Dalam bab ini, saya akan mengreview tentang hubungan manusia (human) dengan Tuhan. Acehnologi pada hakikatnya tidak dapat menolak kajian dasar dari ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak kelihatan dari kajian manusia dan Allah. Dengan memahami hal tersebut maka, akan timbul suatu fondasi dari kedua hal diatas yang telah dihasilkan oleh sarjana di Aceh. Hal yang paling utama dalam rangka manusia mengenali dirinya adalah Ruh. Semakin manusia banyak mengetahui persoalan tentang ruh, maka semakin sering manusia tersebut akan merasakan kefanaan di dunia ini.
Ilmu mengenai kemanusiaan dikenal dengan istilah humaniora, studi mengenai ketuhanan, sering ditelaah dalam studi teologi (‘ilm al-kalam). Studi hanya akan menjelaskan mengapa manusia perlu berfikir tentang Tuhan?
Di Aceh, kajian tentang manusia dan tuhan telah ada sejak zaman para ulama pada abad ke 16 M. Kajian tasawuf di Aceh telah melanjutkan tradisi tasawuf yang diwariskan oleh Syeikh Imam Al-Ghazzali Dan Syeikh Ibn Arabi. Dalam memahami ciptaan Allah dan proses penciptaan alam semesta oleh-Nya juga menjadi hal tersendiri, yang haris dikaji secara sistematis. Tarekat aceh adalah suatu bukti bagaimana upaya sarjana aceh didalam menjalankan konsepsi-konsepsi metafisika islam, yang telah dihasilkan oleh para ulama sebelumnya.
Dapat ditemui dalam karya Syeikh Hamzah Fansuri tentang syair-syair dan hampir semua syairnya berusaha menjelaskan tentang asal usul manusia, fungsi manusia, dan daya cerap pemahaman manusia mengenai kerajaan Allah SWT. Karya karya Syeikh Abd. Rauf As-Singkili, terutama tanbih al-masyi adalah berusaha melerai debat kebersatuan manusia dengan Allah SWT.
Manusia yang ingin melihat kedekatan dirinya dengan tuhan, terlebih dulu dianjurkan agar manusia tersebut mampu mengenali dirinya terlebih dahulu.
Di Aceh, kajian tasawuf pernah mencapai puncaknya pada era Syeikh Hamzah Fansuri dan berikutnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani, kajian mengenai kemanusiaan dan ketuhanan dijadikan sebagai tonggak sejarah di Aceh. setelah itu, era Syeikh Nurdin Ar Raniry dan Syeikh Abdul Rauf As Singkili mencapai puncaknya. Karena itu tidak sedikit para sarjana mengupas biografi ulama ulama tersebut, untuk menggali aspek fondasi pemikiran ulama dinusantara pada abad ke 16-17 M.
Syeikh hamzah fansuri, lebih memilih metode menjabarkannya dengan cara yang berbeda, sebagaimana dilakukan syair syairnya, ketimbang syeikh nurdin ar raniry yang menyajikan masing masing bidang tersebut dalam karya karya yang telah dihasilkan, selama hidupnya di Aceh dan juga diluar negeri Aceh. Dalam kitab syarab al-‘asyiqin, syeikh hamzah fansuri begitu hati hati dalam membedah situasi makrifat itu sendiri.