Bersopan-sopan dalam Mengkritik

in aceh •  7 years ago 

Tempo hari lalu, demokrasi kita semacam diciderai oleh perisitiwa penahanan seorang Ibu rumah tangga, bernama Asma Dewi. Cuitannya di sosial-media, yang mengatakan ”Rezim Koplak dan Mentri Edun” dianggap sebagai penghinaan terhadap pejabat. Karenanya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bersalah melanggar UU ITE tentang Saracen dan ujaran kebencian, dengan hukuman lima bulan sebelas hari penjara (15/3/2018)

Bermula dari kekesalannya terhadap melonjaknya harga daging yang tidak turun-turun, dan tanggapan si Bapak Menteri yang menyarankan “makan jeroan saja”. Solusi itu dianggap Ibu Asma Dewi hanya mencari gampangnya saja. Karena tidak tahan lagi dengan keadaan, dan kegelisahan kepada anaknya yang akan kekurangan protein, maka ketika ditanya oleh facebook “apa yang anda pikirkan?”, ia tumpahkan kekesalannya itu dalam statusnya. Mungkin Hakim berpendapat kata “koplak dan edun” adalah istilah yang kasar untuk diucapkan sebagai kritik, apalagi itu ditujukan kepada pemerintah. Seharusnya Ibu Asma Dewi lebih sopan dalam mengkritik pemerintah. Kritik yang baik dan sopan harus menyertakan data dan solusi, ucap sebagian netizen.

Sebuah paradigma yang menurut saya sedikit aneh, ketika kritik dianggap sopan itu harus disertai data dan solusi. Mungkin sesuatu yang bagus untuk meningkatkan intelegensi akademis, tetapi itu buruk dalam hal kesetaraan. Bagi akademisi dan partai oposisi, mengkritik pemerintah dengan disertai data adalah sesuatu yang mungkin, tapi bagaimana dengan kalangan ibu rumah tangga, seperti Asma Dewi yang notabene-nya mereka mohon maaf, berpendidikan rendah? Ketika terjadi lonjakan harga, orang yang paling menderita adalah ibu-ibu, karena dialah yang mengatur segala kebutuhan rumah tangga. Setiap terjadi kenaikan harga, ia harus berfikir keras dengan uang belanja yang terbatas, agar keluarganya bisa memperoleh gizi yang cukup. Kekesalannya dengan keadaan seringkali ditumpahkan kepada tetangga. Ibu-ibu hanya bisa mengomel, karena mungkin terbatas fikirannya untuk memahami bagaimana instrumen ekonomi pasar bekerja. Yang ia tahu hanyalah anaknya harus mendapatkan gizi yang cukup, dan ia akan sedih jika mengetahui anaknya akan kekurangan protein. Jadi bagaimana mungkin mereka mengucapkan kritik, jika kritik hanya dibenarkan dengan data dan solusi? Darimana mereka mendapatkan data serta analisis akademis yang tajam, sedangkan kemampuannya untuk itu tidak dimilikinya? Apakah itu artinya mereka tidak boleh mengkritik?

“Koplak” mungkin istilah yang cenderung kasar menurut sebagian orang, sehingga kita diminta untuk bersopan-santun ketika berkritik dengan menggunakan istilah yang lebih teduh, terutama kepada pemerintah. Istilah sopan-santun dalam berkritik menurut saya adalah semacam tindakan Hipokrit dalam politik. Politik adalah bahasa publik, seharusnya diucapkan secara terang-terangan. Kritik artinya menunjukkan kesalahan. Kita gelisah dengan keadaan, karenanya menuntut segera perbaikan. Psikologinya adalah suasana kemarahan. Ketika mengkritik kita mencari perhatian pemerintah, Harapannya kita didengar. Jadi bagaimana mungkin kritik diucapkan secara teduh, jika isi psikologinya adalah kemarahan? Yang diinginkan sebetulnya adalah perhatian pemerintah, makanya yang digunakan adalah sebuah soundback yang agak keras, wake up call. Dalam suasana lain mungkin kita tidak akan menggunakan bahasa “koplak” dalam hubungan percintaan, karena itu tidak relevan. Ada suasana yang melandasi kritik, dan itu yang tidak cukup awas dideteksi oleh pemerintah. Sehingga setiap kritik yang disampaikan secara tajam dan terbuka dianggap penghinaan.

