Salam,
Ini adalah tulisan saya ke-4, masih di dalam kawasan yang sama dengan sebelum nya yaitu masih dalam ACEHNOLOGI volume 2, kali ini saya akan mengupas bab ke-17 mengenai “SOSIOLOGI ACEH” yang pasti nya akan menarik perhatian kita sekalian.
Kenapa saya katakana menarik ? Ya, tentu saja ada alasannya. Karna, di Aceh bukanlah termasuk daerah yang maju dengan pesat atau yang pasti bukan kota metropolitan apalagi megapolitan yang pastinya banyak teori sosiologi yang di dapat. Disini menarik karna Aceh ialah daerah yang dulu nya di jajah, sampai sekarang kental dengan hal-hal yang berbau tradisional termasuk cara perikir nya masyarakat Aceh, meskipun kita sekarang hidup di zaman Milenial. Inilah yang membuat jadi menarik, dikarenakan Aceh lebih tepatnya banyak kajian mengenai ilmu Antopologi daripada Sosiologi (pastinya daerah perkotaan), namun tetap saja Aceh akan tetap memiliki sisi Sosiologi nya yang akan saya kupas di paragraf selanjutnya, semangat membaca .
Sosiologi kajian mengenai masyarakat yang menjadi pijakan pemerintah atas pemikiran kapitalisme dari Barat yang kemudian diterapkan di Timur, tentu saja ini bukanlah perkara yang mudah. Banyak tokoh teori dari sosiologi yang antara lain sangat terkenal yaitu : Karl Marx, Emilie Durkheim, dan Max Weber. Tentu saja teori ini muncul ada sebabnya, melainkan karna ada sesuatu yang menyebabkan dan disebabkan. Teori yang berkembang dalam sosiologi ini adalah pendekatan atau model pemahaman, dan lahirnya karna peristiwa yang saling berkaitan.
Adapun kemunculan teori sosiologi ini: Pertama, dampak revolusi Perancis (1789). Kedua, revolusi industry dan kemunculan kapitalisme, Ketiga, kemunculan sosialisme, Keempat, proses urbanisasi. Kelima, pengaruh pada religiusitas masyarakat Barat. Dapat disimpulkan karena ada pencapaian masyarakat Barat yang ingin mencapai kehidupan yang lebih baik, dan tentu saja dalam hal ini mereka menganggap “kota” adalah pencapaiannya. Karna sosiologi sangat berperan di perkotaan.
Kajian Aceh dalam sosoiologi bisa dikatan baru yaitu dimulai dari masa Orde Baru, dibandingkan dengan kajian Antropologi yang sudah di mulai sejak penaklukan oleh Belanda. Dan dari sosiologi ini terdapat aturan yang didasarkan oleh tingkah laku masyarakat tersebut.
Saya tidak akan telalu focus atau terlalu detail membicarakan teori-teori mengenai Sosiologi yang dianut di Barat, disini ingin saya jelaskan bahwa pada setiap teori-teori yang ada tersebut akan memberi dampak yaitu konsep terhadap Aceh.
Ya, terlalu dini memang untuk membangun fondasi ranah sosiologi di Aceh, tentu saja penyebabnya bisa karna tidak ada jurusan yang mengfokuskan kajian dalam sosiologi sejak sebelum era 2000an. Meskipun ada peneliti dari seluruh Indonesia yang melalui seleksi ketat untuk mengkaji Aceh dengan ilmu sosial pada tahun 1974. Namun, hasil dari penelitian dari sosiolog ini terkadang seperti berbenturan dengan keyakinan umum yang dipahami masyarakat.
Tentu saja kita tidak bisa meletakkan sosiologi Timur bahkan Barat untuk di terapkan di Aceh, karna pasti hal ini sangat bergejolak dan tidak mungkin dapat diterima dalam masyarakat. Sejatinya, menurut saya ini karena sosiologi itu lahir apa yang telah dijalani oleh masyarakat untuk mereka sendiri hingga menghasilkan aturan-aturan yang mengatur mereka, yang tidak terpaku pada hukum tertulis. Dan juga memiliki bentuk interaksi (action, something, meaning = melahirkan budaya) yang membentuk system berfikir dan memiliki “Symbol”. Dan symbol inilah yang mengingkat suatu masyarakat, jika symbol ini bergeser maka bergeser pula pemaknaannya.
Saya akan memberi contoh tentang symbol yang bergeser: zaman dulu tepatnya sebelum era reformasi, masyarakat Aceh memiliki kosnep berpikir tentang “boynah” (kekayaan orang Aceh dahulu), yang mana kekayaan nya itu dilihat dari seberapa luas atau banyaknya sawah mereka, emas, ternak, dll. Kemudian dengan berjalannya waktu symbol ini berubah, dengan kekayaan sekarang dilihat dari segi rumah, pekerjaan, bahkan alat transportasi nya. Ini saya ingat ketika masih belajar sosiologi hukum pada semester 3, tentu saja yang mengejarnya penulis buku ini, saya mengingat karna ini sangat menarik karna menilai kehidupan masyarakat Aceh yang tradisional kemudian dilihat dari segi sosiologi.
Bukan tidak ada dampak dari teori-teori Barat, yang saya ingat dulu ketika pak@kba13 menjelaskan bahwa Aceh memakai teori Durkheim (seingat saya hehe) kemudian diubah oleh GAM dengan teori Marx (yaitu merebut materi dan kehilangan nilai / menekan masyarakat).
Tidak hanya yang tampak, dalam sosiologi juga ada yang metafisika (ex: menganalisa atau mimpi), kemudian ada alienasi: ketidakberdayaan/ lemah menjadi masalah (lebih kepada tidak dipedulikan / diasingkan atau merasa terasing), kemudian ada anomaly: lembaga yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya ini juga termasuk dalam masyarakat, selanjutnya ada patologi sosial (gejala dalam masyarakat): disini juga berlaku hukum rimba, dan terakhir seingat saya ada rekayasa sosial: terbangun oleh karakter dalam masyarakat (adu domba atau prasangka).
Demikian pembahasan saya mengenai SOSIOLOGI ACEH, tidak hanya hasil dari review saya dari buku Acehnologi, tetapi saya juga sedikit memasukkan apa yang saya ingat ketika mengambil mata kuliah sosiologi hukum pada semester sebelumnya dengan pak KBA.
Semoga bermanfaat, setidaknya memberi kita wawasan atau ilmu meskipun hanya sedikit.