Hukum Cambuk : Rise and Fall

in aceh •  7 years ago  (edited)

Selesai Salat Jumat kemarin (8/9) situasi tidak biasa ketika Islamic Centre Lhokseumawe disemuti banyak orang. Ribuan masyarakat sudah berkumpul di pelataran belakang mesjid yang dibangun di era Bupati Tarmizi Karim itu.

Publik hadir bukan tanpa atensi dan prasangka. Mereka telah mengetahui akan ada prosesi pelaksanaan hukuman cambuk kepada tiga orang terpidana. Ini adalah hukuman cambuk pertama dilaksanakan di Lhokseumawe jika merujuk pada kehadiran Qanun Jinayat No. 6 tahun 2014.

Saya tidak akan menyebutkan nama pelaku jarimah itu di dalam tulisan ini. Sekedar hal yang boleh dijelaskan, dua orang dihukum atas delik zina (pasal 33 ayat (1) dengan hukuman 100 kali cambuk. Adapun seorang lagi adalah pelaku pencabulan anak dengan hukuman cambuk 100 kali ditambah hukuman tambahan 10 kali tapi dikurangi potongan tahanan sehingga dicambuk 107 kali (pasal 34 Qanun No. 6/2014). Untuk dua pelaku zina yang pertama tidak diberikan potongan cambuk, meskipun dilakukan penahanan. Hukuman kurungan dianggap sebagai “bonus”.

antuasiasme publik.jpg
Antuasiasme publik menonton proses hukuman cambuk @teukukemalfasya

Jadilah di hari itu eksekusi menjadi tontonan warga. Beragam model pengunjung hadir, tapi dapat disimpulkan secara umum mereka sepertinya menikmati layaknya performance art. Sang master of ceremony sendiri tampak berpengalaman ketika berbicara di depan publik. Sehingga alih-alih pengunjung menjauh, sebagian besar merapat karena “biusan” retorika dan nada suara sang MC perempuan itu.

Meskipun demikian, ada hal yang patut “dipuji” dari prosesi pelaksanaan ketika MC meminta anak-anak dibawah 18 tahun untuk tidak melihat “adegan tidak pantas” itu. Aparat keamanan juga ikut menghela para bocah untuk keluar dari area eksekusi.

Publik di mesjid.jpg
Bagian atas Islamic Centre Lhokseumawe menjadi sudut visual publik yang tidak ingin tenggelam di balkon bawah @teukukemalfasya

Saya sendiri juga membawa anak karena baru pulang dari Salat Jumat. Namun saya terus melindungi Abidzar anak saya dari upaya menonton eksekusi. Posisi kami jauh dari panggung sehingga ia “tenggelam” di antara pengunjung dewasa. Dia tak “merasakan” apapun baik decitan cambuk hingga pengalaman visual atas aksi itu.

Saya menghadiri acara ini dengan perasaan berkecambah. Yang paling utama karena ingin berada dalam palung pengalaman publik atas hukuman cambuk ini. Dari pengalaman itu (hanya dari analisis observasi), publik seperti menikmati dan mensyukuri hukuman cambuk dilaksanakan di Lhokseumawe. 11 tahun tanpa ada eksekusi cambuk dianggap terlalu lama.

bahkan ada membawa alat tambah.jpg
Aneka teknologi rekam dibawa untuk mendapatkan shoot terbaik @teukukemalfasya

Namun bagi saya sendiri, hukuman ini seperti memanggil kepurbaan sekaligus kepurbasangkaan kita tentang hukum dan keadilan. Bagi praktisi hukum, adilkah sebuah hukuman diberikan dengan menggandakan hukuman? Karena pada dasarnya hukuman cambuk dan rajam yang merupakan peninggalan era Abrahimik telah mengalami revolusi hukuman melalui model penjara di era modern. Pilihan cambuk adalah opsional atas hukum penjara. Namun yang terjadi pada situasi ini malah kumulatif, karena tidak terjadi pengurangan hukuman cambuk.

Bukan berarti saya setuju dengan seks bebas. Secara antropologis masyarakat Timur menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu ditampilkan di ruang publik. Para tersangka juga bukan kaum ekbisionis seperti yang dilakukan oleh dua turis Inggris dan Irlandia yang melakukan hubungan seks di dalam taksi di Dubai, Uni Emirat Arab. Mereka akhirnya dihukum tiga bulan penjara (https://travel.detik.com/travel-news/d-2066713/bercinta-di-taksi-2-turis-ini-diadili-di-dubai). Para pelaku yang dicambuk ini ditangkap massa setelah menyangka ada aktivitas narkoba. Jadi jelas mereka tidak ingin pamer di ruang publik.

Masyarakat Aceh dari dulu ke dulu juga tidak menganggap aktivitas pacaran pasangan muda sebagai sesuatu yang lazim. Bahkan jika ada pasangan muda-mudi pacaran dengan melewati kepantasan di ruang publik akan dipanggil orangtuanya. Termasuk jika tertangkap melakukan aksi mesum pasti akan dihukum. Tapi bukan hukuman cambuk. Sanksi sosial dan moral.

terpidana pria.jpg
Terpidana kasus mesum yang menjadi manusia paling durjana di mata publik @teukukemalfasya

Hukuman di dalam adat Aceh dilakukan dengan menjauhi mata publik. Hanya ada tetua gampong dan orang-orang yang dianggap bijaksana untuk menangani kasus seperti itu. Tidak ada pemuda yang pemarah dan belum stabil emosi yang hadir. Hukuman juga diberikan seperti membayar denda bagi kas gampong, dikucilkan, atau dinikahkan. Tidak ada eksekusi barbar! Dalam adat Aceh ada hadih madja; Masalah adat gampong bek tapeurayeuk. Masalah rayeuk ta peu ubet, masalah ubet tapeugadoh (Masalah di dalam masyarakat kampung jangan diperbesar. Masalah besar jika bisa diperkecil, dan masalah kecil lebih baik dihilangkan saja).

Foto jualan di lokasi cambuk.jpg
Seperti karnaval atau bazaar, para penjual minuman kemasan pun melihat aksi ini sebagai peluang bisnis @teukukemalfasya

Ada kebijaksanaan untuk tidak mengumbar kasus pencurian kambing atau peralatan masak, sengketa antartetangga, kenakalan remaja, perselingkuhan, dll di ruang publik. Namun kini adat telah binasa. Semua masalah menjadi besar dengan penyelesaian secara hukum. Sayangnya tidak ikut diseriusi dengan cara-cara yang benar dan bermartabat. Bagaimana pandangan publik atas masalah korupsi, pembunuhan cum pembantaian, pemerkosaan, pedofilia, perusakan hutan dan peracunan lingkungan, teror, dan fitnah? Apakah jarimah itu diatur secara proporsional di dalam hukum jinayat?

semua berebut momen.jpg
Semua ingin berebut mengabadikan, apalagi ketika terpidana perempuan. Oh adat Aceh masa kini... @teukukemalfasya

Pengandaian itu pasti dianggap tidak apple to apple. Namun jika mengambil kasus yang juga dicambuk, bagaimana dengan tindakan pedofilia atau pencabulan terhadap anak? Menurut data yang pernah dirilis Kementerian Sosial beberapa tahun lalu, Aceh dikenal sebagai surga pencabulan anak? Berapa banyak para pedofil itu mendapatkan hukuman cambuk yang menjerakan? Bahkan yang sangat memalukan aksi pedofilia terjadi di lembaga pendidikan Islam dan dilakukan oleh sang guru (http://aceh.tribunnews.com/2017/09/09/astaghfirullah-pimpinan-dayah-ini-begituan-dengan-santriwati-saat-yang-lain-tertidur-lelap). Kasus yang terjadi di dunia pesantren bukan pertama di Aceh. Kita mudah temukan dalam pemberitaan, tapi hampir tidak ada yang dibawa ke pengadilan jinayah dan mendapat hukuman cambuk.

perempuan pun tak ketinggalan.jpg
Gadis unyu-unyu pun ikut menikmati momen ini @teukukemalfasya

Bagi saya hukuman kebiri atau cambuk 200 kali masih kurang. Aksi pemerkosaan terlebih pemerkosaan anak harus dihukum maksimal, jika hukuman mati masih diperdebatkan. Aksi hubungan seksual di luar nikah memang dilarang oleh agama dan tidak dianggap pantas oleh norma sosial-budaya, tapi aksi pedofilia adalah pembunuhan terhadap anak. Itu adalah kekejian yang tidak bisa diduakan atau ditigakan.

