Umur 0-4 tahun : ditimang-timang dalam pangkuan
Umur 4-5 tahun : PAUD
Umur 5-7 tahun : TK
Umur 7-12 tahun : SD
Umur 12-15 tahun : SMP
Umur 15-17 tahun : SMA
Umur 17-21 tahun : kuliah…..
Dst..
Dst..
Terlihat normal bukan?
Ini adalah “waktu standar” yang dilalui oleh kebanyakan manusia. Dengan pola seperti ini, tidak heran maka kemudian kita cenderung mengkotak-kotakkan waktu dan masa. Seolah-olah beberapa hal telah terpatri untuk dijalankan di waktu-waktu tertentu.
Biasanya, puncak kegalauan manusia di mulai setelah lulus kuliah, karena setelah lulus lah “pakem waktu” ini mulai berubah. Tidak ada lagi pakem waktu yang menuntun kita dalam menjalani hidup.
Ada yang mulai menikah, punya anak, bekerja, berkarir hingga sukses, namun sedikit banyak ada pula yang tidak mengalami perubahan berarti. Umur 21 masih menjadi “mahasiswa abadi?” banyaakkk. Dengan adanya “pakem” ini, tidak sedikit orang frustrasi dan menyalahkan “kok dia duluan sih?”, “kok dia udah nikah?”, “asik ya dia udah punya anak yang lucu”, “ih, pekerjaan nya keren dan mapan, aku kapan ya?” dan seterusnya, dan seterusnya.
Ujung-ujungnya? Kita tidak mensyukuri apa yang sudah kita miliki dan waktu yang telah kita lalui.
Apakah aku pernah terjerat dalam “pakem waktu” ini? Tentu saja!
Bahkan mungkin sampai sekarang, namun berusaha untuk pura-pura bodoh dan pura-pura tidak tahu. Lebih tepatnya, tidak mau mengakui.
Terkadang pikiran “Ih, kok bisa ya?” selalu terlintas dalam pikiran. Seolah tidak menerima dengan campur tangan Tuhan di dunia ini, hingga sebuah nasihat begitu menghujam mengatakan “janganlah kau iri dengan rezeki orang lain yang Allah berikan sesuai dengan ketetapan dan kehendak waktu-Nya”.
Astaghfirullah.
Memang benar bahwa manusia itu paling susah untuk bersyukur, dan paling mudah untuk mengeluh.
Kita cenderung menilai waktu kita dengan waktu orang lain. Cenderung menghakimi hidup kita dengan hidup orang lain yang tampak lebih sempurna. Selalu membandingkan bahagia kita dengan bahagia orang lain. Akupun terkadang demikian.
Tidak mudah memang, ketika kita melihat teman-teman seusia kita semua masuk perguruan tinggi, sementara kita selalu gagal dalam ujian.
Tidak mudah memang, ketika kita melihat teman-teman lulus kuliah, sementara kita masih berkutat dengan janji temu dosen.
Tidak mudah memang, ketika teman-teman sepantaran sudah mendapatkan pekerjaan mapan, sementara kita sibuk membawa berkas-berkas yang seringnya berujung di tempat sampah.
Tidak mudah memang, ketika teman-teman yang hilang satu per satu, tiba-tiba menikah dan dikarunia anak yang menggemaskan, sementara kita tertinggal di belakang, sendirian, dengan karir yang juga mandeg #loh
Begitulah hidup. Semua akan terasa tidak adil, ketika kita sulit mensyukuri apa yang kita miliki dan menilai hidup kita dengan pakem waktu orang lain.
Umur 21 belum lulus kuliah?
Umur 27 belum punya pekerjaan mapan??
Umur 32 belum menikah???
Santuyyyyyy. Banyak orang seperti engkau! Itulah salah satu nasihat Alm. Bapak.
Apakah aku santuy? Yahh kadang berdebar-debar juga sihh hahahaa
Hidup memang tidak pernah mudah. Hidup kadang terlihat tidak adil. Hidup kadang terlihat menyedihkan. Tidak apa-apa. Kita tidak sendirian. Karena kata bijak: setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orang nya. Get your own life, everybody!