Saya adalah orang yang awalnya paling benci menulis. Ini terjadi sejak saya masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Hobi saya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan musik. Sejak SMP, saya sudah menggeluti dunia musik modern, dengan menjadi penabuh drum.
Beranjak ke SMA, faktor sulitnya berkarir di dunia musik modern, membuat saya akhirnya beralih ke penabuh Rapa’I (alat musik tradisional Aceh). Alhasil, di dunia musik tradisional ini mengantarkan saya mampu mendirikan sebuah sanggar seni di Lhokseumawe, serta dapat berkunjung ke negeri jiran, tanpa mengeluarkan biaya sendiri.
@rezaaceh saat menjadi penabuh Rapa'I
Selama di bangku sekolah, saya bisa dibilang tidak pernah menulis. Kecuali catatan-catatan yang 'terpaksa' saya tulis, karena merupakan tugas dari guru untuk mendapatkan nilai. Bahkan terkadang ketika ke sekolah, saya hanya membawa satu buku dan satu alat tulis, yang digunakan untuk catatan seluruh mata pelajaran. Itupun, isi dari buku itu tidak seluruhnya mengenai mata pelajaran, melainkan coretan-coretan atau gambar penghilang suntuk saat proses belajar mengajar.
Walapun agak sedikit ‘bandel’, akan tetapi saya selalu masuk dalam 10 besar peringkat kelas. Walia saya (mewakili ibu saya yang saat itu sudah Almarhumah) memang pernah dipanggil ke sekolah, namun bukan untuk dimarahi karena saya malas atau bodoh, melainkan para guru menilai saya terlalu sibuk dengan organisasi, baik internal maupun di luar sekolah, yang membuat saya sering izin berangkat ke berbagai daerah. Padahal, menurut keterangan guru, peringkat saya bisa meraih peringkat 5 besar, jika tidak sering absen.
Moment saat berkunjung ke Malaysia.
Saat kuliah, kehidupan saya mulai sedikit berubah. Mulanya yang hanya fokus di dunia seni, kini mulai beralih profesi menjadi bagian dari tim di salah satu media lokal di Lhokseumawe. Namun saat itu, saya tidak langsung diterjunkan sebagai 'kuli tinta', karena belum memahami seluk beluk wartawan dan media. Saya akhirnya ditugaskan juru ketik berita-berita wartawan tua, yang tidak terlalu menguasai komputer. Di situlah saya mulai belajar bagaimana 'meramu' informasi yang didapat di lapangan menjadi sebuah berita.
Pelatihan Jurnalis Foto di Lhokseumawe.
Sebulan lebih menjadi juru ketik, akhirnya saya mendapat kesempatan 'turun ke lapangan'. Saat itu seluruh wartawan menjalani tugasnya masing-masing, sementara ada liputan 'mendadak' yang harus segera diliput. Karena kekurangan wartawan, pimpinan redaksi meminta saya untuk melakukan wawancara. Tak tanggung-tanggung, narasumber yang pertama saya wawancara saat itu adalah wali kotaLhokseumawe.
Dengan perasaan gugup, saya pun pergi menemui wali kota di kantornya. Berbekal beberapa pertanyaan 'titipan' dari pimpinan redaksi, saya akhirnya berhasil mewawancarai orang nomor satu di Lhokseumawe itu. Setelah hari itu, saya pun akhirnya diberi kesempatan menjadi 'kuli tinta', meski sempat mendapat ejekan dari beberapa rekan wartawan karena meliput berita setiap hari, sementara media tempat saya bekerja hanya terbit seminggu sekali. Saya tidak memperdulikannya, karena saat itu saya merasa tugas saya adalah mencari informasi, sedangkan tugas menerbitkan itu adalah tugas dari redaksi, bukan saya.
Momen liputan di Lhokseumawe.
Selang beberapa bulan, media lokal itupun akhirnya 'gulung tikar'. Hikmah dari meliput berita setiap hari, membuat saya ditawarkan untuk bergabung di sebuah media harian terbitan Medan. Meski media luar Aceh, saya tetap bertugas di Lhokseumawe.
Liputan konser Geisha di Lhokseumawe.
Setahun lebih bersama media itu, saya merasa tidak ada perubahan, khususnya dari segi pendapatan. Malahan, meski sudah menjadi wartawan, saya harus 'nyambi' pada malam harinya sebagai penjaga Warnet. Ini saya lakukan karena sejak kuliah, saya sudah menghidupi kebutuhan hidup sendiri, dengan tidak lagi meminta 'asupan' dari orang tua. Kondisi keuangan yang runyam saat itupun membuat saya tak mampu meraih gelar sarjana, di mana harus terpaksa berhenti kuliah. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk 'hijrah' ke Banda Aceh.
