Seperti yang kita tahu tentang Antropologi adalah ilmu bagaimana kita memahami masyarakat dengan kebudayaan yang ada. Tidak hanya sebatas itu, kajian studi Antropologi Aceh juga dapat memahami perilaku orang asing yang datang ke Aceh.
Tidak selalu wisatawan yang datang hanya sebatas menikmati alam Aceh yang memukau, tetapi juga ada maksud tertentu. Sama hal nya seperti tidak selalu investor luar berdampak baik atau memberi keuntungan terhadap negara kita, ya karna mereka hanya merengut hasil alam kita yang diolah di negara mereka dan hasil produk nya itu tetap saja hasil dari negara investor, bukan dari alam kita yang mereka ambil, meskipun mereka membayar pajak pada negara atau menciptakan lapangan kerja, tetapi hal itu tidak sebanding dan tidak terbayar dengan apa yang telah dilakukan terhadap alam kita.
Sama seperti Aceh, yang memiliki SDA (sumber daya alam) yang sangat banyak, namun juga dimanfaatkan oleh orang asing yang datang kesini. Ntah itu dengan cara berwisata, berdomisili, bahkan ada yang datang secara illegal atau bahkan tidak sesuai dengan batasan waktu yang ada di visanya. Tentu saja, ini bisa terjadi “mungkin” karena kelalaian dari pihak aparat penegak hukum atau pihak imigrasi bahkan tidak berjalan sesuai fungsinya atau mungkin tidak serius dalam menangani hal ini.
Disinilah antropolog berkerja, dengan cara memahami masyarakat sekitar kemudian mengetahui apa saja kelemahan masyarakat tersebut untuk dimanfaatkan. Memang tidak sebentar untuk mempelajari apa yang terjadi dalam masyarakat, harus butuh waktu minimal berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Biasanya para pendatang asing tidak mau memberikan identitas asli mereka apalagi tujuan mereka.
Tentu hal ini terjadi di pedesaan atau kampong-kampung, karna Anropologi memang focus terhadap masyarakat kampong. Kemudian hal ini juga gampang terjadi karena kebiasaan masyarakat Aceh dengan istilah “peumulia jame” (pemulia tamu) dan juga kebiasaan orang Aceh lebih suka diberikan sejumlah uang, kemudian sambil tersenyum mengatakan silahkan ambil hasil bumi kami! Tak hanya itu, orang Aceh sendiri juga tidak punya power untuk mengambil hasil bumi yang ada di negara luar terutama Asia Timur.
Dalam buku ini, dikatakan bahwa harus diakui ini semua bagian dari operasi intelijen, yang marak dilakukan di negara lain. Ada beberapa modus: pertama, biasa mendatangkan 3 atau 4 orang terlebih dahulu untuk menanyakan hal apapun mengenai Aceh atau melakukan foto-foto kemudain data ini dijual kepada orang yang berkepentingan. Kedua, ada istilah wajib militer oleh negara asing yang membentuk sel intelijen meraka, misalnya tidak sedikit yang berpura-pura menjadi ilmuwan atau berbagai profesi, kemudian masuk ke Aceh yang dikendalikan oleh pemerintah masing-masing. Ketiga, melalui jalur diplomatic.
Dari 3 modus tersebut, mereka (warga asing) berkeliaran bebas di hutan Aceh. Penangkapan terhadap warga asing tidak membuat mereka jera untuk kembali ke hutan Aceh (lagi). Dalam hal ini juga kita bisa melihat dan menilai bagaimana lembaga yang terkait dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Terlepas dari ini cara orang asing menetap di Aceh, strategi mereka hampir mirip dengan pengalaman para antropolog pada zaman perang dunia I dan II.
Kajian Antropologi Aceh mengengai kebudayaan yang dihasilkan orang Aceh, maupun mampu bertahan dari tiap kepungan, baik dari Belanda maupun Indonesia.
Dan yang harus kita ketahui bersama. Dalam Antropologi Aceh ini tidak seperti maksud antropolgi biasanya yang memahami kebudayaan orang lain untuk kepentingan negara nya. Antropologi Aceh ini membangun kembali pemahaman tentang kebudayaan Aceh itu sendiri, yang tidak menggambarkan ke-primitifan.