I. PENDAHULUAN
Baru-baru ini, istilah AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH yang sering disingkat dengan ASWAJA menjadi istilah yang sangat populer dikalangan masyarakat Aceh. Apalagi bila dikaitkan dengan parade ASWAJA pertama dan kedua, peristiwa mesjid Baiturrahman Banda Aceh dan gerakan masa lainnya yang tidak kalah terkenal. Mengamati peristiwa-peristiwa tersebut, istilah AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH mestinya mendapat pehartian akademisi dan peneliti untuk melakukan telaah ilmiyah secara serius sehingga dapat memberikan pencerahan bagi banyak kalangan.
Salah satu poster yang dibawa dalam Parade Aswaja pertama, September 2015
Membaca kitab-kitab dan berbagai referensi lainnya, berbagai pemaknaan istilah AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH telah diperkenalkan. Ada yang mencoba memaknainya hanya sebagai firqah Ashairah yang bernasab kepada Abu Hasan Ash
ary (1). Sebaliknya, sebagian ulama lainnya menafsirkannya kelompok salafi yang lebih banyak dituliskan oleh Ibnu Taimiyah (2). Bahkan ada yang menunding bahwa kalimat ini adalah hasil produk politik dari perang Shiffin antara Muawiyah dengan Saidina Ali bin Abi Thalib (3) , yang selanjutnya istilah ini sering digunakan sebagai alat politik dalam konflik antara kelompok internal umat Islam (4).
Bila ditilik lebih serius, hampir dapat dikatakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam memaknai kalimat ini tidak dapat dipertemukan. Disebabkan proses pemaknaan ini tidak hanya melalui mekanisme ilmiyah saja, namun unsur-unsur politik dan ekonomi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari diskursus pemaknaan AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH. Karena itu, tulisan ini adalah suatu usaha mencari titik temu dan tidak akan mencoba memihak kepada penafsiran yang manapun dari pemaknaan-pemaknaan diatas.
Dengan ketulusan dan penuh kesederhanaan, artikel ini sengaja ditulis untuk memetakan apa saja landasan tekstual dari istilah ini, bagaimana perubahan pemaknaannya dari periode-periode perkembangan sejarah peradaban Islam? Penulis yakin, mengangkat persepktif sejarah yang relatif baru dalam memahami pemaknaan istilah AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH ini bukan saja dapat memberikan pencerahan bagi semua pihak, juga melindungi nalar dari klaim-klaim yang memperburuk diskursus AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH.
II. AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH TERSURAT DALAM HADIS-HADIS
Hampir seluruh ulama sepakat bahwa, istilah AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH asal-usulnya dari pemkanaan hadis-hadis firqah (5), baik berdasarkan hadis sahih maupun hadis hasan dan dhaif . Dengan kata lain, kalimat AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH yang kemudian dikenal dengan istilah ASWAJA adalah istilah yang memiliki landasan hadis-hadis Nabi SAW, baik secara tersurat atau tersirat tentang istilah AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH (6). Sirajuddin Abbas menuliskan hingga sembilan hadis berkenaan dengan istilah AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH (7). Sementara dalam kitab Syarastani, Al-Baghdadi dan Ibnu Taimiyah, mengunakan hadis-hadis yang sama dalam merumuskan istilah AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH.
Diantara hadis-hadis tersebut, sebagaimana dibawah ini:
Hadis riwayat at-Thabari:
والذى نفس محمد بيده لتفترق امتي على ثلاث وسبعين فرقة فواحدة في الجنة وثنتان وسبعون في النار قيل: من هم يارسول الله؟ قال: اهل السنة والجماعة. رواه الطبرانيHadis riwaya Abu Dawud:
فانه من يعش منكم من بعدي فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنتي الخلافاء الراشدين تمسكوابها وعضوا عليها بالنواجذ. رواه ابوا داودHadis riwayat at-Turmizi:
ان بني اسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق امتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النلر الا ملة واحدة قالوا: ومن هي يارسول الله؟ قال: ما انا عليه واصحابي. رواه الترمذيHadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.Hadits ‘Auf bin Malik Radhiyallahu 'anhu
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّة
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِيْ الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: الْجَمَاعَةُ.
Dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Yahudi terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, satu (golongan) masuk Surga dan yang 70 (tujuh puluh) di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang 71 (tujuh puluh satu) golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, yang satu di Surga, dan yang 72 (tujuh puluh dua) golongan di Neraka,’ Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu) wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Al-Jama’ah.’
- Riwayat Anas bin Malik:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ اِفْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً؛ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang semuanya berada di Neraka, kecuali satu golongan, yakni “al-Jama’ah.”
Jikalau kita cermati hadis-hadis diatas, ada beberapa kata kunci dapat ditemukan, misalnya; Ma, al-Sunnah, Sunnati, Ana, al-Ashhabie, al-Khulafaur ar-Rasyidien, dan al-Jamaah. Kata kunci Ana, al-Khulafaur ar-Rasyidien, dan Al-Ashabie dapat saja dimaknai sifat khalqi, yaitu sosok atau pribadi Nabi, atau para sahabat, sementara kata kunci al-sunnah, Sunnati dan ma dapat dimaknai dengan sifat-sifat khalqi yaitu kepribadian Nabi dan kesosokan (karakter) para sahabat.
Adapun kata kunci al-jamaah adalah kata kunci yang paling penting, meskipun memaknai dengan pribadi-pribadi sahabat dalam makna sifat-sifat phisik yang melekat pada tubuh dan phisik Rasul dan sahabat (sifat khalqiyah), istilah jamaah mencegah makna-makna tersebut, karena sifat-sifat physic mustahil dikaitkan dengan al-jamaah. Oleh karena itu, banyak para ulama memaknai kalimat AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH adalah pengikut SUNNAH dan pengikut PARA SAHABAT. Jika kita tilik dalam sejarah masa Nabi, maka pengikut sunnah adalah pengikut hadis-hadis Nabi dan amalan para sahabat baik berupa penafsiran para sahabat atau lainnya.
III. PERIODE-PERIODE PERKEMBANGAN KALIMAT
Istilah AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH memiliki sejarah yang panjang. Dalam setiap fase perkembangan sejarah, pemakanaan istilah ASWAJA berubah dan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi keberagamaan umat Islam saat tersebut. Secara singkat, berdasarkan kitab-kitab yang menuliskan tentang pemaknaan istilah AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH, perkembangan pemaknaan ahlusuunah wal Jamaah dapat dibagi kepada empat periode sejarah mencolok seperti dalam tabel dibawah ini.
Tabel empat periode perkembangan pemaknaan istilah Ahlusunnah waljamaah
Periode Salaf: Abad Pertama hingga Tiga Hijriah
Para sahabat, Tabiin dan Tabi
Tabiin adalah generasi pertama, kedua dan ketiga dari sejarah peradaban Islam. Mereka adalah generasi emas dari Islam. Hadis-hadis diatas sangat representatif dalam menjelaskan tentang makna AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH. Selain hadis-hadis, terdapat juga beberapa kitab yang menjelaskan makna Ahlusunnah wal jamaah. Diantaranya yang paling penting adalah kitab musnad Ahmad bin Hambal. Seperti dalam tabel diatas, Ahmad bin Hambal adalah ulama dari Tabiin pertama yang menjelaskan makna konsep AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH secara mendalam. Kitab Musnad Ahmad bin Hambal adalah salah satu kitab mu
tamad dalam menjelaskan makna AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH. Pada bab 6, Imam Ahmad menyebutkan 14 sifat sebagai sifat AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH. Sifat itu adalah keridhaan dengan qadha dan qadar, tidak berdebat tentang aqidah, memakai khauf, berjihad bersama khalifah dan lainnya .
Dua buku pertama yang menjelaskan makna ahlusunnag waljamaah secara sistematis dan komprehensive dalam manhaj salaf
Adalah kitab Al-Lalikai; Syarh al-Ushul Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah min al-Kitab wa as-Sunnah wa Ijmawal Shahabah. Penulisan kitab ini bertujuan untuk membela i
tiqad ahlul hadis dari pengaruh pemahaman Mu`tazilah. Al-Lalikai menulisnya mengikuti secara cermat manhaj ahlul hadis (8). Hal ini terbaca dari konsistennya Beliau mengunakan ayat-ayat dan hadis-hadis sebagai landasan argument. Kemudian penafsiran ayat-ayat dan hadis itupun mengikuti penafsiran sahabat dan tabiin. Kitab ini ditulis dua jilid, sejumlah Sembilan juz dengan Jumlah halamannyapun sangat fantastik, yaitu 1625 halaman.
Dalam kitab ini AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH dimaknai sebagai sifat dan prilaku terpuji yang dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat. Misalnya, pada juz pertama, halaman 45-46, beliau menjelaskan bahwa
Kitab ketiga yang juga sangat representative adalah al-Aqidah al-Thahawiyah; bayanu `aqidahu AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH. Kitab ini masih konsisten dengan lafdh hadis dan dua kitab sebelumnya. AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH dimaksudkan dengan sifat dan karakter yang kosisnten dengan sunnah dan hadis-hadis Nabi, sementara metode/manhaj dalam menetapkan karakter tersebut berdasarkan Al-Quran dan Hadis, serta praktek para sahabat.
Periode Ashairah: Akhir abad ke Empat hingga Abad Keenam Pemaknaan AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH pada periode ini hakikatnya tidak jauh berbeda dengan makna periode sebelumnya, yaitu marhalah salaf. Namun demikian, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan salafi keberatan dengan pemaknaan AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH versi Asha
irah karena mereka tidak sepakat dengan salafiyah pada pengunaan filsafat dan mantiq Aristoteles sebagai manhaj memamaknai kalimat AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH. Dengan kata lainnya, Ashairah menolak manhaj ahlul hadis, dan mengunakan manhaj Mu
tazilah dalam pemaknaan ahlusunnah waljamaah. Sehingga dalam tradisi Asya`irah ilmu mantiq dianggap sebagai pra-syarat belajar ilmu tauhid, atau sering disebut dengan ilmu mantiq huwa almuqaddimatu ilal tauhid.!
11752521_914104128656068_7502824201058733420_n.jpg
Konsekwensi dari pengunaan ilmu mantiq dalam penalaran, Asyairah berbeda pendapat dengan salafi dalam beberapa hal tentang ilahiyyat dan insaniyah. Salah satunya Asya
irah menakwilkan ayat-ayat mutashabihah. Misalnya dalam memaknai ayat-ayat tersebut, mereka membangun qaidah ini; alyaqin la yatabanna alal tawaqquf; kenyakinan tidak dapat dibangun atas kevakuman nalar. Atas dasar qaidah inilah kemudian Asyairah mengambil sikap berbeda dengan salaf, dan memaknai ayat-ayat mutashabihat seperti istiwa, yadun dengan menerima metode takwil. Demikian juga dengan memaknai apa itu Tuhan? Karena logika diatas bahwa kenyakinan tidak bisa dibangun atas kefakuman berfikir, maka Asya
irah menolak teori fitrah yang dibangun salafi tentang ketuhanan. Salafi menyakini bahwa keberadaan Tuhan itu dinyakini secara fitrah oleh setiap manusia karena itu tidak dibutuhkan filsafat Yunani untuk membuktikan keberasaan Tuhan. Kemudian logika fitrah ini dikembangkan kepada tauhid rububiyah, ilahiyah dan asma wasifat sebagaimana dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah .
Untuk membangun konsep ilahiyyat (ketuhanan), Asyairah membangun konsep bahwa Tuhan itu adalah “Yang Maha Berkuasa”. Sifat Kekuasaan Allah akhirnya menjadi basis semua argument Asya
irah dalam ketuhanan. Langkah yang diambil Asyairah ini memiliki kesamaan dengan metode Mu
tazilah, namun Mutazilah membangun makna ketuhanan atas sifat “Yang Maha Adil”. Asya’irah menolak logika “Yang Maha Adil” karena konsekwensinya menyebabkan Tuhan diwajibkan menepati segala janji-janjiNya sebagaimana tercantum dalam Al-Quran. Sifat ini mengwajibkan Tuhan membalas segala perbuatan baik manusia, memasuki mereka ke syurga atau neraka dan sebagainya. Bahkan konsep pemaknaan “ketuhanan” atas dasar “Yang Maha Adil” mengakibatkan Mu
tazilah menambahkan 5 usuhul baru sebagai bagian dari itiqad Mu
tazilah.
Dalam insaniyat, Ashairah mengembangkan teori kasab, dimana perbuatan manusia musyarakah antara iradah Allah yang me-mujbar-kan perbuatan manusia dan keinginan manusia yang hurr (bebas). Dalam politik, Asha
irah menganggapnya bagian dari fiqh, sementara salaf menganggap sebagai bagian sebagai bagian dari Aqidah, dalam bagian waladan wara
.
Pendekatan baru dengan mengunakan filsafat Yunani, wabil khusus mantiq Aristoteles sebagai muqaddimah ilmu tauhid adalah perubahan baru dalam pemaknaan AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH di masa Asha’irah. kitab al-Badgdadi; al-Farqu Bainal Firaq, dan Syarastani al-Millah wan Hihal adalah dua kitab khusus pemaknaan AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH versi Ashairah seperti dijelaskan diatas. Karena Asya
irah mendapat dukungan politik dari khalifah, saat itu pemaknaan AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH versi Asya`irah dianggap paling benar.
Ala kulli hal, intinya pemaknaan ahlu sunnah waljamaah versi Ashariyah tidak berbeda dengan versi salaf. Adapun perbedaan dari segi manhaj adalah suatu ijtihad Abu Hasa Ash
ary dalam menhadapi tantangan Mutazilah dan kaum kafirin yang menyerang Aqidah salaf dengan manhaj filsafat dan logika mantiq. Jadi, initiative Abu Hasan adalah untuk membela dan memperkenalkan aqidah Imam Ibnu Hambal, Thahawi dan Al-Lalikai dengan pendekatan ilmu manteq. Bahkan Abu Hasan Asy
ari sendiri mengangarang kitab yang membela dan mengunakan manhaj ahlul hadis seperti kitab, al-Ibanah fi al-Ushul al-Diyanah, dan Al-lum`ah.
Salah satu bab dari buku Iljamul Awwam anil Ilmil Kalam yang mengukuhkan manhaj ahlul hadis, halaman: 42
Demikian juga pengikut terkemuka dan tercerdas dari Ashariyah, Imam Ghazali mengarang Kitab Iljamul awwam fi al-Ilmi Kalam. Kitab ini khusus menunjukkan keunggulan manhaj ahlul hadis dalam beri
tiqad menurut Islam.
Gebrakan Abu Hasan Ashari mendapat dukungan ulama-ulama terkemuka setelahnya, seperti Imam Juwaini, Al-Baqilani, Ar-Razi, Saifuddin Al-Ijie, Imam Ghazali dan lainnya. Bahkan, pendekatan Asha
irah dalam tauhid tidak hanya memajukan dan melahirkan ilmu kalam, minhaj Ashairah dengan memoderatkan logika filsafat Mu
tazilah telah mendukung perkembangan berbagai ilmu pengetahuan Islam, seperti tafsir birrakyi, ushul fiqh kalami, tasawwuf falsafi, fiqh qiyasi hingga ke ilmu-ilmu Islam modern seperti kajian-kajian Islam yang bayak mengadopsi pendekatan Barat sebagaimana aktifitas Islam Liberal.
Periode Salaf Mutaakhirin
Ibnu Taimiyah dapat dikatakan tokoh kunci yang memperkenalkan kembali kalimat AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH berbeda dengan makna dan manhaj Ashairah. beliau tidak hanya menolak manhaj Aristoteles yang digunakan Asha
irah, juga membangun manhaj baru yang sesuai dengan ruh manhaj muhaddisin klasik. Untuk itu beliau menulis kitab Qaidatu Ahlussunah Wal Jama'ah dalam makna berbeda dengan Asha`irah. Karena ini, saya golongkan Ibnu Taimiyah dan pengikutnya sebagai salafi mutaakhirin.