Di Banda Aceh, setelah sebulan lebih terluntang-lantung, seorang teman sekampung memberi kabar bahwa ada sebuah media online lokal yang baru terbentuk dan membutuhkan tenaga wartawan. Rencana untuk melayangkan lamaran nyaris gagal, karena salah satu syarat adalah harus bergelar sarjana. Sementara saya hanya dapat mengandalkan ijazah SMA dan pengalaman ‘sesuil’ di media saat berada di Lhokseumawe. Karena terus didesak, saya pun ‘nekat’ melayangkan lamaran ke media itu.
Hampir dua minggu lebih saya menunggu kabar atau panggilan kerja dari media itu, namun tak kunjung ada kabar. Harapan pun sirna. Akhirnya saya ‘menyerah’ dan memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Namun, ketika hendak pulang, seorang teman lama di Bireuen menawarkan pekerjaan sebagai debt colektor. Tanpa berpikir panjang, saya langsung meng-iyakan, karena saat itu sudah lama tidak memiliki pekerjaan. Saya pun langsung tancap gas menuju Bireuen, dengan motor yang saat itu masih berstatus kredit.
Di hari pertama bekerja, saya mendapat telpon dari Banda Aceh, yang meminta saya untuk datang ke sebuah kantor media di kawasan Simpang Surabaya. Saya diberi kesempatan untuk interview, di mana jika cocok, saya bisa langsung menjadi wartawan ‘magang’. Pikiran pun mulai buyar, di satu sisi saya baru saya menerima pekerjaan baru dari relasi seorang teman, namun di satu sisi saya mendapatk kesempatan kembali berkarir di media. Entah kenapa saat itu seakan ada yang berbisik “inilah karir yang saya inginkan”.
Akhirnya saya menemui pimpinan tempat saya bekerja saat itu dan meminta izin untuk mengundurkan diri. Meski disetujui, dia mengingatkan bahwa kesempatan tidak akan datang dua kali untuk bekerja di kantornya. Saya pun langsung mengatakan “Inilah makanya saya memutuskan untuk mundur dan kembali ke Banda Aceh, karena kesempatan tidak datang dua kali.” Setelah berpamitan, saya pun langsung di hari itu juga kembali ke Banda Aceh.
Di media ini, karir saya di dunia jurnalis mulai beranjak. Relasi dan rekan-rekan kerja di lapangan bertambah. Awalnya saya sempat kewalahan, karena biasanya menyajikan berita harian, tetapi sekarang saya dituntut harus menyajikan berita cepat karena informasi harus segera disajikan selagi masih 'hangat'. Namun perlahan tapi pasti, semua saya jalani dengan sabar dan terus belajar. Saya tak segan-segan selalu bertanya kepada rekan-rekan senior dan berdiskusi bagaimana merancang ide liputan sendiri, tanpa harus sama dengan wartawan lainnya.
Bergabung di media online lokal di Banda Aceh.
Di media ini, saya terus ditempah. Di luar, saya sempat bergabung di sebuah sekolah jurnalistik di Banda Aceh. Namun baru sebulan ‘menuntut ilmu’ saya diminta untuk fokus ‘mengasah’ kemampuan di media saya bekerja saja, tidak harus di luar. Pimpinan media itu bealasan, di sekolah jurnalistik itu hanya diajarkan teori, sedangkan di media itu, saya bisa mendapatkan terori dan langsung mempraktekkannya di lapangan. Saya pun meng-iyakan dan tidak membantah.
Setelah beberapa bulan, suasana di ‘dapur’ redaksi semakin membail. Bahkan saat itu, seakan seluruh rekan-rekan di media itu bukan lagi tempat saya bekerja, melainkan sudah speerti keluarga. Di situ, saya pun diharapkan menjadi ‘andalan’ dan ‘ujung tombak’ di lapangan. Saya juga diharapkan untuk tidak menjadi wartawan 'biasa', namun wartawan 'luar biasa'. Semangat itupun membuat saya saat itu sanggup untuk meliput di berbagai bidang, mulai dari politik, hukum, budaya, olahraga, serta berbagai hal lainnya. Seakan tak mengenal rasa lelah, saat itu saya sanggup setiap harinya menggali informasi mulai dari pagi, hingga menjelang tengah malam.
Menjadi wartawan di Banda Aceh.
Perjuangan berat itupun akhirnya mengantarkan saya sedikit ‘naik status’, di mana sebelumnya hanya wartawan, kini menjabat sebagai koordinator liputan. Saat itu, saya telah memiliki rekan kerja yang harus saya koordinir. Namu saya tidak pernah sekalipun menganggap mereka bawahan, melainkan rekan kerja yang harus sama-sama belajar dan saling kerjasama dalam menggali informasi untuk disajikan ke pembaca. Namun beberapa bulan kemudian, akibat adanya perbedaan pendapat dan pemahaman, saya memutuskan untuk 'angkat kaki' dari media online itu. Saya pun akhirnya bergabung di sebuah media harian lokal ternama (saat itu koran harian nomer dua di Aceh).
