Bis yang kami naiki berhenti menurunkan puluhan penumpang di Terminal Guntur pada pukul 3 subuh. Kami hanya bertiga berangkat dari Jakarta, beberapa teman lain akan tiba pagi nanti dari Bekasi. Sementara menanti, kami menggelar matras di emperan sebuah toko dan tidur-tidur ayam di sana hingga azan subuh berkumandang.
Bumi, Hafiz, Jard, Syam, Lia, dan Arsyad tiba pukul 6 pagi. Setelah sarapan bubur ayam di sebuah warung, kami buru-buru mencarter sebuah angkot untuk mengangkut ke Pasar Cisurupan lalu mengganti transportasi berupa mobil bak yang akan membawa kami ke Camp David.
Pendakian dimulai dari Camp David ini. Pepohonan Cantigi tampak rimbu di sisi kiri-kanan jalur awal pendakian. Banyak sekali pendaki dan pengunjung di areal ini hingga ke kawah yang jaraknya lebih kurang sekitar 1 kilometer. Dari lereng-lereng yang mengeluarkan asap ini, kami beristirahat lumayan lama karena banyak yang ingin berfoto-foto.
Selanjutnya jalur terus menanjak namun tingkat kecuramannya tak begitu parah. Masih sangat oke bagi pendaki pemula. Saya yang tak melakukan persiapan fisik yang cukup untuk pendakian ini merasakan penat yang membuat saya kewalahan.
Gerimis turun ketika kami tiba di puncak sebuah Hutan Mati yang ternyata adalah puncak dari kawah yang tadi kami lewati. Tebing dengan jurang dalam membuat saya bergidik ngeri jika berdiri terlalu dekat pada pinggirnya. Sedangkan Hutan Mati di belakang saya tampak begitu mistis dengan gelayutan kabut yang bergerak perlahan di antara dahan-dahan pepohonan mati yang menghitam.
Kami mendirikan tenda di Pondok Selada saat hujan mengguyur. Sepatu saya basah dan merasakan jari-jari kaki mulai mengerut. Ditambah lagi dengan dinginnya air hujan di atas puncak gunung begini, saya hanya mengharapkan tenda lekas berdiri agar saya bisa membuka sepatu lalu bersembunyi di dalam sleeping bag.
Tapi sayangnya harapan tak seindah kenyataan. Kenyataannya adalah terpal alas tendanya bocor dan air merembes ke mana-mana. Lupakan tidur dengan nyaman dan tenang malam ini. Saya berkali-kali terbangun karena kaki saya terasa dingin akibat rembesan air. Saya harus mengelap rembesan air lalu berusaha tidur lagi.
Saking kurangnya tidur-ditambah pula kecapaian mendaki kemarin-saya melewatkan momen matahari terbit dari Hutan Mati. Kak Nur dan Syam telah bergegas ke sana saat subuh. Sedangkan saya bodo amat mending tidur bae daaaaah.... Hahaha...
Tapi melewatkan sunrise pagi itu tak saya sesali. Saya butuh tidur yang lebih panjang sedikit lagi. Perjalanan masih belum berakhir dan saya harus memulihkan tenaga. Pagi itu, setelah sarapan, kami melanjutkan pendakian ke Tegal Alun. Di sana terdapat padang edelweis yang menghampar sejauh mata memandang. Sayangnya saat itu bukan musimnya berbunga. Namun saya cukup puas melihat kuncup-kuncup bunga dan embun di pucuk-pucuk dedaunan hijau keputihan tanaman yang terancam kepunahannya ini.
Saya senang sekali berada di Tegal Alun. Inilah pertama kalinya dalam hidup saya melihat Edelweis hidup secara langsung. Tumbuh di puncak tinggi, di habitat alaminya. Bukan dalam kondisi sudah tak bernyawa, kering, dan diwarnai dijual di warung-warung seperti di kawasan Gunung Bromo.
Selain pertama kali melihat Edelweis hidup, Papandayan adalah gunung di Jawa pertama yang saya daki. Salah satu impian saya dikabulkan. Dalam pendakian ini, banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan. Tapi yang paling saya senangi adalah ini:
Saya paling tidak suka dengan suhu dingin. Tapi selama tidak basah, saya masih bisa menikmati. Tapi ketika berada di atas lebih dari seribu meter di atas permukaan laut, saya tak bisa memilih kenyamanan yang saya inginkan. Saya harus berdamai dengan segala macam bentuk cuaca yang tak saya sukai sekalipun. Saya belajar banyak dalam setiap pendakian. Jika tak dinikmati, pendakian ke Papandayan ini hanya menghabiskan tenaga, uang, dan waktu saya saja. Syukurnya di tengah malam yang dinginnya menusuk hingga ke tulang itu, saya keluar dari tenda dan bilang ke diri sendiri: jangan mau rugi, Cit! Nikmati atau kamu akan menyesal.
Sugesti tersebut membuat saya lupa jika saya benci udara dingin dan basah-basahan di saat bersamaan. Padahal pada tengah malam itu, gerimis masih saja turun dan tangan telanjang saya rasanya hampir beku. Tapi saya lekas sadar dan buru-buru masuk ke tenda dan bergelung kembali di dalam sleeping bag.
(*All pictures above are mine.
Photos that you have is JUARA bro 😎
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Awesome.... Pengalaman yang luarbiasa... Terima kasih sudah berbagi
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
ketemu si omen gak hehe
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Ingin juga sekali-sekali ikut daki gunung. Biar dapat sensasinya...hehehe
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit