louis Althusser, 1977; George Marcus, 1986; Maurice Bloch, 1983 dan 1986). Renato Rosaldo (1988) memperlihatkan bagaimana ideologi tidak lagi mengenal batas-batas tempat dan merasuki ke berbagai kalangan yang disebutnya sebagai “people without culture” ini. Ideologi jihadisme yang selama ini dianggap bertanggung jawab atau setidaknya berada di belakang semua perlawanan berdarah dengan segala kesemrawutan sosiologisnya, setidaknya bisa memberikan penjelasan tentang fenomena kembalinya ideologi dalam analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Kesadaran sosial
Kecenderungan semakin materialnya analisis sosial atas berbagai gejala munculnya gerakan-gerakan perlawanan dan konflik keagamaan haruslah diimbangi dengan analisis kultural yang memadai. Kembalinya ideologi bagi banyak kalangan dari berbagai latar belakang sosial ekonomi menunjukkan bahwa faktor non-material jauh lebih kuat dalam memengaruhi motif seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan tindakan-tindakan perlawanan. Geertz (1973: 220) menyebutkan bahwa ideologi adalah bagian dari sistem budaya yang memetakan realitas-realitas sosial yang problematik dan menjadi matriks bagi terciptanya kesadaran sosial. Ideologi inilah yang mendasari Ridwan Agustin, Tommy Hendratno, Syahputra dan juga Heri Kustiyanto meninggalkan segala kecukupan duniawi dan membuang semua spirit in the material world yang pernah mereka anut sebelumnya. Mereka menuju ke sebuah harapan baru yang masih belum jelas secara material, namun sangat jelas secara ideologis: janji surga bagi yang syahid dan syafaat bagi keluarga batih dan kerabatnya.
Matriks kesadaran sosial ini dibangun oleh kalangan yang merasakan adanya luka moral (moral torment) yang disebabkan oleh serangan ideologi lain (Joel Robbins, 2004). Kesadaran sosial keterjajahan inilah yang kemudian menggerakkan mereka untuk menuntut balas atas luka moral yang masih menganga tersebut. Kesadaran sosial ini bukan dibangun atas dasar nasionalisme atau etnisitas, melainkan berdiri secara transnasional sebagai sebuah kesadaran baru yang disebut oleh Michael Francis Laffan (2003) sebagai Islamic nationhood. Di sinilah konsep ummah dibangun sebagai sebuah kesadaran sosial yang memengaruhi berbagai orang untuk berpartisipasi di dalam pembentukan sebuah negara Islam di Suriah dan Irak.
Konsep Laffan (2003) tentang spirit bela negara dalam komunitas Islam ini begitu membahana dan setidaknya menjadi ketertarikan politik bagi gerakan-gerakan lainnya. Ideologi Islamic nationhood ini mempengaruhi banyak gerakan-gerakan radikal dan teroris di berbagai belahan dunia. Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso segera menyatakan sumpah setia (baiat) kepada khalifah Al Baghdadi yang memimpin ISIS (2013), juga Boko Haram di Negeria tersirap dengan peragaan kekerasaan yang diperlihatkan ISIS (2014). Beberapa faksi mujahidin di Suriah, Afghanistan, Palestina, Lebanon, dan wilayah-wilayah lainnya menyatakan solidaritasnya untuk mendukung dan bergabung dengan gerakan yang dianggap sebagai representasi alam bawah sadar mereka untuk menggentarkan musuh-musuh agama yang telah menorehkan moral torment terhadap umat Islam selama berabad-abad.
Bahkan belum lama ini Fakhruddin bin Kasem alias Din Robot, mantan panglima sagoe Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Julok, Aceh Timur (7/9/2015) menyatakan hasratnya untuk bergabung dengan ISIS. Meskipun hasrat politik yang tersendat ini dianggap banyak pihak sebagai langkah sensasional saja, setidaknya realitas sosial problematik ini dipengaruhi oleh merebaknya ideologi kebangsaan Islam yang diembuskan oleh ISIS. Bayangan akan sebuah tamkin negara Islam yang de facto menjadi daya tarik utama bagi banyak gerakan pemberontakan. Al Qaeda pun kewalahan menghadapi berbagai serangan ISIS di basis-basis yang sudah mereka rebut sebelumnya di Suriah, Irak dan Afghanistan. Al Qaeda kalah cepat dalam mewujudkan idealitas arkaik yang sangat diharapkan banyak kalangan radikal dan fundamentalis Islam, yaitu keinginan untuk memiliki sebuah tamkin (negara) yang definitif. Posisi tanzhim (gerakan) Al Qaeda perlahan-lahan mulai tergeser oleh ISIS yang rajin mempertontonkan kebiadaban dan kekerasan sebagai kabar gembira dan peringatan untuk memuaskan dendam keterjajahan lama di bawah sistem kapitalisme dan neo-liberalisme Barat.
Motif kultural atau motif ideologis inilah yang mungkin sedang disemai oleh kaum profesional yang selama ini merasakan hidupnya yang berkecukupan tersebut belumlah cukup secara teologis dan eskatologis. Ada kekeringan spiritual yang akut di sana. Ada tujuan-tujuan akhirat yang mendasari tindakan mereka dalam bergabung dengan ISIS nun jauh di Suriah sana. Negeri yang jauh itu tidak dipandang akan memberikan kesejahteraan material bagi pemuasan nafsu badaniah, melainkan perang itu adalah peluang bagi mereka untuk menggapai hasrat teologis dan eskatologis mereka untuk menuju ke surga dan bercengkerama dengan para bidadari yang senantiasa perawan. Ini adalah sebuah keyakinan, sebuah ideologi yang tidak bisa ditukar dengan imbalan material sebesar apa pun. Ideologi millenarian inilah yang selama ini dicari, dan ketika ditemukan, maka kelezatan duniawi apa pun akan ditinggalkan dengan serta-merta.
Al Chaidar, pengajar pada Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Kelompok2 org yg berusaha berjuang dg cara2nya sendiri akan selalu ada. Yg kalah akan selalu disebut pembrontak. Yg menang akan selalu jd pahlawan.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit