Musim Xenophobia

in ahok •  6 years ago 

Oleh Dr. Yusra Habib Abdul Gani***

Siapa sangka, kalau Ramses 1 –berpengaruh dan pemegang tampuk kekuasaan tertinggi rezim Fira’un– berasal dari suku minoritas (Lewi) yang disokong oleh suku Ruben, Simeon, Yehuda, Isakhar, Zebulon, Dan, Naftali, Gad, Asyer, Yusuf dan Benyamin, berkata: "Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi" (An Nazi’at: 24) dan “Aku tidak mengetahui Tuhan bagi kalian selain aku” (Al Qashash: 38); diam-diam ternyata menyimpan sejuta rasa takut (phobos) yang terlalu akan keselamatan masa depan kuasanya di Mesir dari ancaman kaum mayoritas –Ibrani Bani Israel– pendatang dari Kan’an ke Mesir yang dianggap asing (xenos), sehingga mendorongnya untuk mengusir secara paksa ke tanah asalnya (Kan’an/Yerusalem).

Gejolak jiwa yang resah ini, dalam psykologi disebut ’Xenophobia’ yang berasal dari perkataan ’phobos' (rasa takut) dan ’xenos’ (asing). Dengan kata lain, suatu perasaan cemas dan ketakutan yang terlalu terhadap sesuatu yang dianggap asing (xenofobia) yang diyakini dapat menggugat kedaulatan seseorang individu, keluarga, organisasi (partai), bahkan kekuasaan.

Fenomena kejiwaan individual dan kolektif ini boleh mengarah kepada tindakan uncivilize yang mengatasnamakan melindungi kemurnian identitas maupun kekuasaan yang mungkin dirampas dan digilas oleh pihak lain. Xenophobia juga dapat berpunca dari perasaan rasisme dan diskriminasi yang merangsang Fira’un untuk “menyembelih anak laki-laki mu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu” (QS. Al-Baqarah: 49).

Xenophobia boleh jadi muncul oleh karena kecemburuan yang terlalu mengkristal menjadi rasa kebencian, seperti yang dialami oleh Nabi Yusuf AS sewaktu kecil –dianggap asing– oleh sebab dipercayai akan menggugat kribelitas saudara kandungnya yang kemudian sanggup mencemplungkan Yusuf ke dalam sebuah telaga tua di padang pasir sebagaimana dikisahkan, “Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya untuk membinasakan mu.” (Yusuf: 5). Bahkan xenophobia boleh terjangkit oleh sebab perbedaan kepentingan politik dan ideologi suatu kelompok. Misalnya, pada tahun 2009-2014, apabila Partai Aceh (PA) menguasai parlemen dengan suara mayoritas –48 kursi mewakili PA dari 69 kursi anggota DPRA– merasa cemas dan ketakutan kepada pihak lain yang dianggap asing (xenophobia) karena komponen masyarakat lain mau membentuk partai lokal (Parlok) dan percaya bahwa yang berhak eksis di Aceh hanya PA.

Agenda politik PA akhirnya terhempas diterjang ketentuan perundangan RI yang tidak membatasi untuk mendirikan Parlok di Aceh. Selain itu, xenophobia juga diakibatkan oleh perasaan takut kepada orang yang berbeda kepercayaan, suku, ketidakmampuan bersaing dalam pentas politik dan perebutan status sosial. Xenophobia model inilah melanda jiwa umat Islam –khususnya dalam kancah memenangkan Pilkada DKI Jaya 2017– yang menghadirkan Basuki Cahaya Purnama (Ahok) beragama Nasrani yang diyakini menodai kemurnian iman berdasarkan teks Al-Qur’an (Al-Maidah: 51), yang melarang orang Islam memilih pemimpin dari kalangan non-muslim. Bukti umat Islam mengidap xenophobia digambarkan bahwa “Kami berikan cobaan kepadamu dengan ketakutan...” (Al-Baqarah: 155), yang ditandai dengan aksi solidaritas yang melibatkan jutaan umat Islam bertunjuk rasa di Jakarta.

Aksi ini adalah refleksi dari perasaan ketakutan (Xenophobia politik Islam), bukan simbol keberanian umat Islam. Refleksi ketakutan inilah yang mengantar Anies Baswedan ke jenjang tampuk kuasa di Jakarta pada pilkada 19 April 2017. Di daerah lain, tidak muncul gejolak politik pada pilkada 2016 di kepulauan Sula, Maluku Utara, yang penduduknya 97% terdiri dari ummat Islam telah terpilih Hendra Teis –seorang pengusaha keturunan China beragama Protestan– sebagai Bupati.

Penduduk Kepulauan Sula punya pertimbangan sendiri untuk menyukai dan memilihnya walaupun ada pihak tertentu yang mereview ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi MK telah menetapkan bahwa Hedre Teis sebagai Bupati yang sah mengikut undang-undang. Jadi, jika dalam pilkada Jakarta ternyata kawannya Hendra tidak terpilih, berarti penduduk DKI tidak menyukainya. Jika sebaliknya, maka umat Islam mesti belajar dari realitas ini. Hal tersebut senada dengan Ucapan Prof. Dr. Jimly Assiddiqie dalam suatu forum diskusi baru-baru ini.

Pada gilirannya, xenophobia juga melanda politisi Aceh dan budayawan yang berasal dari suku mayoritas di Aceh merasa cemas dan takut dengan kehadiran Mante (pihak asing) dalam video yang berhasil direkam oleh sekelompok mengendera trail di sebuah lokasi pedalaman Aceh Besar yang nampak telanjang bulat, seperti dilaporkan oleh Tabloid Lintas Gayo dan Serambi Indonesia. Pada hal suku mayoritas Aceh, mengikut sejarahnya terdiri dari empat suku utama, yaitu “Sukèë lhèë reutôh ban aneuk drang, Sukèë Jak Sandang Jeura haleuba, Sukèë Tok Batèë na bacut-bacut, Sukèë Imeum Peuët njang gok-gok donja” (Kaum tiga ratus bagaikan anak drang, Kaum Jak Sandang bagaikan Jeura haleuba, Kaum Datuk Batu ada sedikit-sedikit, Kaum Imam Empat yang guncang dunia) –yang suatu ketika dahulu pernah konflik horizontal berebut kuasa di Aceh.

Bertuah Sultan Ali Mughayatsyah (1511-1524) berhasil mematahkan obsesi mereka masing-masing dan sampai sekarang tidak seorang berani mendakwa dirinya sebagai salah satu keturunan dari empat suku utama tadi. Suku Mayoritas inilah secara diam-diam menyimpan rasa takut (xenophobia) dengan kehadiran Mante. Perasaan takut tersebut dibayang-bayangi lewat kalimat “bagaimana kalau suku mante bersatu, lalu buat organisasi dan Parpol, kemudian mengusir kita dari Aceh dengan alasan mereka pribumi asli sedangkan kita pendatang” (Lintas Gayo, 30 Maret 2017).

Fenomena ini hanyalah simbol dari ketakutan suku mayoritas terhadap masa depan politiknya. Sebab, melalui proses alamiah kesadaran politik mereka -Mante atau suku minoritas lain di Aceh- dapat menggerakkan apapun. Oleh karena itu, saat difikirkan supaya orang Aceh -suku mayoritas- memerangi suku Mante karena takut terusir untuk menyelamatkan dominasi politik suku mayoritas yang diangap sebagai kaum penjajah (Lintas Gayo, 30 Maret 2017).

Dalam konteks ini, yang membedakan antara xenophobia yang diderita Fira’un dan politisi Aceh adalah, jika Ramses 1 dari suku minoritas Lewi ‘curi start’ untuk mendominasi politik –menjajah- dari pada digilas oleh suku mayoritas Ibrani, sementara xenophobia politisi Aceh dari suku mayoritas Aceh mendominasi politik dan berencana memerangi suku Mante karena takut terusir.

Fenomena psykis dan sosial politik tersebut dapat dikatakan adalah normal, bahkan mungkin adalah hal terbaik bagi suku mayoritas di Aceh demi menjaga dan menyelamatkan kemurnian identitas keacehannya. Sebetulnya, mengikut berbagai referensi, Mante, makhluk misteri yang secara genetical hidup dalam rimba Aceh, diakui telah dilihat langsung oleh beberapa saksi mata dan memberi testimoni. Snouck Hurgronje menyebutnya suatu ras Mantran yang hidup di hutan sekitar Aceh Besar, sementara Yunus Melalatowa menyifatkan Mante sebagai suku terasing dalam rimba Aceh; namun, tidak siapapun dapat dan berani bersaksi memastikan namanya adalah Mante.

Bagaimana pun, Mante genetical tersebut baru akan memiliki legitimasi secara ilmiah jika DNA-nya telah ditest melalui laboratorium. Mana tahu, kalau kehadiran Mante terbukti lebih tua dari pada éndatu orang Gayo yang sudah menetap di persekitaran Loyang Mendali sejak 8.000 talaun yang lampau. Bahkan usaha mengadakan research pun sudah direstui oleh Kementerian Sosial RI. Dalam ilmu sosial segalanya tidak mustahil. Masalahnya, contoh yang dijadikan figur Mante itu sudah ratusan bahkan ribuan tahun wujud di rimba Aceh, namun belum juga dapat dipastikan.

Terlepas dari semua itu, lupakan buat sementara kisah xenophobia Ramses 1, saudara kandung Nabi Yusuf, politisi Aceh dan Mante genetic. Ianya tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kehadiran Mante Politisi (politician Mante) yang eksis dalam atmosfer politik dan kekuasaan tidak kalah nekad mempamerkan aksi telanjang bulat –tanpa perasaan malu- di mata Allah dan manusia untuk melakukan tindakan tidak terpuji -baik secara pribadi maupun bergerombolan- menggarong kekayaan negara melalui profesi masing-masing hingga menyebabkan Aceh diklasifikasi sebagai provinsi termiskin kedua se-Sumatera di bawah Provinsi Bengkulu.

Rekaman video sosok telanjang bulat yang disiarkan oleh kumpulan trailer baru-baru ini, secara psykis-sosial adalah suatu simbolik bahwa politician Mante berdasi, sebenarnya pasti telah merugikan negara secara terencana dan sitematik. Tragisnya, politician Mante tersebut dengan gerak cepat melakukan manuver politik, bersembunyi dan menyelamatkan diri di semak belukar. Sistem politik yang sudah dibangun tersebut seakan memberikan perlindungan kepada politician Mante untuk tidak dapat dikesan, ditangkap, ditahan dan diadili.

Lebih menggelikan lagi, apabila ada pihak yang berpura-pura memburu dengan menggunakan senjata galah panjang –lihat video rekaman yang beredar secara meluas– yang diperagakan. Hal ini merupakan tindakan irrational dan dianggap lucu. Artinya, untuk menangkap politician Mante, terlebih dahulu memberi aba-aba bahwa mereka sedang dikejar. Pada hal, semak belukar itu adalah jaringan birokrasi kekuasaan tempat politisi bajingan ini berlindung. Rakyat tidak akan mampu menerobos apalagi menangkap politician Mante, selagi sistem politik tidak diubah secara mendasar.

Walaupun dari sisi lain, Snouck Hurgronje menyifatkan Mante sebagai tingkah kebodoh-bodohan dan kekanak-kanakan. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai kisah ngarut. Namun secara simbolik, ianya wujud dalam romantika peradaban manusia. Jadi, dalam konteks politik Aceh, xenophobia terhadap Mante genetic tidak berarti apa-apa dibandingkan xenophobia terhadap politician Mante yang sedang menggerogoti bangunan tamadun sebuah bangsa dan negara.

 

***Dr. Yusra Habib Abdul Gani adalah penulis buku Mengapa Sumatera Menggugat

 

 

 



Posted from my blog with SteemPress : http://kabarpidiejaya.com/2017/04/musim-xenophobia/
Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!