ACEHNOLOGI (VOLUME 3, BAB 22) : KERAK PERADABAN ACEH

in acehnologi •  6 years ago 

FD3D65EB-345C-4A7E-A034-3CA7A6AF84E4.JPG

Disini, kita akan mengetahui seberapa pentingnya dan seberapa hilang nya nilai-nilai kebudayaan seiring berjalan nya waktu dari generasi ke generasi.

Aceh selalu dihadirkan dengan konflik dan bencana alam. Namun, tidak membuat orang Aceh larut dalam trauma apalagi kesedihan yang sangat lama, meskipun rasa sedih itu pasti muncul secara manusiawi. Pada abad ke -17, aceh menerima system berpikir yang tidak lagi mengakar pada spirit ke-Aceh-an. Tentunya saja hal ini sangat berdampak pada daerah ini, yaitu mudah taklukkan, ya walaupun seperti yang kita tau bahwa Aceh tidak pernah ditaklukkan oleh penjajah, tetapi secara sadar atau tidak Aceh telah kehilangan dasar peradabannya.

2624606E-0A0E-4672-9ABD-D2EC6F8F0C5A.JPG

Di dalam buku ini pada bab ini juga, telah dikatakan bahwa manusia memiliki kesadaran diri ketika memperoleh otonomi rasional dalam membedakan alam, masyarakat, Tuhan, dan keyakinan/iman. Tentu saja, di Aceh mencakup ini semua, seperti yang pada umumnya mengetahui bahwa Aceh sangat kental dengan ke-Islaman dan juga sangat menjaga hubungan dengan alam apalagi dengan hubungan sosial yang sangat akrab. Bisa kita katakana bahwa orang Aceh telah memiliki kesadarannya sendiri untuk kehidupannya.
Ketika Aceh bergabung dengan NKRI, memang Aceh mendapat daerah “istimewa”. Tak hanya Aceh, Yogyakarta juga mendapat gelar yang sama yaitu “istimewa”. Berbeda dengan Aceh, Yogyakarta sampai saat ini tetap memakai daerah istimewa, dan juga ada sultan. Kemudian yang membuat nya beda lagi yaitu, ketika Aceh mendapat gelar “istimewa” dapat kita bayangkan bagaimana Aceh memiliki adat istiadat dan ajaran Islam yang kemudian diterapkan dalam kehidupan di Aceh. Namun itu hanya bayangan ketika Aceh tidak diberikan ruang untuk melaksanakannya, tentu hal ini tidak membuat Aceh se-istimewa gelarnya, dan pastinya sangat berbeda dengan Yogyakarta.

MOU Helsinki 2005 memberikan gelar baru untuk Aceh yakni “Pemerintah Aceh”. Hal ini juga sama seperti sebelumnya, tidak adanya perubahan yang terkhusus bahkan istimewa meskipun gelar-gelar telah berganti diberikan untuk Aceh.
Bahkan di Yogyakarta, kehidupan masih tetap berpusat di keratin. Meskipun kota ini disebut dengan kota pelajar bahkan mini Indonesia, dikarenakan seluruh pelosok negri bahkan dari luar negeri pun datang ke kota ini, tidak melunturkan kebudayaan kota ini bahkan mereka pendatang mampu menyatu dengan kebudayaan yang ada di Yogyakarta.

Berbeda dengan Aceh, meskipun pada era terdahulu ada Sultan dan kerajaan. Tapi, sekarang itu hanyalah sebatas peninggalan sejarah dan rujukan untuk generasi yang akan datang. Namun, disini juga kita dapat membentuk atau menggambarkan jati diri ke-Aceh-an.

Kekuatan Aceh berdasarkan 3 hal dalam buku ini; yaitu Islam, yang dapat membentuk kekuatan politik yang teokrasi. Kemudian kebudayaan, Aceh memiliki akar kebudayaan dari berbagai peradaban dunia seperti India, Arab, Cina, dan Eropa. Mereka meninggalkan warisan seperti hikayat, seni, hingga system berpikir yang ingin menyatukan alam semesta dengan manusia. Yang terakhir yaitu ilmu pengetahuan. Kekuatan dua spirit sebelumnya memiliki hubungan yang menghasilkan spirit ilmu pengetahuan ini. Untuk pengetahuan terkhusus mengenai ke-Islaman, tidak diragukan lagi bahwa Aceh sangat berperan dalam hal ini bukan hanya untuk Aceh itu sendiri, tetapi juga mencakup wilayah Asia Tenggara. Meski selama hampir 3 abad lebih jati diri ini tercabut dalam diri orang Aceh sendiri, bisa disebabkan karena kekuatan luar seperti Peradaban Barat dan Jawa.

Di Jawa ada Butalocaya (manusia Jawa, dan mantan Patih Prabu Jayabaya) dalam system komiknya yang berpengaruh dengan pemerintahan Indonesia. Meskipun Aceh tidak lagi mengetahui system kosmik nya sendiri, tetapi Butalocaya yakin bahwa jika tidak ada Aceh, berarti tidak ada Indonesia.

Dalam hal ini, gejala alam selalu diperhatikan oleh orang Jawa yang memagari Pemerintahan Indonesia. Misalnya pada kejadian meletusnya Gunung Merapi tahun 2010, ada orang Jawa yang menghadiahi Abu Gunung Merapi, sebulan kemudian diadakannya perkemahan di kaki Gunung Seulawah Aceh yang di buka oleh Predisen dan di tutup oleh Wakil Presiden, hal ini secara akal sehat memang tidak masuk akal, tetapi ini dikatakan kosmik. Contoh lain, Tsunami pada 2004, presiden datang, selang beberapa waktu terjadinya MOU Helsinki pada 2005. Kemudian 2006, tepatnya 1 Agustus diberikannya gelar baru terhadap Aceh yaitu Pemerintah Aceh dan disahkan nya UUPA (Undang-Undang Pemerintah Aceh). Inilah titik balik orang Aceh. Meskipun, Aceh tidak lagi memiliki Sulatan dan AMA (Adat Meukuta Alam). Tetapi pemerintah sadar dan mengembalikan Aceh pada alamnya bukan pada manusia Aceh nya, secara komsologis.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!