REVIEW BUKU ACEHNOLOGI VOLUME 2 (ANTROPOLOGI ACEH)

in acehnologi •  6 years ago  (edited)

![download (1).jpg](https://cdn.steemitimages.com/DQmbRK6377mGY5ffvB1JYF3f3pLsp1ZQqpADxNm3t2iJN6s/download%20(1)

Salam sahabat steemit. Tibalah pada bahasan yang ditunggu-tunggu dan menarik untuk dikupas, kendati tidak secara komprehensif, namun secara review singkat saya akan menyajikannya kepada sahabat steemit yang sayang jika Anda lewati, karena membaca tulisan ini maka sahabat steemit mengetahui bagaimana karakteristik orang Aceh terhadap budaya, adat, serta pemuliaan.

Baiklah, di awal bab penulis buku Acehnologi ini membahas dirinya ketika berhadapan dengan peneliti luar yang hendak meneliti tentang Aceh, serta berbagai macam laporan tentang peneliti luar terhadap Aceh yang rentan ingin mengekspos Aceh dari sudut pandang berbeda. Terlebih lagi para peneliti dari luar negeri ini pun kurang mendapatkan informasi dan data yang tidak cukup ketika meneliti. Hal ini disebabkan karena data yang bersifat “membahayakan” citra Aceh di mata Internasional tidak diberikan kepada peneliti luar tersebut. Sehingga para peneliti cenderung mengekspos “apa yang salah” dengan Aceh.

Kemudian, dilanjutkan dengan kritikan dari penulis kepada Pemerintah Aceh tentang lemahnya kontrol dari Pemerintah terhadap keberadaan orang asing di Simeulue yang tidak memperoleh persetujuan izin menetap (visa) dari pusat. Sehingga membuat keberadaan warga asing ini tidak terdata dengan jelas. Alhasil mereka (warga asing) seperti yang dijelaskan dalam buku ini membuka lahan bisnis tanpa izin dengan membeli tanah warga lokal atas nama warga Indonesia. Membangun resort-resort di tempat kediaman mereka serta meperkerjakan warga lokal sehingga terkesan kepemilikannya milik warga lokal, padahal mereka hanya “pemilik bayangan” saja. Belum lagi ada model modus lain yang mendirikan rumah layaknya resort yang sudah bertahun-tahun menetap dan membuka satu jaringan bisnis yang menyuplai informasi ke pihak-pihak yang membutuhkan.

Setelah penulis berbagi keluh kesahnya tentang peneliti luar, kemudian penulis membawa kepada pembahasan inti yaitu antropologi Aceh. “Kajian Antropologi Aceh, ingin menarik lebih jauh lagi, mengenai kebudayaan yang dihasilkan oleh rakyat Aceh”. (Hal. 564) dan juga “Antropologi Aceh berusaha untuk membangun kembali pemahaman kebudayaan Aceh dan juga semangat orang Aceh di dalam proses ‘carrying their own cultures to other place and cultures’” (Hal. 567). Dalam konteks ini, kajian antropogi Aceh penulis berupaya menjelaskan masyarakat gunung dan pesisir. Berbagai aspek penulis jelaskan di sini baik dalam segi kebudayaan, adat, makanan, bahasa, dan lain sebagainya.

Lebih jelasnya penulis membagikan 14 wilayah kebudayaan Aceh, diantaranya: wilayah pertama, tentunya wilayah ibukota yaitu Banda Aceh. Wilayah kedua, wilayah persawahan-perbukitan-pegunungan yang ada di Aceh Besar. Wilayah ketiga adalah wilayah kebudayaan Pidie. Wilayah keempat adalah wilayah terbentang dari Samalanga hingga ke Krueng Mane. Wilayah kelima, kawasan dari sungai Krueng Mane (Aceh Utara) hingga perbatasannya dengan Aceh Timur. Wilayah keenam, dari perbatasan Aceh Timur memasuki wilayah kota Langsa. Wilayah ketujuh, kawasan kota Langsa hingga perbatasan dengan Sumatera Utara. Wilayah kedelapan, kawasan Aceh Tenggara dan sekitarnya. Wilayah kesembilan, kawasan di Aceh Singkil dan sekitarnya. Wilayah kesepuluh, kawasan Subulussalam hingga ke Aceh Selatan. Wilayah kesebelas, kawasan Aceh Selatan hingga Aceh Barat Daya. Wilayah keduabelas, kawasan Nagan Raya. Wilayah ketigabelas, kawasan Meulaboh hingga Lamno. Wilayah keempatbelas, kawasan kebudayaan di Simeulue. Wilayah-wilayah tersebut penulis munculkan disebabkan ada kajian yang melatarbelakangi seperti sistem kebudayaan, sistem nilai, sistem sosial, religi, kekerabatan, simbol-simbol, kuliner, tata bahasa, kontesasi kebudayaan, etnisitas, identitas, dan beberapa konsep lainnya.

Berlanjut pada itu, penulis juga menggambarkan bagaimana pengaruh kemajuan teknologi dan globalisasi di masyarakat Aceh era kontemporer ini. Sehingga memberikan pengaruh terhadap budaya bagi masyarakat Aceh. Misalnya warung kopi dulunya menjadi tempat transit sekarang menjadi bagian dari gaya hidup orang Aceh, warung nasi pada awalnya sebagai tempat makan berubah menjadi tempat terima tamu, dan ajang-ajang syukuran kolega lainnya. Akhirnya, suatu fenomena baru muncul di Aceh. Seperti trendingnya pemasangan papan bunga dalam masyarakat perkotaan di setiap momen-momen penting.

IMG_1807.jpg

Nah, salah satu fenomena yang menjadi sitaan perhatian saya adalah fenomena binatang yaitu sapi. Binatang satu ini begitu mulia di mata orang Aceh. Khususnya ketika menjelang Ramadhan dan hari raya Idul fitri serta Idul Adha. Dimana rakyat Aceh harus menyantap daging sapi pada hari tersebut yang sudah menjadi tradisi makan orang Aceh di hari itu kendati harga daging sapi di Aceh dibanderol dengan harga yang relatif mahal. Mayarakat Aceh berpandangan bahwa sapi merupakan bagian dari baynah (harta) yang sangat berharga bagi masayrakat tradisional Aceh. Seseorang yang sukses mereka yang memiliki emas, tanah, dan ternak. Misalnya ketika anak mau kuliah sapi bisa di jual di pasar, ketika anak mau menikah tinggal potong beberapa sapi aja. Belum lagi di hari meugang, sapi menjadi idola bagi masyarakat Aceh seperti yang telah disebutkan di atas. Tidak hanya itu Aceh dikenal dengan tradisi serba keunduri (syukuran) maka selalu akrab dengan daging sapi. Alhasil sapi di mata orang Aceh begitu mulia dan menjadi baynah yang menjanjikan.

Dalam sejarah orang kaya dulu, sapi ini merupakan suatu aset yang paling banyak diminati. Tidak sedikit orang Aceh yang terjun dalam bisnis jual-beli sapi ini. Karena biasanya, setelah jual-beli sapi dalam kebiasan orang Aceh meraka menyimpan uang dalam bentuk emas atau pun membeli tanah di sana sini. Inilah potret bagaimana sapi memainkan perannya yang begitu istimewa dikehidupan masayrakat Aceh yang penulis kupas dalam kajian antropologi Aceh.

Menurut saya inilah pembahasan inti atau peran utama dalam buku Acehnologi volume 2 ini. Karena itulah sosok karakteristik orang Aceh di dalam menjalani kehidupannya sehari-hari demi menopang kebutuhan keluarganya dan juga penulis menegaskan pada bab akhir yaitu “ salah satu fungsi utama dari Antropologi Aceh adalah menggali sistem cara pandang masyarakat Aceh kemudian dipantulkan pada konteks kekinian” (Hal. 608).

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!