Salahnya Orang Tua, Tidak Mengerti Dunia Kami

in writing •  7 years ago  (edited)

Obrolan di grup whatsapp GIB (Gam Inong Blogger) pagi ini sedikit berbeda. Melanjutkan haba rampoen -- obrolan selintas lalu, tak jelas -- malam tadi, mengenai anak yang merasa dirinya gagal karena tidak adanya dukungan dari orang tua. Direndahkan. Diabaikan keinginanannya. Walaupun dia berprestasi bagus, tapi tetap tak bernilai. Karena tidak seperti yang diinginkan orang tua.

coming-soon-2818254_640.jpg
source

Semalam saya hanya membaca saja. Tak mengomentari. Beberapa kali pernah terlibat obrolan di grup lain soal parenting berujung debat karena beda konsep. Terlebih dalam chat grup sering kali percakapan tidak berjalan lancar, terpotong, salah dipahami karena singkatnya tulisan, dll.

Tapi pagi tadi, komentar dari @anakkorea membuat obrolan mendadak lebih terfokus.

Dan dua2nya menyatakan seolah orang tuanya tak mengerti dunia anaknya.
Pertanyaannya sekarang adalah Sudah berapa lama dia (anak) mengerti keinginan orang tuanya?

Komentar yang menusuk jauh ke dalam hati. Sakit, dan di saat yang sama, menimbulkan rasa bersalah.

drawing-1886078_640.jpg
source

Yup. Saya juga pernah berada di posisi anak yang marah pada orang tuanya.

Berawal dari SMA, ketika pilihan saya untuk mengambil jalur IPS diubah oleh wali kelas -- permintaaan orang tua -- dan akhirnya menjadi IPA. Saya benci kimia. Kurang baik dalam matematika, dan tersiksa mempelajari Fisika.

Lalu rasa marah itu berlanjut ketika peluang beasiswa di kampus Broadcasting ditolak orang tua. Padahal sudah lolos, tinggal berangkat. Semakin marah lagi, ketika lobi-lobi tingkat tinggi membuat nama saya yang seharusnya muncul di pilihan pertama Fakultas saat UMPTN, bergeser ke pilihan kedua. Keduanya jurusan baru, dan entah bagaimana, orang tua saya dihubungi untuk 'tukar kampus'.
Jadilah saya masuk dan bertemu lagi jurusan yang meskipun berada di Pertanian tapi bidangnya 90% kimia (saya benci kimia).

Seolah belum cukup membuat kemarahan saya semakin berapi, semester satu, saya dan beberapa teman diminta oleh dosen mendirikan himpunan mahasiswa. Praktis kami harus menghabiskan waktu dengan berbagai rapat, membolos jam kuliah (atas sepengetahuan dosen itu) dan diakhir semester, HMJ berdiri, kami mendapat nilai rendah di KHS, dosen itu beralasan karena ketidak hadiran menjadi sebab rendahnya nilai. Ya, dosen itu. Dosen yang sama dengan yang memberi kami tugas mendirikan HMJ.

IP nol koma sekian itu membuat saya kehilangan batas kesabaran.

Saya mulai jarang pulang. Jarang kuliah. Merasa diri sebagai korban keegoisan orang tua. Tak berapa lama usaha kaki lima yang saya buat membuahkan hasil. Punya uang, saya semakin jauh dari rumah. Dam tentu memicu banyak pertengkaran.

Jadi backpacker sambil kuliah. Saya tetap kuliah, hanya karena mempertahankan status mahasiswa, nilai hancur lebur. Jadi penyiar juga, tapi sering bolos jam siaran.

IMG_20180307_103301.jpg
Ilustrasi source

Lalu tsunami 2004 memusnahkan semua usaha yang saya punya. Kehilangan teman baik yang jumlahnya memang sedikit. Saya pulang.

Kalau sebelumnya seperti burung yang hinggap sebentar di dahan. Kali ini saya pulang. Tak bisa pergi lagi. Karena semua jalan yang saya bangun hancur.

Dan menemukan betapa ternyata selama bertahun-tahun, bukan saya yang tak dimengerti. Saya yang sebenarnya egois tak mau mengerti.

Duduk termenung di pengungsian, menumpang di rumah saudaranya tetangga. Mamak dan Ayah terguncang karena nyaris kehilangan ketiga anaknya.

Saya masih ingat seperti apa terkejutnya saya. Setelah sekian lama, baru saat itu saya benar-benar melihat kondisi kedua orang tua saya. Mereka sudah tua, uban penuh memutihkan rambut. Keriput yang menghiasi kulit. Mereka berpegang ke saya sebagai penopang.

"Yed, jangan pergi-pergi lagi." ucapan mamak saat itu terus melekat.

Tapi begitulah, ketika masa pemulihan paska tsunami, dengan beralasan (mencari pembenaran)mencari uang, saya bekerja di NGo asing, kembali jauh dari rumah, tapi berkilah untuk keluarga.

Tidak lama. Saya bertemu jodoh. Menikah. Dan akhirnya meninggalkan kerja di lembaga asing itu. Membuka usaha, sempat sukses, lalu bangkrut ditipu seorang rekan. Malu untuk pulang, saya kerja serabutan, sampai jadi kuli di pasar. Istri saya pegawai negara di kabupaten lain. Saya laki-laki Aceh, dididik untuk tidak pernah menadah tangan pada istri.

Ayah mencari saya, dan membujuk untuk pulang. Saya pulang.

Orang Tua atau Kita Yang Tak Mengerti?

Bertambahnya usia dan pengalaman membuat saya lebih bisa berpikir. Sebenarnya siapa yang egois?

Mencoba mengkaji ulang. Saya menyusun kembali semuanya.

Ayah dan Mamak, tak mengizinkan saya pergi saat mendapat beasiswa kuliah broadcasting ke Jakarta. Setelah dipikirkan, saat itu saya memang jauh dari mandiri. Nyucibaju masih diurusi orang, masak hanya bisa mi instan, dan tak pernah pergi jauh melebihi batas provinsi Aceh.

Ketika kuliah. Mamak dan Ayah lebih menyetujui kuliah di Pertanian. Wajar. Mereka berdua pegawai di Dinas Peternakan. Teman mereka bertabur di jajaran dinas sejenis. Pertanian, Perikanan, Perkebunan. Saat itu ada istilah jatah anak pegawai sehingga tentunya mereka berharap akan lebih mudah saya bekerja.

Jangan lupa, sampai sekarang masih banyak orang tua yang berkeyakinan kerja kantoran itu lebih baik, dibandingkan kerja di industri kreatif apalagi dagang kecil-kecilan.

Dan banyak keributan, pertengkaran yang muncul antara saya dan orang tua sebenarnya justru karena saya terlalu egois. Berharap orang tua akan seketika mau paham maunya saya.

Saya tidak mencoba menjelaskan. Bahkan kalau mau jujur, saya saat itu tidak bisa menjelaskan. Hanya punya mimpi tanpa konsep yang jelas. Tanpa rancangan, tak ada rencana. Hanya mimpi.

Bagaimana bisa berharap didukung, kalau mereka tak bisa melihat apa yang ingin dicapai. Orang tua dan saya lahir di zaman yang belum terlalu beda, tapi tetap dunia kami saat itu sebenarnya sudah punya parameter berbeda. Apalagi antara orang tua zaman analog dengan anak-anak generasi milenial yang serba digital.

Di sisi lain. Sebagai anak, saya abai bertanya sebenarnya apa yang diinginkan orang tua. Jangan-jangan sebenarnya tujuannya sama. Hanya berbeda sebutan. Dan bisa disesuaikan. Atau malah sebenarnya yang diinginkan orang tua lebih jelas dan bila diolah sesuai zaman kita justru lebih baik. Ingat, orang tua selalu punua pengalaman yang jauh lebih banyak dibanding kita.

Ada teman berkilah, bahwa banyak juga orang tua yang egois. Ya, itu ada. Tapi jangan lupa, bisa jadi egoisnya demi anaknya. Toh kalaupun mereka bagian yang memang zhalim, tak pantas kita umbar aib itu kemana-mana. 'Sejahat-jahatnya' mereka, anak bisa lahir dan ada di dunia karena mereka. Setidaknya hargai fakta itu.

Saya bersyukur, orang tua saya tidak begitu. Mereka hanya berusaha melakukan yang baik untuk kami anak-anaknya. Dengan cara mereka.
Saya bersyukur masih Allah berikan kesempatan untuk paham itu.

Kita sering lupa. Mereka tak selalu akan ada untuk kita. Lalu baru tersadar, saat yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa dan menatap nisan mereka.

IMG_20180305_091414_HDR-01.jpeg
Bersama si bungsu di Masjid Lampriek, Banda Aceh


Kita sering lupa. Mereka (orang tua) tak selalu akan ada untuk kita. Lalu baru tersadar, saat yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa dan menatap nisan mereka.

IMG_20180228_131941.jpg

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Jd sedih tiap x baca postingan ttg orang tua.

Lebih sedih pas ada anak dgn gampang mencela orang tua. Bilang ini itu, tapi hidupnya masih utuh ditanggung sama ortu.

Sedih x bg say...
Kalo di akhir tulisan ini diposting foto bg saybdg kedua orgtuanya, pasti jauh lebih mewek...

  ·  7 years ago (edited)

😊 gitu ya? Ah biarlah apa adanya.

kita acap kali berkomunikasi dengan bahasa yang salah, melihat dari sudut pandang yang berbeda, mak beruntunglah anak-anak yang diberi kesadaran dan menyesal meski trelembat, tapi masih ada kesempatan untuk mengubah keadaan.

Sangat beruntung. Semoga bisa mengurangi kesalahan2 dulu. Menebusnya? Mustahil. Luka tidak bisa dihapus. Bekasnya akan selalu ada.

Tulisan yang berkualitas ustdz... Weuh bacanya..

Nyoe lon bingung. Peu neu pujo peu neu gilhoe 😅