Sejarah kapal portugis di kuala raja bireuen
Onggokan bangkai kapal yang diduga milik Portugis di Kuala Raja, Bireuen.
Kapal Nek Musa. Mungkin ini sedikit asing bagi kita. Tapi kalau itu ditanyakan kepada warga Kuala Raja, hampir semuanya tau akan hal itu. Berawal dari onggokan kapal zaman dahulu yang tertambat di bibir pantai, menjelma menjadi cerita yang melegenda. Keberadaan kapal yang kini hanya berupa besi tua di pantai Kuala Raja itu adalah nyata, tapi asal muasalnya masih menjadi misteri hingga saat ini.
Namun, beberapa warga yang ditanyai, mulai dari tokoh pemuda, sesepuh masyarakat hingga keuchik, semuanya sepakat bahwa bangkai kapal itu bukanlah milik Kerajaan Jeumpa, mengingat kapal tersebut terbuat dari besi.
Keuchik Kuala Raja, M Isa M Amin yang kini berusia 43 tahun mengatakan, berdasarkan penuturan buyutnya dulu, awalnya kapal itu ditemukan di tanah kebun milik Nek Musa, makanya kemudian kapal itu dinamai kapal Nek Musa. Tapi karena tergerus abrasi, tanah kebun Nek Musa kemudian menjadi bagian dari pantai Kuala Raja. Seperti yang saat ini bisa disaksikan oleh masyarakat umum.
Kapal itu sendiri menggunakan mesin penggerak yang dihasilkan dari tenaga uap. Hal ini dibuktikan dengan adanya perapian yang juga terbuat dari besi. Itupun juga masih bisa disaksikan hingga saat ini. Jadi kecil kemungkinan kapal tersebut adalah peninggalan Kerajaan Jeumpa.
Tangki perapian bangkai kapal yang diduga milik Portugis di Kuala Raja, Bireuen.
“Terkaan kami adalah kapal milik Portugis.”
Cerita lainnya yang tak kalah melegenda dituturkan Tgk. Hanafiah yang berusia lebih dari 60 tahun. Menurut dia, dahulu kala, berdasarkan penuturan orang berilmu, daratan Kuala Raja adalah lautan lepas, sementara bibir pantai berada di Cot Gapu sekarang ini. Atau berjarak sekitar 4 kilometer dari Kuala Raja.
Bukti bahwa Cot Gapu lah dulu bagian dari pantai dibuktikan dengan terdapatnya cangkang tiram di bawah lapisan tanah. Cangkang tiram sendiri adalah bagian dari kelompok hewan laut yang bertubuh lunak dan memiliki cangkang atau dalam ilmu biologi tergolong ke dalam filum mollusca.
Jadi, onggokan kapal besar itu, menurut penuturan Tgk. Hanafiah, mengutip cerita turun temurun dari buyutnya, pada awalnya berada di tengah lautan lepas. Kapal tersebut kandas saat mengarungi lautan lepas.
Tapi lambat laun, lautan itu membentuk daratan hingga kapal tersebut berada di tanah kebun yang kemudian menjadi milik Nek Musa. Namun, tidak diketahui pada zaman apa Nek Musa hidup. Ataupun cerita ini hanya sebuah legenda.
Kalau mendengar penuturan orangtua dulu, kapal itu diperkirakan telah berada di sana dalam hitungan lima kali ganti generasi. Kalau umur orang zaman dahulu ditaksir 100 tahun, ungkap Tgk. Hanafiah, maka keberadaannya di sana diperkirakan telah mencapai 500 tahun.
Disisi lain, konon katanya, seiring dengan perputaran waktu, kondisi itu akan kembali berbalik hingga pada saatnya bibir pantai sampai lagi ke Cot Gapu.
“Soal kapan itu akan terjadi kita tak akan pernah tau.”
Cerita lain dituturkan Tgk. Khairil, tokoh pemuda yang juga seorang Peutuha Kuala Raja. Ia menuturkan, pernah datang orang dari luar negeri yang awalnya sangat berkeinginan membeli onggokan besi dari kapal itu dengan nilai ratusan juta rupiah. Keinginan itu disampaikan kepada Peutuha gampong.
Tapi meski sudah berupa onggokan besi, kapal itu tidak dijual, dan orang dari luar negeri itupun juga tidak pernah datang lagi.
“Ini adalah sejarah. Meski asal muasalnya masih misteri dan butuh penelitian lebih lanjut.”