14 Tahun Tsunami Aceh

Empat belas tahun yang lalu gempa dengan kekuatan 9, sekian skala richte memporak-porandakan Aceh. Tak berselang lama, air laut naik dan meluluhlantakkan Aceh. Kota Banda Aceh, Meulaboh dan Calang adalah tiga kabupaten/kota yang merasakan dampak terberat.

Peristiwa itu, kemudian dinamai dengan sebutan Gempa-Tsunami. Hari ini, Aceh memperingati 14 tahun tsunami. Masyarakat dan pemerintah sama-sama larut dalam zikir, doa bersama hingga ceramah keagamaan. Salah satu hal yang dibahas dan kenang adalah, refleksi dan mengambil hikmah dari apa yang sudah terjadi.

Di Banda Aceh, peringatan dengan skala provinsi dipusatkan di Peukabada. Selain itu, dimana-mana juga melaksanakan hal yang sama. Saya turut hadir pada salah satu tempat peringatan. Mengulas tsunami, tentang hikmah agaknya sudah banyak yang menuliskan hal tersebut. Saya, mencoba mencari sisi lain, yang barangkali belum masif dibahas orang lain.

Salah satunya adalah, Aceh berhasil menjadi role model dari mitigasi kebencanaan. Mulanya memang relawan dari berbagai negara hadir untuk mengevakuasi korban, setelah itu dilanjutkan dengan fase rehab-rekon. Tetapi, banyak pihak yang melakukan penelitian di bumi Serambi Mekkah. Kajiannya spesifik; bencana tsunami. Hanya saja, pendekatannya berbeda-beda.

Aceh tak bisa menolak takdir, bahwa bencana dahsyat tersebut dipilihkan Allah SWT di tempatnya. Pun sama, Aceh tak bisa mengelak bahwa keberadaan bencana tersebut, menjadikannya rujukan untuk diteliti, kemudian memberikan inspirasi maupun sumbangsih bagi perkembangan keilmuan di dunia. Bahkan, hingga hari ini, selain tema Syariat Islam (SI), tema tsunami masih laku keras untuk didanai para donatur.

Lalu, para peneliti Aceh maupun korban yang selamat diundang ke berbagai negara untuk menyampaikan, baik hasil penelitiannya maupun kisah tsunami. Martunis misalnya. Bocah ajaib yang terdampar ke Portugal. Sekalipun sudah dianggap anak angkatnya Mega bintang sepakbola, Cristiano Ronaldo, dan mendapatkan kesempatan trial di klub besar Portugal, Sporting Lisbon, nyatanya ia 'gagal' menjadi pesepakbola.

Kendatipun gagal sebagai persepakbola, namun takdirnya sebagai ikon dari tsunami tak bisa dielakkan. Hari ini misalnya, ia terbang ke Turki dalam rangka peringatan 14 tahun tsunami. Martunis diundang oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Turki sebagai keynote speaker dalam acara tersebut. Dari situ makin mengukuhkan, bahwa tsunami masih memiliki sisi lain yang terus terbarukan dalam momen tak sama.

Kemudian, tentang penyebutan tsunami. Di Aceh, konon kabarnya tsunami sudah pernah terjadi di Simeulue. Dalam bahasa lokal masyarakat pulau disebut Smong. Dua hari terakhir, di beberapa media memberitakan, beberapa pihak mendesak pemerintah untuk menganti sebutan tsunami menjadi Smong. Tak cukup disitu, dalam bahasa Aceh, beberapa pihak mengatakan tsunami dalam bahasa Aceh disebut ie beuna.

Selain itu, salah satu bangunan sekaligus ikon tsunami di Aceh ialah museum tsunami. Gedung tersebut diarsiteki oleh Gubernur Jawa Barat saat ini, Ridwal Kamil. Lepas shalat magrib tadi, saya membuka instagram dan Ridwan Kamil mengucapkan selamat memperingati tsunami Aceh. Dengan mengunggah museum tsunami di akun ig-nya.

Ada satu fakta menarik yang saya dapatkan. Salah seorang netizen berkomentar, bahwa satu hal yang ia sesalkan, kemegahan museum tsunami kurang mendapatkan perawatan dari pihak terkait. Ridwan Kamil membalas, harusnya bagunan tersebut sudah direnovasi minimal setelah 11 tahun. Misalnya, pengecetan ulang.

Saya juga teringat, bahwa museum tsunami yang anggun itu, ternyata juga memiliki persoalan lain. Dulu, salah satu tabloid lokal; Modus Aceh pernah memberitakan, bahwa museum tsunami harus menyetor kepada pihak loreng hijau hitam dari pengelolaan museum itu. Namun, saya lupa kapan tabloid itu diterbitkan. Yang pasti, sudah agak lama.