Bab ini bukan menanggapi bagaimana dunia pendidikan moren. Namun ingin melihat tradisi “meugure” (berguru) di Aceh, dapat dikatakan bahwa tradisi meugure memang menjadi satu nafas kehidupan rakyat Aceh, karena seseorang dianggap berguna dan berfungsi dalam masyarakat jika orang tersebbut pernah “meugure” pada seorang ulama atau guru, baik did ayah maupun di madrasah,. Tradisi ini memang tidak hanya monopoli orang Aceh saja, tetapi juga dalam setiap masyarakat di nusantara, dimana tradisi “meugure” tidak dapat dihindarkan. Beberapa pemimpin besar selalu ada guru dibelakangnya yang mengarahkan dan mentransfer ilmu dan hikmah mulai yang lahir hingga batin, kenyataan ini menjadi factor bahwa berguru begitu penting.
Bagi orang Aceh, dayah merupakan pusat dari ilmu pengetahuan. System pendidikan yang saling berkaitan dengan masyarakat dan kegiatan yang melingkupinya, menjadikan pendidikan orang Aceh saling terintegrasi antara dunia ilmu pengetahuan dengan keperluan masyarakat. Sehingga, keberadaan tradisi “meugure” seperti ini, menjadikan lembaga ini sebagai tempat untuk mencari jejak spirit menjadi dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Salah satu contoh bagaimana upaya para ulama Aceh untuk menghasilkan pola berfikir secara konseptual dan hakiki. Disini, pengaruh ulama tentu saja tidak hanya pada dataran dunia intelektual semata, namun gaya berfikir mereka juga ikut mempengaruhi pemerintahan Aceh spirit intelektual mereka pada dasarnya adalah ingin menemukan manusia dengan hakikat ke dirian manusia. Untuk mencapai hal tersebut, pendidikan di Aceh pada masa-masa awal berupaya menemukan orang-orang yang mampu berfikir secara konseptual.
Dinia pendidikan di Aceh bukanlah tradisi yang berdiri sendiri, melainkan memiliki kaitan sejarah. Hubungan inilah yang telah terputus selama ratusan tahun. Saat ini seolah-olah pendidikan di Aceh merupakan satu pengalaman baru yang terkoyak dari spirit yang ada pada orang Aceh sendiri. Proses pemilihan dan pemilahan orientasi pendidikan dalam dunia intelektual di Aceh, telah menyebabkan negeri ini tidak mampu lagi menemukan jati diri ke-aceh-an. Pendidikan diarahkan untuk mempertemukan makro dan mikro kosmo setelah Aceh bertemu dengan peradaban barat dan jawa, akhirnya arah pendidikan di Aceh hanya dituju pada aspek mikro-kosmo, walaupun demikian, Aceh tetap menghasilkan pemikir-pemikir yang sangat otentik.