Cara Berpikir Orang Aceh, Review Acehnologi (III :27)

in acehnologi •  6 years ago 

Assalamualaikum wr, wb. Kali ini saya akan melanjutkan review buku Acehnologi karya bapak KBA volume 3 bab 27 tentang Cara Berpikir Orang Aceh. 

Di halaman 841 dikatakan bahwa tujuan dari bab ini adalah untuk menggali falsafah berpikir orang Aceh yang dikenal dengan istilah seumike (berpikir). Bab ini memaparkan bagaiman pola seumike orang Aceh. Untuk menciptakan pemahaman, sesuatu yang melawan alam, sering diungkapkan dengan istilah hana roh. Istilah ini sering muncul, namun belum ada penjelasan yang kompherensif. Misalnya tanda-tanda alam dibiarkan dipahami secara turun temurun, dan dikondisikan untuk dilaksanakan, tanpa harus bertanya apakah itu masuk akal atau tidak.

 Hana roh adalah pemahaman yang muncul, jika dilakukan akan melawan alam. Jadi sesuatu dilakukan karena mengikut keinginan alam. Istilah roh, jika boleh, bisa diartikan ruh atau spirit yang merupakan sebuah kekuatan yang tidak tampak secara kasat mata. Karena konsep puga nanggroe adalah bagian dari menyelaraskan spirit antara manusia dengan alam, maka spirit itu menjadi sesuatu yang penting. Karena bagi orang Aceh terdapat pola pikir, setiap tempat itu adalah yang mendudukinya atau mendiaminya. Karena itu, sebuah wujud kesatuan alam dan manusia, diupayakan diberi sebuah persembahan bagi alam dengan simbol kenduri (khanduri). Karenanya, di Aceh merupakan sebuah negeri yang paling banyak kenduri. Setiap ada ritual, selalu dibarengi dengan kenduri. 

Aspek kedua adalah pola pikir yang didasarkan pada jiwa. Ini melahirkan konsep hana get (tidak baik) atau hana jroh. Pola pikir ini mengandaikan bahwa sesuatu perbuatan dilakukan berdasarkan pada ilmu-ilmu bijaksanawan atau wise men. Mereka yang melahirkan sebuah tatanan pikiran yang dituangkan dalam bentuk Hadih Maja. Di sini yang dihadang bukanlah akal pikiran, melainkan jiwa-jiwa luhur ke-Aceh-an. Dengan kata lain, apa yang baik dan buruk, bukanlah diukur dari rasionalitas, melainkan dilihat dari aspek jiwa yang kemudian melahirkan konsep moralitas ke-Aceh-an. Di sini moral diukur bukan karena tinggi status sosial, melainkan sikap dan sifat keluhuran yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Aspek ketiga adalah hanjeut (tidak boleh) yang berasal dari agama. Dia dikeluarkan oleh para ulama dari hukum-hukum Allah yang menjadi larangan. Karena itu, setiap ada upaya yang berkaitan dengan keagamaan, tempat bertanya adalah para ulama. Cara berpikir hanjeut ini menjadi negosiasi tarkhir, setelah hana roh dan hana get tidak berjalan dalam masyarakat. Jika hanjeut pun tidak dapat diterapkan, maka dapat dipastikan masyarakat Aceh berada dalam kegamangan. 

Ketiga model berpikir Aceh ini telah hilang dan tidak begitu memiliki fungsi dalam masyarakat Aceh. Hana roh yang dipahami sebagai spirit dan relasi manusia dan alam, tidak mampu dimaknai oleh generasi sekarang, khususnya mereka yang ingin mengedepankan aspek rasionalitas dalam memahami alam. Pola penyebaran demoralisasi aspek pertama ini juga berdampak buruk pada aspek kedua yaitu hana get. Ketika hana roh dan hana get tidak bisa berjalan seiring, dia pun memiliki dampak pada aspek ketiga yaitu han jeut. Akibatnya ketika alam-jiwa-agama tidak menjadi dasar berpikir masyarakat Aceh, maka strutur sosial menjadi rapuh. Akibatnya adalah rakyat tidak memiliki pemimpin spiritual yang mampu memahamkan diri mereka pada falsafah hana roh, hana get, dan han jeut.

Beberapa hal yang penulis garisbawahi dari bab ini. Pertama, dalam masyarakat Aceh relasi sosial sangat ditentukan dengan status sosial seseorang. Relasi ini kemudian menciptakan kerangka berpikir untuk melihat diri dan orang lain dari perspektif perkauman. Dalam hal ini, persoalan keluarga dan agama menjadi hal penting bagi masyarakat dalam mengukur tingkat status seseorang dalam masyarakat. Kedua, falsafah cara berpikir masyarakat Aceh dimulai dari kampung-keluarga. Artinya, kampung diibaratkan sebagai sebuah keluarga; dan jika keluarga sudah tidak termasuk dalam kehidupan kampung, maka keluarga tersebut dianggap bermasalah. Di sini aib kampung sama dengan aib keluarga. Ketiga, falsafah tata pikir orang Aceh sebenarnya ingin menyelaraskan hubungan manusia dengan alam semesta. Di sini konsep yang ditemukan adalah hana roh, dimana bersentuhan dengan spirit; hana get atau hana jroh yang kerap berhubungan dengan relasi sosial dalam masyarakat; dan terakhir, hana jeut atau hanjeut yang merupakan puncak tertinggi dimana kendali kehidupan orang Aceh diatur melalui peraturan-peraturan agama. 

Dari ketiga hana tersebut melahirkan aturan-aturan yang berupa adat atau reusam. Dimana pada zaman kerajaan dijadikan sebagai sebuah undang-undang manusia, lalu di atasnya berisi peraturan yang berasal dari agama. Di sinilah alasan mengapa agama dan adat di Aceh tidak bertolak belakang. 

 Cukup sekian review dari saya mengenai bab ini, masih ada bab selanjutnya yang akan saya review, semoga teman-teman semua tidak bosan membacanya, wassalamualaikum wr, wb.    

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Akhir akhir ini saya banyak menemukan artikel mengenai review acehnologi. Apakah ini tugas kuliah? Hehe

Yup, betullll 😁

Wah pantes. Tag Aceh full dengan sejarah aceh. Mantap, lanjutkn! Hehe

Thanks vote nya

Baik sama sama, jika berkenan boleh follow back dan upvote balik. Salam profit dengan menulis tentang Aceh di media hehe