Aku adalah perempuan paling realistis, asal kau tahu. Aku tidak pernah menaruh harapan pada sesuatu atau pada seseorang yang aku yakin sudah pasti tidak dapat aku miliki. Aku rasa begitulah sebaik-baiknya cara untuk menjaga hatiku dari kecewa.
Namun semakin lama, agaknya aku menjadi sedikit berlebihan. Aku kira aku hanya berusaha menjadi realistis. Tapi rasanya sikap itu malah meluruhkan semua rasa percaya diri yang aku punya. Aku jadi sering merasa tidak mungkin untuk sesuatu atau seseorang dapat aku miliki sekalipun aku ingin. Aku jadi sering merasa tidak cukup pantas mendapatkannya. Yang pada akhirnya memang berhasil membuatku tidak dikecewakan oleh siapa-siapa, tapi malah kecewa pada diriku sendiri.
Bicara soal realistis dan kecewa, mari kita kaitkan sedikit keduanya denganmu.
Bertemu dan mengenalmu, aku tetap menjadi diriku. Perempuan paling realistis. Tidak satu kalipun aku menaruh harapan apa-apa dengan kedekatan kita saat itu. Aku malah sering bertanya-tanya sendiri apa sebenarnya tujuanmu. Apa istimewanya aku sehingga kau bisa sebaik itu. Maksudku, aku tahu bagaimana diriku. Aku juga tahu bagaimana dirimu. Dengan dunia dan hidup yang kita punya, aku tidak mengerti bagaimana bisa kita menjadi sedekat itu. (lihat? Aku mulai bingung sebenarnya aku sedang bersikap realistis atau tidak punya rasa percaya diri) Namun setelah beberapa lama aku mempertahankan realistisme(?) yang aku anut, hatiku pelan-pelan mulai melunak. Aku pikir, bukan tidak mungkin kita bisa berteman sedekat itu. Aku pikir, tidak masalah sekalipun kita punya dunia yang berbeda. Aku pikir, semuanya hanya akan semengalir itu dan kita hanya akan sama sama terbawa arusnya tanpa harus khawatir tenggelam. Walaupun aku masih tidak berani mengharapkan apa-apa, aku akhirnya mulai meruntuhkan tembok yang kubangun untuk menjauhkan kecewa dari garis teritori hidupku. Sesuatu yang kemudian kusesali karena ternyata aku harus membangunnya kembali. Harus lebih tinggi. Harus lebih kokoh.
Rasanya, seperti ada kecewa yang menyusup ketika tiba-tiba kau menghilang. Masih perlukah kujelaskan, bahwa sebelumnya aku terbiasa dengan hidupku yang sepi. Aku terbiasa dengan kesendirianku. Lalu saat kau mulai masuk ke hidupku, semua kebiasaan itu mulai berganti. Aku mulai terbiasa dengan adanya kamu di dekatku. Kita seperti selalu terhubung saat itu. Aku selalu tahu apa yang sedang kau kerjakan. Aku selalu tahu dimana kau berada. Aku selalu tahu bagaimana kau melewati harimu. Begitu pula sebaliknya. Maka ketika kemudian kau menghilang, aku malah merasa seperti ditinggalkan. Situasi itu seolah-olah membenarkan rasa tidak percaya diri itu menguasaiku. Padahal, aku masih ingin tahu bagaimana kabarmu. Padahal, aku masih ingin menceritakan hari-hariku.
Percayalah, sepanjang eksistensiku, kau adalah orang paling ajaib yang pernah kutemui. Karena dengan mudahnya kau membuatku membuka diri dalam waktu sesingkat itu. Sebelumnya, pernah ada satu orang yang mencoba mendekat. Tahun berganti, tapi tidak sedikitpun ia menyesakkan hatiku ketika kemudian ia memilih berhenti. Pun tidak ada rasa kecewa dalam hatiku ketika ia tidak dapat membuktikan ucapannya. Tapi kau, Ya Tuhan, bagaimana ini bisa terjadi. Bukankah aku tidak berharap apa-apa. Bukankah aku masih berpikir realistis. Tapi kenapa rasanya tidak rela ketika kau mulai menjauh. Kenapa rasanya mulai sesak setiap kali aku tahu bahwa kau tidak lagi peduli. Sepertinya, kali ini aku mulai dikecewakan. Bukan oleh diriku sendiri, tapi olehmu.