Hilang di Mata, di Hati Jangan

Ketika raga tidak dapat lagi berbuat banyak, ketika harapan menjadi retak karena di rusak, saat itu aku ingin menguburmu mati-matian, menimbunmu dalam-dalam, untuk mengembalikan kebahagian dalam kehidupan.

Diantara wajah yang kucinta selama ini, topeng mana kah yang kau kenakan?

Sadarilah, aku dengan terengah-engah sudah mencintaimu, apalagi yang belum kulakukan untukmu? Aku tidak meminta balasan apapun dari engkau adinda, aku hanya ingin kau membalas cinta yang kubawa, bukan sekedar janji-janji palsu tapi janji suci yang ingin ku sakralkan di depan penghulu, dan orang tuamu.

Bukankah kau yang memintaku, mengemis padaku untuk mempertahankan mu? Dalam keadaan sesulit apapun, serumit manapun, bahkan jalan tak semudah untuk ketempuh, beribu rintangan aku lalui hanya untuk mengapai kebahagiaan yang hakiki. “Bukan untukku bukan untukmu tapi untuk kita”. Karna jika aku hancur, kau juga. Jika aku bahagia, kau juga.

Tapi mengapa, kenapa, bagaimana ini semua dengan mudahnya kau muntahkan?
Disaat cintaku sudah sepenuhnya untukmu lalu kau dengan mudah nya menghancurkan nya. Siapa yang kejam?

Apa yang telah kau temukan diluar sana, siapa yang telah membutakan mata hatimu kasih?
Jangan hanya mencintaiku dengan hati jika kau tak ingin mengunakan akal pikiran, semua akan sia-sia.

Jangan hanya menyudutkan ku dengan pekerjaan, penghasilan yang tak memungkinkan, dulu kita seia sekata, salah lebur sama binasa.

Jika perempuan lain akan buta dengan perfectionis, matrealisme, dan dialektika kehidupan tapi kau, Jangan.
Inilah akhir cerita cinta pekerja seni yang menuai tragis.