Sebelumnya saya sudah membahas tentang jejak budaya Aceh, maka kali ini saya akan mereview kembali buku Acehnogi dalam bab 25 tentang sistem kebudayaan Aceh, buku tersebut ditulis oleh bapak Kamaruzzaman Busmam Ahmad PH.D.
Dalam konteks ini penulis memaparkan tiga konsep mengenai kemampuan orang Aceh dalam memunculkan kebudayaan, yaitu adanya I (saya), being, (keberadaan) dan action (aksi). Dimana dalam bahasa Aceh saya berarti lon, keberadaan berarti na, dengan demikian, keberadaan saya dapat di terjemahkan “na lon”. Sebaliknya, jika saya tidak berada ditulis hana lon. Hal yang sama jika dilekatkan dengan istilah droe (diri). Dimana dalam bahasa Arab disebut kata naff, sehingga mucullah kalimat : na tuho droe (tahu arah diri), na teupat droe (tau diri yang lurus), na deuh droe (tahu kelihatan diri), na turi droe (tau kenal diri) dan na tuoh droe (tau diri).
Berbicara mengenai persoalan “diri” atau “saya” bagi orang Aceh sangatlah penting. Namun sering diungkapkan dengan kalimat turi droe (mengenal diri sendiri), karena hal tersebut merupakan pra syarat bagi kemampuan orang Aceh dalam membangun kebudayaannya. Adapun prosesnya adalah mengenal diri sendiri terlebih dahulu, yang akhirnya dibentuklah fondasi untuk bertindak dalam pengembangan budaya tersebut.
Selain mengenal diri, dalam membangun budaya juga diperlukan yang namanya mengenal tuhan (Allah), karena bagimanapun ada hal-hal yang di luar jangkauan manusia, sehingga manusia mampu bersyukur dan menyeimbangi. Sementara itu, falsafah seimbang menjadi faktor kedua dalam memproduksi kebudayaan. Seperti yang kita tahu bahwa dalam bahasa Aceh istilah timang merupakan makna dari seimbang, tujuannya adalah untuk menyeimbangkan hubungan manusia dengan tuhan, manusia dengan alam, manusia dengan sesama manusia. Karena apapun aktifitas kebudayaan tidak boleh melanggar aturan tuhan, merusak alam, dan meretakkan hubungan sesama manusia.
Hal ini yang kemudian memunculkan kesadaran manusia untuk membuat aturan-aturan yang dapat melanggar ketiga hal tersebut. Dalam masyarakat Aceh sendiri para endatu kerap mengeluarkan nasehat (haba peuingat) untuk menjaga keseimbangan kebudayaan dalam masyarakat. Adapun istilah lain dalam keseimbangan kebudayaan adalah peutimang nanggroe. Dalam peutimag nanggroe tersebut, budaya Aceh mengeluarkan satu konsep yang sinergi antara agama, adat, dan reusam.
Dari beberapa uraian di atas, penulis menggaris bawahi beberapa hal diantaranya: pertama, adanya tradisi berfikir orang Aceh. Kedua adanya kesamaan pola dalam pemikiran antara orang Aceh dan orang Barat. Ketiga, perlu difikirkan kembali sistem ide-ide di kalangan orang Aceh, khususnya mereka yang memiliki kemampuan dalam rekayasa sosial. Meskipun secara sosial-sejarah, kontribusi sistem ide-ide orang Aceh telah memberikan sumbangsih yang sangat signifikan bagi bagi etnik di Asia Tenggara yaitu Melayu dan Jawa.
Aceh adalah sesuatu yang mutlak untuk diteliti secara seksama dikarenakan banyaknya konteks spiritual dan filsafat. Adapun nilai-nilai etika dan estetika pada gilirannya, akan membentuk wajah dan pemikiran keacehan. Inilah alasan Acehnologi ingin dibangkitkan.
Selanjutnya, untuk menggali kebudayaan Aceh, maka tidak dapat dipungkiri bahwa kajian sejarah kudayaan merupakan hal yang mutlak dilakukan. Menurut penulis, kajian model ini diharapkan akan terus membantu bagiamana kebudayaan Aceh yang telah di semai selama ratusan tahun bisa dibangkitkan kembali dalam konteks era modern.
Semoga tulisan ini bermanfaat,, sekian dulu ya teman-teman,
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
--------Nurhakiki----------