Percakapan publik tercegah oleh ketakutan diciduk. Padahal percakapan publik adalah sesuatu yang harus senantiasa diucapkan. Masalah politik diminta penanganan segera, karenanya harus diutarakan setajam mungkin, termasuk fasilitas memaki. Sebab itu kritik seringkali disampaikan dengan kalimat pedas, sindiran keras, dan metafora yang buruk. Kesemuanya itu memang kelihatan kasar dan menghina, padahal tidak selalu demikian. Apa sebenarnya yang disebut menghina? Apakah istilah “koplak” dianggap menghina, karena itu bahasa yang biasa digunakan untuk memaki? Kita mungkin punya prevensi yang berbeda tentang arti memaki. Bagi saya mungkin biasa saja, jutru ucapan Menteri yang mengatakan “makan jeroan” itu adalah penghinaan. Bagaimana mugkin suatu barang yang di luar negeri dibuang, disuruh makan kita disini. Bukankah itu menghina derajat kita?

Dalam percakapan publik, kita dibuat kacau dalam memahami peristilahan tanda (semiotik). Kekacauan ini tidak lepas dari cara kita memahami semiotik secara terpisah dari konteks apa ia diucapkan. Misalnya ketika Ibu Asma Dewi mengeluarkan makian di sosial-media karena harga daging melonjak, Tentu yang dimaki sebenarnya adalah keadaan, bukan Jokowi-nya. “Menteri edun”, apakah itu makian kepada Menteri secara personal? Tentu bukan, karena yang sebetulnya dimaki adalah jabatan menterinya. Seorang menteri hanya bisa memberi solusi “makan jeroan saja” ketika harga daging melonjak, tentu suatu yang menjengkelkan jika yang demikian keluar dari mulut seorang menteri.

Kita harus pandai-pandai memahami konteks. Kepada Irwandi misalnya, sebagai sesama anggota masyarakat, saya diharuskan bersikap santun kepadanya, karena beliau lebih tua daripada saya. Tetapi Irwandi sebagai gubernur, saya harus berlaku kejam kepadanya ketika permasalahan APBA tidak bisa diselesaikan. Ketika gubernur tidak becus bekerja, saya harus melontarkan kritik tajam yang tampaknya seperti memaki. Hal ini dibenarkan oleh demokrasi. Dua konteks yang berbeda, dimana Irwandi sebagai anggota masyarakat dan Irwandi sebagai Gubernur. Perlu kedewasaan kita berfikir untuk memilahnya.

Sopan-santun itu urusan personal kita sesama masyarakat. Kepada pejabat publik sewajarnya sajalah. Kita hidup dalam demokrasi. Kita menyepakati itu dalam konstitusi. Pemerintah bukanlah raja apalagi orangtua kita, Pemerintah bisa diganti. Padanya melekat sifat impersonal, karenanya pemerintah disebut sistem. Ketika dipilih mereka ditugaskan untuk membenahi persoalan politik, hakikatnya mereka orang suruhan kita, bukan atasan yang minta harus dijunjungi.
Sedikit radikal memang, tapi justru karena itu pemerintahan bisa berjalan efektif. Ketika salah mereka dikritik kejam, itu akan membawa dampak psikologis, yaitu ketakutan mereka untuk mengulangi kesalahan yang sama. Ketika menjabat mereka akan berhati-hati dan Professional dalam bekerja. Ketika terjadi masalah mereka akan berfikir keras bagaimana memecahkannya. Bukan sebaliknya menyalahkan masyarakat, atau mencari mudah dengan mengatakan “makan jeroan saja”. Sesuatu yang tidak etis dalam demokrasi, dimana yang seharusnya berdaulat adalah rakyat.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Sudah sya upvote
Upvote balek ya
Salam knal ya kawan

Thanks bro.
Masih pemula, baru belajar.
Mohon bimbingannya :))

Iyaa selalu tunjukkn post dan artikel yg bagus akn bbyak yg vote
Semoga sukse kawan

asal darimana bro? salam kenal

Dari bayu aceh utara

Vote punya aku juga ya

Usahan dlm se hari follow 30 org... Ntik tu dah bnyak follow back bru di hlgkn yg kita follow

siap bos :)
sama dari Aceh utara juga, Krueng gukueh.

Thun pdin klahiran

1996, droen?

Lon 1994
Na jak beut duk di dyah maksut lon

Congratulations @muhzikrillah! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!