Di tengah hukuman cambuk itu saya melihat diri saya dan juga orang-orang lain telah berlumut dosa karena merayakan dosa orang lain. Padahal seperti hadist yang dibacakan oleh pemuka agama sebelum pelaksanaan hukuman cambuk, Nabi Muhammad cenderung tidak ingin menjalankan hukuman cambuk terkait kasus perempuan zina yang hamil yang minta dihukum. Nabi membiarkan ia melahirkan dan membesarkan anaknya. Bahkan Nabi Muhammad cenderung ingin melupakan saja kasus itu dari ingatan publik. Namun perempuan itu terus menuntut ia dihukum. Di akhir hukuman Nabi memberikan apresiasi besar terhadap penzina yang berani itu.

Semangat moralnya adalah, tujuan hukum sebenarnya bukan menghukum dan membekasjan rasa sakit, tapi menjaga norma sosial dan kemanusiaan tetap lestari di tengah masyarakat. Jangan sampai kita menghukum seseorang yang kita anggap jahat, kita sendiri telah menjadi monster akibat tuduhan, kutukan, racauan, dan kegembiraan atas atas hukum yang diterima orang lain.

perjuangan anak-anak.jpg
Anak-anakpun tak takut resiko memanjat pagar besi. Mereka ikut larut dalam jokes-makian dari pemuda dewasa @teukukemalfasya

Seperti judul di awal tulisan, politik hukuman cambuk mengalami situasi seperti judul lagu Graig David feat Sting, Rise and Fall: pada suatu waktu muncul-menjulang dan disambut meriah. Namun saat lain, terhempas-jatuh dalam kesunyian. Saat ini publik sedang merayakan histerianya.


IMG-20170814-WA0042.jpg

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Hukum memang tidak dapat memuaskan semua pihak, tapi sekurang-kurangnya sudah dijalankan. Yang jadi persoalan sekarang hukum hanya berlaku bagi kalangan menengah kebawah, sedangkan yang diatas kebanyakan kebal hukum.
Masih banyak pesoalan yang kebal hukum, bahkan ada yang belum tersentuh hukum.

Kita masih melihatt praktik hukum seperti era kolonial, makanya orang melihat hukuman seperti ini hanya akan menyasar masyarakat kecil saja.

  ·  7 years ago Reveal Comment

Thans @rahul72

Bagi saya hukuman kebiri atau cambuk 200 kali masih kurang. Aksi pemerkosaan terlebih pemerkosaan anak harus dihukum maksimal, jika hukuman mati masih diperdebatkan. Aksi hubungan seksual di luar nikah memang dilarang oleh agama dan tidak dianggap pantas oleh norma sosial-budaya, tapi aksi pedofilia adalah pembunuhan terhadap anak. Itu adalah kekejian yang tidak bisa diduakan atau ditigakan.

SEPAKAT BG @teukukemalfasya

Thanks @munawir91

Ketika hukuman dijadikan sebagai ajang hiburan, bisa diyakini bahwa masyarakat Aceh kurang hiburan...

Itu yang harus pak Yus jelaskan lebih lanjut

fotonya cakep cakep apalagi tulisannya

Danke schoen.... Ternyata foto bagus itu terlibat momen... I learned from this moment... Doing like journalist

Setiap pelaksanaan hukuman cambuk sudah jadi lokasi hiburan bagi masyarakat. Ini kan jadi aneh. Maka orang akan lupa esensi hukuman bagi pelanggar syariat. Saya pikir ini bagian dari bentuk euforia hukum cambuk.

Itu urusan @dsatria dalam analisis lanjutan.

Sedih saya melihatnya aplg dijadikan tontonan... bila saja semua yang mengadili, menghukum, dan menontonnya benar lebih suci, bersih, tanpa dosa di mata Allah maka tak apa... bagaimana bila sebaliknya? Siapa yang mampu untuk mengetahui?

Betul.... Itulah dilema yang berkecamuk di dada saya... Para pendosa yang sedang pingsan dan menikmati "dosa" orang lain....

vote

Jd hiburan jg nih ya

  ·  7 years ago Reveal Comment
  ·  7 years ago Reveal Comment