Hai #steemians, hari ini saya ingin berbagi cerita tentang perjalanan kami ke perkampungan Suku Baduy, sekelompok komunitas adat yang menolak moderenisasi, walau kampung mereka hanya sekitar 121 kilometer dari ibukota negara.
Kampung Baduy, di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak, Banten, menjadi satu-satunya komunitas adat yang kami kunjungi serta dokumentasikan sebanyak dua kali, ketika Ekspedisi Indonesia Biru, 2015 silam. Saat mengawali perjalanan (Januari) dan mengakhiri kelana kami (Desember).
Kami tiba menjelang magrib di Ciboleger, kampung terakhir yang bisa dilintasi sepeda motor. Ketika itu, jalanan mulai sepi. Karena ini pengalaman pertama ke Kampung Baduy, tentu ada kekawatiran.
Tapi rasa waswas akhirnya sirna, ketika ada warga yang menyapa kami dengan ramah. Kepadanya, kami bercerita tentang keinginan masuk ke kampung Baduy Dalam. Karena sudah malam, dia menawarkan kami menginap dulu, baru besok pagi akan dikenalkan sama orang yang akan membawa kami ke kampungnya.
Pagi-pagi sekali, seorang berpakaian dengan ikat kepala putih datang bersama anaknya. Melihat penampilannya, saya membayangkan pendekar Wiro Sableng. Dia adalah Sapri (kini 51 tahun), beserta anaknya Komong (10 tahun), mereka akan menemani kami ke perkampungannya, Baduy Dalam.
Setelah berjalan kaki selama 6 jam dengan medan naik turun bukit, kami tiba di Kampung Cibeo, kampungnya Orang Baduy Dalam. Jaraknya sekitar 12 kilometer dari Ciboleger, kampung terakhir yang bisa dilalui sepeda motor.
Sebuah kampung yang sunyi, tapi tertata rapi. Tidak ada penerangan listrik, apalagi televisi. Karena kepercayaan (Sunda Wiwitan) dan adat mereka, banda-benda itu ‘haram’ digunakan, termasuk semua jenis barang elektronik. Bahkan mereka juga tidak beralas kaki, pantang naik kendaraan. Warna pakaian mereka, hanya hitam dan putih.
Malam itu, dengan kaki dan seluruh badan pegal-pegal, kami tertidur pulas di rumah Sapri. Bunyi lesung yang bersahutan yang membangunkan. Dari celah dinding saya mengintip, gadis-gadis Baduy sedang menumbuk padi.
Setelah minta izin pada tuan rumah, kami keluar dan berkeliling kampung. Setiap berpapasan, kami ditegur ramah warganya. Sayang, penggunaan Kamera dan barang-barang elektronik lainnya diharamkan di kampung ini.
Sama dengan anak-anak Baduy Dalam lainnya, Sapri tak mengantar tujuh anaknya ke sekolah formal, karena sekolah juga satu di antara yang diharamkan. Anak-anak mereka dididik sendiri dengan cara mereka. Berbuat baik, saling menolong, salah satu yang ditanamkan sejak dini. Bahkan mereka (Baduy Dalam) tak marah bila ditipu atau di-bully.
Artikel kami tentang Baduy, dapat di baca di sini:
http://www.indonesiabiru.com/tanah-baduy-tanah-1001-pantangan/
http://www.indonesiabiru.com/tapak-kaki-baduy/
http://www.indonesiabiru.com/ekonomi-berbagi-ala-baduy-dalam/
Setelah dua malam di kampung Baduy, kami pamit untuk melanjutkan kelananya. Dalam perjalanan, kami juga mengedit Video tentang kehidupan sosial Warga Baduy. Filmnya dapat diintip di sini:
Setelah setahun mendokumentasikan nusantara dengan sepeda motor, dalam perjalanan pulang kami kembali singgah ke Kampung 1001 pantangan ini, yang kebetulan saat itu lagi musim durian.
Sampai saat ini, Sapri bersama keluarganya sudah seperti saudara bagi kami. Beberapa kali Sapri bersama anak-anaknya ke Jakarta untuk menjual madu, dia selalu singgah dan menginap di tempat kami: Rumah produksi Watchdoc.
Eeeet, karena pantangannya, ke Jakarta tentunya Sapri dengan berjalan kaki, lama perjalanannya 3 sampai 4 hari. (Bersambung)
Congratulations @ucokparta! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Do not miss the last post from @steemitboard:
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @ucokparta! You received a personal award!
Click here to view your Board
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit