Riview Dari Seminar Nasional Di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh: Pemuda Sebagai Perisai Melawan Radikalisme Dan Terorisme

Sebagai salah satu mahasiswi yang ikut dalam sebuah seminar nasional bertemakan Pencegahan Terorisme itu, saya kemudian mulai berpikir untuk membuat review dari hasil diskusi yang berlangsung pada 9 Januari 2018 yang diadakan di gedung rektorat lantai III Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Kota Banda Aceh. Seminar itu disambut antusias oleh banyak mahasiswa. Terbukti dengan membludaknya jumlah mahasiswa yang hadir, sampai-sampai banyak mahasiswa yang datang tidak mendapatkan kursi, termasuk saya. Kami yang tidak mendapatkan kursi tersebut, rela berdiri dan sebagian duduk di pinggiran dinding-dinding ruangan itu.
Sebenarnya, peserta diskusi yang datang juga tidak semuanya mahasiswa. Ada juga dari kalangan dosen dan beberapa sarjanawan serta aktivis. Seminar ini juga di moderatori oleh Mukhlisuddin Ilyas, seorang dosen sekaligus salah satu entrepreneur dan pemiliik lembaga publikasi (Bandar Publishing) di Aceh yang saya tahu. Adapun beberapa pembicara yang menambah menariknya seminar ini diantaranya Yudi Zulfahri, seorang alumni pelatihan militer di Desa Jalin, Jantho (Ibukota Aceh Besar), yang kini menjadi direktur yayasan Jalin Perdamaian. Lalu ada Sofyan Tsauri, mantan pelatih mujahiddin Aceh, pengamat terorisme nasional Aceh, dan beliau adalah mantan seorang polisi. Selanjutnya adalah Muhammad Sahlan, Msi, yang merupakan salah satu dosen terbaik di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Prodi Sosiologi Agama, sekaligus seorang pakar konflik.

Menariknya, diskusi ini dibuka terlebih dahulu oleh salah satu dosen muda di Prodi Sosiologi Agama, yaitu Suci Fajarni sebagai moderator. Kata sambutan pertama sekali disampaikan oleh Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. Lukman Hakim, M. Ag. Lalu beberapa kata sambutan kemudian disampaikan oleh ketua Fraksi Partai Aceh di DPRA yang kemudian dilanjutkan oleh salah satu dosen senior di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Dalam kata sambutannya tersebut, ketua Fraksi Partai Aceh Iskandar Usman Alfarlaki mengatakan pandangannya tentang terorisme, radikalisme dan ekstremis. Dimana Alfarlaki mengatakan kesimpulannya bahwa, untuk memahami ketiga hal itu maka diperlukan ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang tidak setengah-setengah. Karena ilmu yang tidak dalam dan tidak tuntas yang kita pakai untuk memahami ketiga konsep itu, justru dapat membuat kita tergelincir dan menjadi bagian di dalamnya.
Lalu sebagai orang yang mengawali diskusi, Mukhlisuddin Ilyas selaku moderator mempersilahkan Yudi Zulfahri untuk menyampaikan beberapa cerita menarik terkait pengalamannya selama menjadi anggota ekstremis di Desa Jalin, Jantho, Aceh Besar. Zulfahri juga menceritakan bagaimana awal keterlibatannya dengan organisasi radikal tersebut. Secara singkat, ia mengatakan keterlibatannya tersebut berawal dari pencarian jati diri. Sebagai alumni dari IPDN, Zulfahri dapat dikatakan sebagai manusia yang begitu kritis. Keingintahuan dan rasa penasaran yang terus menggrogoti kepalanya itu, kemudian membuatnya menjejaki gerakan ekstremis tersebut.
Mahasiswa Dan Pemuda Yang Kritis Justru Bepotensi Terjerumus Gerakan Ekstremis
Zulfahri mengatakan, setidaknya ada empat karakteristik ekstremis diantaranya mudah mengkafirkan orang lain, mudah membenci, tidak jelas sasaran dan memiliki pemahaman yang sempit. Dimana semua karakteristik tersebut mengakibatkan terus terjadinya konflik antara kita dengan orang lain, bahkan orang-orang terdekat dengan kita seperti orang tua. Lalu kita akan terus menjadi pembenci serta fitrah kita sebagai manusiapun menjadi rusak. Dia juga menjelaskan bahwa setiap orang berpotensi terlibat pada gerakan ini, namun yang memiliki potensi paling besar adalah mahasiswa. Sebab kondisi mahasiswa yang sedang menggebu-gebu, kritis, ingin tahu dan sebagainya ini akan sangat mudah digilir pemahamannya untuk ikut mendukung paham radikal yang dapat dijelaskan dengan realitas yang begitu masuk akal saat ini. Sebagaimana kasus yang terjadi di Desa Jalin, pemuda-pemuda yang terlibat justru mereka yang memiliki jiwa patriotisme dan daya kritis yang tinggi terhadap persoalan-persoalan negara. Lalu menganggap pemerintah kafir karena tidak menegakkan peraturan sesuai dengan kaidah-kaidah islami, dan yang namanya kafir maka harus dilawan harus diberontak. Tidak ada yang namanya habluminallah dan habluminannas dalam gerakan ini. Sehingga orang-orang yang awam menjadi anti terhadap slogan-slogan seperti khilafah. Karena dinilai ini sebagai slogan-slogan yang digunakan oleh teroris yang mengatasnamakan Islam. Padahal konsep khilafah itu sendiri ada dalam sabda Rasulullah.