Ibnu Taimiyah menolak mantiq/deduktif sebagai ilmu alat mendekali, beliau menganggap logika manteq adalah logika yang mandul (aqim). Sebagai gantinya, beliau menawarkan logika istiqrai yang mirip dengan logika induktif versi Barat saat ini. Lebih dari dua buku yang beliau tulis yang mencoba membuktikan bahwa logika mantiq itu tidak memberikan ilmu pengetahuan (10). Selain itu beliau menolak teori kasab dan membangun asas politik berbasis loyalitas iman (al-waladan alwara
).
Ini adalah salah satu karangan Ibnu Taimiyah yang kemudian banyak mempengaruhi filosof Inggris Francis Bacon. Bacon terkenal dengan logika induktif yang ide-idenya banyak dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyah sebagaimana terdapat dalam karanganya Novum Organum (1620)
Saat itu, Ibnu Taimiyah mengalami pengalaman sangat buruk dengan dakwah dan penguasa. Beliau sering dipenjara dan disiksa karena pemikiran dan pemaknaan ahlusunnah waljaahversi beliau jauh berbeda dengan pendekatan Asha`irah yang saat itu didukung penguasa. Pengalamannya dipenjara, disiksa dan dikucilkan menumbuhkan kepribadiannya yang keras, teguh dan memberontak sebagaimana banyak tergambar dalam karangan-karangannya. Akibatnya beliau banyak dimusuhi dimasanya hingga abad inipun pemikaran dan dakwahnya banyak mendapatkan penolakan.
Namun demikian, manhaj muhaddisin yang dikembangkannya menjadi manhaj istiqrai mendapat sambutan luar biasa dari ushuliyun Malikiyah, dan Hanabilah. Terutama Imam Syatibi, Ibnu Asyur berhasil membangun ilmu Ushul Fiqh istiqrai yang kerap dikenal dengan Maqashid Syariah. Demikian juga dengan gerakn Islamisasi Ilmu pengetahuan yang diperkenalkan Ismail Al-Faruqi juga bagian dari kesenimbangan manhaj ibnu Taimiyah.
Muataakhirin Asya’irah dan Salafi kini
Perkembangan pemaknaan AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH versi Ashairah dan salafiyah mulai mengalami bermasalah secara serius ketika masa-masa umat Islam di jajah dan kemudian merdeka dalam bentuk Negara-negara nasionalisme di saat ini. Pandangan kosmopolitanisme (11) Islam dan sikap adopsi ilmu pengetahuan dari luar Islam mulai redup dan diganti dengan sentiment eklusifisme. Disaat kejayaan peradaban Islam, Asha
irah tidak segan-segan mengadopsi mantiq Yunani sebagai landasan ilmu kalam, saat ini pemakanaan Ahlussunnnah wal jamaah yang luas menjadi semakin sempit dan sarat dengan kepentingan politis.
Penyempinan makna dikalangan Ashairah misalnya buku karangan Sirajuddin Abbas, i
tiqad AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH. Buku Sirajuddin Abbas dapat dikategorikan buku yang hebat dan memiliki pengaruh luas dikalangan pengikut Imam Ashari saat ini di Aceh. Namun demikian, banyak hal dapat dilihat kelemahan argument Sirajuddin Abbas dalam bukunya. Misalnya Sirajuddin Abbas tidak mendikusikan setiap kelompok ilmu kalam secara memadai, beliau menjauhi prinsip Asha
irah sendiri yaitu: Al-Yaqin la yatabanna alal tawaqquf. Malah beliau dalam banyak hal mengajukan argumen dengan tuduhan kafir dan sesat menyesatkan kepada Ibnu Taimiyah tanpa mendiskusikannya sebagaimana dalam tradisi Ashairah pertama seperti diatas (12) . Karangan Faudah , salah seorang Asha
irah Syiria juga mengunakan minhaj yang tidak jauh dari Sirajuddin Abbas (13).
Buku ahlusunnah waljamaah versi salafi mutaakhirin, karangan Shaleh Fauzan
Demikian juga dengan buku-buku karangan salafi mutaakhirin. Pengaruh-pengaruh tuduh-menuduh dan sesat-menyesatkan juga terbaca. Baik karena ketidak dalaman penyajian pemikiran kalami dari berbagai firqah ilmu kalam berbeda, juga karena meninggalkan manhaj salaf yang telah dikembangkan hingga kelvel istidalal istiqra`i dan maqashidi. Contoh paling sederhana tentang pemaknaan AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH versi salafi mutaakhirin, misalnya, buku Saleh Fauzan, min Ushul Ahl Sunnah waljamaah. Apalagi salafi saat ini sangat disokong kekuatan politik kerajaan Saudi. Jika dibandingkan dengan Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah yang tertindas oleh otoritas politik, salafiyah Saudi saat ini, tentua sangat berbeda, malah didukung oleh kerajaan dengan berbagai kekuatan ekonomi, budaya dan kekuasaan.
IV. KESIMPULAN
Hakikatnya AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH adalah sifat-sifat terpuji sebagaimana diajarkan dalam al-Quran dan hadis. Sifat-sifat tadi dimiliki oleh semua kelompok Salafi dan Ashairah. Salafi dan Ash
irah memiliki kesepakatan bahwa makna ahlu sunnah waljamaah sebagai sikap dan sifat-sifat terpuji. Namun untuk melindungi dan membela aqidah salaf, Ashairah mengunakan filsafat dan manteq sebagai manhaj yang effektif dan relevan untuk membela aqidah yang sahih dari romrongan Mu
tazilah, zindiqah dan pemuka-pemuka agama Yahudi, Nasrani, Hindu dan lainnya.
Referensi
Abbas, Sirajuddin. 40 Masalah Agama: 40 Queries on Islamic Religion. Vol. 4, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2009.
———. ITiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995. al-Khalaq, Abdurrahman bin 'Abdu. Ushuulu Minhaj Ahlu Sunnah Waljamaah Fil I
Tiqad Wal Amal. Beirut: Daarul Amman, 2000. Al-Lalikai. Syarhu Ushul I'tiqad Ahlu as-Sunnah Wa Al-Jamaah; Min Al-Kitab, Wa Al-Sunnah Wa Ijma
as-Shahabah; . www.al-mostafa.com, 131 H.
Al-Saqaf, Alawi Abdul al-Qadir. Mausu'ah Al-Firaq Al-Muntasabah Lil Islam. Riyath: Durur al-Sunniyah, Dorar.net, 2014.
al-Uthaimin, Muhammad Saleh. Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah [Apakah Yang Dimaksud Dengan Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah ]. Riyath: Al-Buhust Ilmiyah wal iftawal Da
wah wal Irsyad, 1992.
Faudah, Sa'ied 'Abdullatief. Naqdu Al-Risalah Tadammuriyah Allati Allafaha Ibn Taimiyah. Silsilah Al-Kasyief Kabier 'an Aqidah Ibn Taimiyah. Amman: Daarul al-Raazi, 2004.
Faudah, Sa'ied Abdu al-Latief. Al-Kaasyief Al-Shaghier 'an Aqaid Ibn Taimiyah. Amman: Daaru al-Raazie, 2000.
Fauzan, Shalih. Min Ushul Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jamaah: The Roots of Ahlu Al-Sunah Wa Aal-Jamaah. al-Dar al-Baidha: al-Mizal al-Nabawi li al-Nashr wa al-Tauzi
, 2012.
Tulisan ini diterbitkan oleh Nidaul Islam, MPU Aceh Utara. Terima kasih banyak kepada Tgk Muhammad Rahmat, Mahdi Idris, dan semua kawan-kawan dan syedara yang ikut bergabung dalam diskusi status saya Ahlu Sunnah Waljamaah, kepada: Faisal Nur, Mustafa Husen Woyla, Mannan Ismail, Saiful Mahdi, Fajran Zain, Bung Alkaf, Vaza Zahiduz Zakka, Fadhil Aini, Teuku Kemal Fasya, Munawar Liza Zainal, Munawwir Umar, Dewi Saputri, Nurlina Fajri, Muhammad Riza, Izwar Ibr dan semua syedara-syedara lainnya yang ikut memberi kontribusi lahirnya tulisan ini.
Catatan Kaki:
- Alawi Abdul al-Qadir Al-Saqaf, Mausu'ah al-Firaq al-muntasabah lil islam (Riyath: Durur al-Sunniyah, Dorar.net, 2014).
- Abdurrahman bin 'Abdu al-Khalaq, Ushuulu Minhaj Ahlu Sunnah Waljamaah fil I
tiqad Wal
Amal (Beirut: Daarul Amman, 2000); Muhammad Saleh al-Uthaimin, Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah [Apakah Yang Dimaksud Dengan Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah ] (Riyath: Al-Buhust Ilmiyah wal iftawal Da
wah wal Irsyad, 1992); Shalih Fauzan, Min Ushul Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah: the Roots of Ahlu al-Sunah wa aal-Jamaah (al-Dar al-Baidha: al-Mizal al-Nabawi li al-Nashr wa al-Tauzi
, 2012). - Lihat tulisan Al-Yasa, http://alyasaabubakar.com/2013/07/a...
- Pandangan ini banyak terbaca dalam komentar facebook, atau dalam forum-forum perdebatan terbuka lainnya. Salah satu yang paling menarik menurut saya, status salah seorang pakar Mutakallimin Aceh yang menulis seperti ini: “Abu Hatim Ar-Razi (wafat 322 H) mengatakan bahwa tema Aswaja mulai populer dikalangan bani Umayyah setelah padamnya pemberontakan Hasan, Husein dan Ibnu Zubair. Pendukung Bani Umayyah berkata,“kami adalah ahlul Jamaah. Siapa menentang kami berarti menentang umat dan meninggalkan sunnah.Kami adalah ahlusunnah wal Jamaah”. Ar-Razi mengomentari peristiwa itu dengan mengatakan, “maksud mereka adalah menyepakati satu pemimpin meskipun berbeda pendapat dan mazhab” (lihat Ibrahim Hâkat, Assiyâsah wa Al-Mujtamâ’fi ‘Ashri Al-Umawy, hal. 295) Dengan mengacu pada pendapat Ar.-Razi, berarti klaim aswaja pertama kali dimunculkan oleh bani umayyah untuk menunjuk pada golongan politik dan bukan aqidah. Realitas demikian terus berkembang sampai waktu sekarang.
Dalam pada itu, Muhammad Abduh dalam Risalat at Tauhid juga menjelaskan bahwa aswaja adalah klaim pendukung dan pengikut Al-Asy’ari (wafat 303 H) seperti Imam Haramain, Al- Isfiayny dan Abu Bakar Al-Baqilany dan beberapa tokoh lainnnya (Muhammad Abduh, Risâlatut Tauhid, hal 11). Secara implisit Abduh mengatakan bahwa tema aswaja baru muncul pada awal abad empat, dan untuk menunjuk golongan aqidah dapat dikatakan bahwa istilah aswaja belum ada pada masa pemulaan Islam. Sebab pada waktu itu umat Islam masih dalam kondisi Ummatun Wahidah.
Sungguh bagaimanapun, perpecahan umat Islam akibat perbedaan haluan politik pada masa sahabat memang tak bisa dielakkan dan ia telah melahirkan kelompok beragam di komunitas muslim. Akan tetapi tak satu pun kelompok diberi nama Aswaja. Baru pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, kelompok itu mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja. Begitu juga ketika Ma’bad Al-Juhany, Ghaylan Ad-Dimasyqy dan Yunus Al-Asway pada masa akhir sahabat mempermasalahkan qadla dan qadar (Syahrasyatany, Milal wan Nihal,hal.22), juga telah melahirkan kelompok-kelompok dengan aqidah masing-masing. Namun tak satu pun kelompok yang dijuluki sebagai Aswaja. Baru setelah Asy’ari memodernisasi ekstrem aqal dan ekstrem naql dalam aqidahnya, para pengikutnya memproklamirkan diri sebagai Aswaja. Dari fakta d iatas ada indikasi bahwa munculnya klaim Aswaja merupakan upaya mendapatkan kemenangan psikologis bagi suatu golongan sekakaligus kepentingan politik kekuasaan. Realitas semacam ini di nusantara setelah nuruddin arraniry diterima sebagai qadhi negara setelah sulthanah safiyatuddin. Aswaja menjadi mazhab negara menggantikan mazhab imamiyah dan tasawuf wahdatul wujud diharamkan di nusantara dengan menggantikannya dengan ajaran tarikat yang digeluti arraniry. Semua karya peradaban yang ditinggaljan oleh tokoh sufi yang berseberangan dengan arraniry haram untuk dibaca dan diamalkan. Suksesnya pemikiran arraniry yang bermazhab Aswaja juga tak lepas dari campur tangan penguasa. Inikah juga yang akan terjadi di zaman modern”.
Hadis-hadis firqah yang saya maksudkan disini adalah hadis-hadis yang menyatakan tentang perpecahan umat Islam, baik secara tersurat, seperti pecahnya umat Islam kepada 73 kelompok, atau tersurat.
Dari bacaan saya, hanya kelompok syiah yang tidak sepakat bahwa istilah AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH bardasarkan hadis-hadis atau syar`I, mereka menganggap istilah ini lahir dan dikembangkan murni dari proses politik untuk medominasi kelompok syiah yang minoritas dan membenarkan kedudukan dinasti Muawiyah sebagai representasi mayoritas.
Sirajuddin Abbas, I`tiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995); ———, 40 Masalah Agama: 40 Queries on Islamic Religion, vol. 4 (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2009).
Untuk lebih detil silakan membaca: Al-Lalikai, Syarhu Ushul I'tiqad Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah; min al-Kitab, wa al-sunnah wa Ijma` as-Shahabah; (www.al-mostafa.com, 131 H).
Untuk lebih detil silakan dibaca buku Aqidah Wasathiyah, karya Ibnu Taimiyah.
Coba dilihat buku kitab Ibnu Taimiyah; Raddu Alal Manthiqiyun dan Naqdhul Mantiq yang merupakan dua karangan khusus membuktikan bahwa ilmu mantiq tidak dapat digunakan dalam penalaran Tauhid.
Dalam bahasa Arab cosmopolitasnisme disebutkan dengan Syumuliyahtul Islam. Maksud dari istilah ini adalah, bahwa Islam menyerap, mengakomodasi dan mengadopsi unsur-unsur hikmah dari luar peradaban Islam selama unsur tadi tidak bertentangan dengan prinsip Islam dan bermamfaat bagi peradaban Islam.
Untuk lebih detil silakan baca buku Abbas, 40 Masalah Agama: 40 Queries on Islamic Religion, 4. Halaman 153 dan 154:
Kalau dibalik lembaran sejarah Islam dari zaman Nabi sampai zaman Sahabat, sampai zaman Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in, tegasnya sampai tahun 300 hijriyah, tidak dijumpai adanya satu mazhab yang bernama “mazhab Salaf” p. 153.
Juga kalau dibalik Al-Quran yang 30 juz dan Hadits-hadits Nabi yang tertulis dalam kitab-kitab Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Muwatha, Musnad Ahmad bin Hanbal dll. tidak pernah dijumpai tentang adanya satu madzhab dalam Islam yang bernama Madzhab Salaf (P.154). Demikian juga dalam ———, I
tiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah.:
Jadi, kalau ada orang yang menyerukan supaya kita ramai-ramai mengikut Madzhab Salaf, maka itu berarti ia menyuruh kita mengikuti Imam yang tidak ada, dan Madzhab yang tidak ada (P. 155).Lihat buku-buku faudah seperti: Sa'ied Abdu al-Latief Faudah, Al-Kaasyief al-Shaghier 'an Aqaid ibn Taimiyah (Amman: Daaru al-Raazie, 2000); Sa'ied 'Abdullatief Faudah, Naqdu al-Risalah Tadammuriyah allati Allafaha Ibn Taimiyah, Silsilah al-Kasyief Kabier 'an Aqidah ibn Taimiyah (Amman: Daarul al-Raazi, 2004).
Congratulations @saifuddindhuhri! You received a personal award!
Click here to view your Board
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @saifuddindhuhri! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit