Lapak para pedagang masih berderet di sepanjang ruas pelataran Diponegoro, sekitaran Kampung Baru, hingga jelang dinihari. Ruko-ruko sudah tutup dari sore. Pemiliknya sudah terlelap beberapa jam lalu, mungkin.
Maka di waktu seperti sekaranglah penjaja yang nomaden, menjejal dagangannya di kap belakang kendaraan roda empat, memarkir di pinggir jalan. Siang hari, pasti kawasan itu jadi area yang pantang untuk pelapak liar. Tapi, siapa peduli malam. Mereka tak perlu khawatir pada pentung pamong praja, karena kesenyapan bisa menertibkan jalanan dengan sendirinya.
Deru motor hanya sesekali terdengar, rupanya dari ruas jalan lain. Tak banyak yang melintas di jalur pelapak. Namun, para penjaja sandang ini, dengan segenap naluri untuk bertahan hidup, serta punya hati yang masih percaya bahwa Rabbi merestui segala usaha halal, jadi mukalaf yang kebal cuaca.
Apalagi, hujan sejak petang mengguyur, malamnya hanya tersisa desir angin sampai lembab. Bagi muda-mudi perantauan, menyantap mie instan adalah pertahanan terbaik terhadap dinginnya malam. Sekaligus pertahanan di detik-detik keuangan yang kian kritis jelang tanggal tua.
Badan saya sedang tak enak, tapi lebih parah kalau terus berdiam di kamar. Jika tak tahan dengan asap lalu lalang kendaraan, lebih baik luangkan waktu sejenak melihat-lihat kota sepuh ini ketika sedang sepi.
Kadang waktu gelap disebut-sebut miliknya para bebal. Narkoba, berkelindan dengan begal dan penjaja selangkang, sigap beraksi. Jika aturan ketat menjaring, semua bisa maklum untuk main lebih aman. Aman dan...terkendali, dalam rahasia-rahasia di balik meja otoritas setempat yang kerap memutar-mutar keamanan dengan uang.
Aturan jam malam pernah diterapkan. Dulu, saat masih dibekap konflik, malam dibatasi biar tak banyak badan yang hilang. Tapi, baru-baru ini, malam dibatasi biar tak banyak moral yang hilang. Kota sepuh ini menambah banyak pekerjaan.
Beruntung pula mereka, para bebal yang keras hidupnya, masa bodoh pada situasi. Dengan udara yang mencekik, habislah waktu malam ini dengan seruput kopi sambil meracau. Panjang bincang-bincangnya, dari rumor pajak liar sampai aib-aib pedagang lain. Semua dikupas. Makin banyak gelak tawa, makin hangat sekujur badan.
Siapapun yang lewat, diajak mampir. Pedagang pakaian, begitu halnya penjual martabak atau siapapun yang berjualan hingga larut malam, sepertinya punya kadar kesabaran yang lebih baik untuk tanggung jawab mengasapi dapur rumah.
Semoga, rejeki mengalir dengan semestinya..