Selama prosesnya yang radikal, kelompok ekstremis kemudian dievaluasi karena dirasa tidak memberikan kebaikan-kebaikan, baik bagi mereka sendiri maupun bagi khalayak umum. Ekstremisme merusak nama Islam, sehingga kelompok dan paham ini harus dilawan untuk mengembalikan nama Islam kembali. Kelompok ini sadar bahwa tidak semua orang kafir harus diperangi, karena terdapat syarat dan ketentuan untuk itu. Sebagaimana kita mengetahui rasul memberi makan orang kafir hingga kafir itu mati dalam keadaan Islam.
Al-kahfi:103
Sebagai pembicara kedua, Sofyan Tsauri membuka penjelasannya dengan Q.S.Al-Kahfi:103, yang artinya “Katakanlah: “apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”” jika ayat ini disambung ke ayat selanjutnya, yang menjelaskan tentang orang-orang yang merasa telah berbuat sebaik-baiknya padahal itu semua sia-sia, maka akan jelas sekali untuk menggambarkan topik yang akan dibicarakan pada seminar ini. Tsauri kemudian menyebutkan bahwa ekstremis selalu berbanding lurus dengan kepentingan musuh-musuh Islam.
Tsauri kemudian mengajak kita membaca kembali sejarah Utsman yang dibunuh oleh pembunuh yang juga membunuh Ali setelahnya. Pembunuh kedua sahabat nabi ini adalah orang yang yang paham Al- Qur’an. Ia adalah seorang Qari yang tergelincir ke dalam paham ekstrim ini. Adapun ciri-ciri ektremis, yang sering sekali terlihat menurut Sofyan Tsauri salah satunya adalah mereka yang shalat “harus” pada ustadz dan mesjid tertentu. Jika selain itu, maka mereka menolak.
Adapun solusi yang disampaikan oleh Tsauri diantaranya, berpegang teguhlah pada keimanan yang global, jangan masuk pada persoalan-persoalan pelik sehingga kita tergelincir di dalamnya, beriman seperti nenek-nenek kita beriman saja yang meyakini enam rukun iman, lima rukun Islam, lalu yang terakhir adalah bahwa kita harus memahami ilmu alat agar tidak mudah mengkafirkan ini dan itu dengan sangat mudah. Kita harus belajar pada teladan kita Rasulullah dan para sahabat yang dalam sejarahnya dikisahkan sangat berhati-hati sekali ketika hendak memberikan sebuah hukum, fatwa, bersalah atau tidaknya, dan seterusnya.
Agama Sering Dijadikan Sebagai Kambing Hitam
Berdasarkan pada dua kisah dan penjelasan mengenai topik ini yang disampaikan oleh dua tokoh yang terlibat langsung pada aksi-aksi ekstrim di atas, maka tibalah saatnya Muhammad Sahlan Hanafiah selaku pakar konflik, yang menyampaikan alasan-alasan yang berada di balik peperangan agama. Dimana menurutnya, krisis, perang, ketidakpastian merupakan hal-hal penyebab terjadinya radikalisme dan aksi-aksi ekstrim. Orang-orang yang mengalami krisis, perang dan ketidakpastian tersebut kemudian mencari jalan keluar dan solusi sendiri. sebagai contoh, para pemuda yang dilatih di Jalin itu sebenarnya ingin sekali ke Palestina lalu ia frustasi, karena hasrat membela Islamnya yang begitu menggelora. Namun ia tidak punya paspor dan lain-lain, selain adanya masukan dari para ideolog yang mendorong mereka ikut terlibat. Dimana jika dipetakan, maka berikut adalah urutan akar konflik yang terjadi menurut Sahlan Hanafiah: (Krisis-Orang-orang frustasi-Muncul ideologi-Muncul konfrontasi).
Konflik yang terjadi di Iran, Pakistan, Aceh (DI), bukanlah semata-mata terjadi karena faktor agama, bisa saja karena persoalan politik. Di Marawi, Filipina misalnya. Kemiskinan menjadi faktor dasar yang menjadikan upaya pengrekrutan kelompok radikal dari kaum muda menjadi sangat mudah. Contoh lain adalah, misalnya ketika sekali Donald Trump berbicara, maka berpotensi memunculkan kelompok teroris atau radikal, karena menganggap itu selalu karena kepentingan agama. Padahal sebenarnya bisa saja karena kepentingan ekonomi yang kita tidak pahami. Adapun terkait perihal penyelesaian konflik, akan sulit dilakukan karena besarnya pengaruh media. Tak dapat dipungkiri betapa media sangat mampu mengendalikan kehidupan sosial saat ini. Meskipun demikian, sekarang kita dapat melihat sudah banyaknya badan-badan pengelola anggaran untuk persoalan sosial keagamaan. Selain itu, kita sebagai kaum muda harus selalu peka dan kritis terhadap persoalan yang kadang sulit dikenali ini. tidak fanatik, sehingga menumpulkan daya pikir. Teruslah mencari dan belajar. Jangan membuat batas paham-paham tertentu yang benar-benar belum kita pahami secara baik dan tuntas. Karena pemuda adalah perisai melawan radikalisme dan terorisme. Terimakasih, semoga bermanfaat. Jika ingin berdiskusi, silahkan komentar di kolom komentar di bawah ini... 

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Nice..
Folback..

Congratulations @delimasaflidara! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

Click here to view your Board

Support SteemitBoard's project! Vote for its witness and get one more award!

Congratulations @delimasaflidara! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 2 years!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!