Di sini, saya sedikit merasa 'enjoy'. Biasanya harus menyajikan berita cepat dan banyak angle (tema atau judul), kini hanya perlu meliput dua atau tiga berita. Namun ternyata saat saya bergabung, media itu sudah berada di 'ujung hayatnya', karena tak lagi memiliki kekuatan finansial. Beberapa bulan setelah saya bergabung, media itupun akhirnya juga ‘gulung tikar’.
Sempat melanglang buana ke beberapa media lainnya, akhirnya saya dengan beberapa teman yang merasa ‘lelah’ untuk bekerja di media orang lain, akhirnya sepakat untuk mencoba mendirikan media online lokal sendiri. Meski hanya bermodalkan 'semangat' dan tidak memiliki modal finansial sedikitpun, media online itu, hingga kini masih bertahan. Meski beberapa teman mengatakan 'hidup segan mati pun tak mau'. Bahkan untuk menghidupkan media ini dan mencukupi kebutuhan hidup, saya dan rekan-rekan harus bekerja sampingan menggarap media 'pesanan' milik instansi pemerintahan ataupun lembaga non-pemerintah lainnya.
Setelah berkeluarga dan memiliki seorang anak, saya pun merasa ‘sedikit lelah’ di berkiprah di media, akibat sulitnya media-media ‘kecil’ hidup di Aceh dan minimnya pendapatan menjadi seorang wartawan. Saya memang sebelumnya sudah terbiasa ‘menahan lapar’ ketika masih lajang, namun ketika sudah berkeluarga, hal itu tidak mungkin dilakukan. Saya mungkin bisa, tetapi tidak dengan mengorbankan orang yang kini hidup bersama saya dengan keegoisan saya bertahan di media, yang juga harus ikut ‘menahan lapar’.
Keluarga kecilku.
Akhirnya, saya pun mengelola sebuah warung kopi milik orang lain. Namun, perjalanan itu tidak berlangsung lama. Hanya setahun, warung itu pun harus saya kembalikan ke pemilik modal, karena kondisi tempat yang sepi dan minimnya modal untuk menghidupkan warung itu. Selama setahun mengelola warung kopi itu, saya hanya mampu membayar gaji karyawan, sementara untuk saya sendiri hanya sekedar mendapatkan ‘uang rokok’ dan kopi gratis setiap harinya.
Meski sudah ‘berlari’ menjauh dari media, entah kenapa, selang beberapa bulan setelah kelahiran anak pertama, saya pun mendapat tawaran kembali berkiprah di media online lokal yang baru terbentuk di Banda Aceh. Seakan tak 'jera' menggeluti profesi wartawan, saya pun memutuskan untuk begabung.
Kembali' 'terjun' ke lapangan.
Meski terlalu sering ‘jatuh bangun’, saya mencoba untuk bangkit dari keterpurukan. Saya memutuskan kembali terjun ke 'dunia wartawan’, karena perjalanan panjang yang selama ini sudah saya tekuni, yang berat rasanya untuk ditinggalkan begitu saja. Walapun awalnya agak terasa sedikit ‘janggal' karena profesi ini pernah saya tinggalkan. Namun, saya tidak ingin memikirkan persoalan itu. Yang ada di benak saya, apapun ceritanya dan bagaimanapun persoalan yang saya hadapi, saya tetap harus bekerja untuk menghidupi anak dan istri.
With My Love.
Hingga kini, saya masih menulis dan terus menyajikan informasi kepada masyarakat. Tak peduli orang menilai saya masih 'awam' dalam hal menulis atau kurang menguasai 'dunia jurnalistik. saya terus belajar dan belajar. Saya juga sadar, saya terjun ke "dunia wartawan' ini juga secara otodidak, yang tidak mengenyam 'pendidikan khusus' jurnalistik. Saya berprinsip, "Tidak penting seberapa hebatnya kita menulis, tetapi yang terpenting adalah seberapa besar semangat kita untuk berkarya dan berbuat sesuatu, yang bermanfaat untuk orang lain".
Saya berkeyakinan, semangat dan usaha ini suatu saat akan 'membuahkan' hasil. Waktu masih panjang. Dan, masih banyak waktu untuk terus belajar dan berkarya. Yang terpenting, selagi kita bisa berbuat sesuatu, maka teruslah berkarya. Jangan patah semangat, meski berbagai persoalan 'menghantam' kita.
Wassalam @rezaaceh
Mantap, jangan patah semangat.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Haha sipp bang,,,, biasa tu,,, hidup ini kan seperti roda berputar, kadang kita di atas, dan kadang kita di bawah.... yang jelas, nggak mungkin selamanya kita di bawah.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit