Tak mudah untuk menjadi aku. Sepanjang hidupku seolah tak bisa lepas dari ketergantungan orang lain, terutama suamiku. Aku, seorang anak korban perceraian kedua orang tuaku saat aku masih balita. Saat itu, aku tak banyak tau apa itu arti perceraian. Aku baru mengerti ketika aku tak bertemu ayahku dalam kurun waktu yang cukup lama karna waktu itu hidupku seolah penuh dengan keegoisan kedua orang tuaku yang tak memikirkan nasibku di masa yang akan datang.
Sejak saat itu, aku sangat kehilangan sosok yang selama ini menjadi kebanggaanku. Bahkan batinku pun tergoncang setiap aku merindukan ayah yang selalu jauh dari pandanganku. Apakah saat itu ibuku tau tentang perasaanku? Atau ayahku pernahkah mencari dan menghubungiku, maka jawabannya adalah "TIDAK". Perasaan kehilangan kasih sayang yang waktu itu sangat aku butuhkan sangat membuat batinku terpukul. Aku kerap menangis bahkan mengurung seorang diri di dalam kamar dan itu pun kedua orang tuaku tak ada yang tau. Lalu siapa lagi yang bisa ku jadikan tempat sandaran dan mau mendengarkan isi hatiku yang terluka ini? Entahlah...
Waktu pun berjalan seperti roda yang berputar pada porosnya. Di usiaku yang ke 23 aku bertemu dengan laki-laki yang saat ini menjadi suamiku dan ayah bagi putri kecilku. Setahun sejak perkenalan akhirnya aku di nikahi suamiku. Sejak itu aku mengenal suamiku adalah sesosok pribadi yang angkuh dan berwatak keras, rasanya sangat jauh dari apa yang aku idamkan yaitu punya suami yang soleh dan bisa mendampingiku dengan penuh kasih sayang.
Hampir satu tahun pernikahan, kami baru di berikan momongan. Sejak aku mulai hamil, ku rasa suamiku mulai berubah. Wataknya yang keras berubah menjadi lembut dan penuh dengan kasih sayang. Rasa sayang dan perhatiannya ia tunjukan dengan mengurus semua keperluanku di rumah. Ia pun kerap menghabiskan waktu luangnya untuk merawat dan menemaniku di rumah. Tak jarang pula ia memanjakanku dengan mengajakku jalan-jalan untuk sekedar membeli makanan kesukaanku. Oh.. rasanya sejak itu kehidupanku mulai berubah.
Kehamilanku yang semakin besar menjadikan suamiku menjadi suami yang siaga. Ia tak pernah meninggalkanku seorang diri di rumah, bahkan pekerjaan perempuan masak dan mencuci sekalipun tetap ia kerjakan. Sejak itu lah aku merasakan hidup yang sangat bahagia. Kasih sayang yang tak pernah aku dapatkan dari ke dua orang tuaku di masa kecil, kini telah ku dapatkan dari suamiku.
Sampai akhirnya aku melahirkan dan mulai membesarkan buah hati kami maka suamiku lah orang pertama yang mendampingiku setiap saat bahkan setiap detik, seolah suamiku seluruhnya berkorban untuk aku dan anakku. Istri mana yang tak terharu melihat pengorbanan suami yang seperti itu? Dan nikmat Tuhan yang mana lagi yang bisa ku dustakan dari suamiku?? oh.. jika aku boleh sombong terhadap diriku sendiri maka perasaanku berkata "aku lah perempuan yang paling bahagia di dunia ini".
Ketergantunganku kepada suamiku ternyata belum bisa menghilangkan rasa traumaku di waktu kecil. Aku merasa takut jika aku sendirian tanpa teman, aku merasa takut jika suamiku jauh dariku seperti dulu ayahku selalu jauh dariku, aku selalu putus asa jika melihat suamiku kesal saat melihatku berbuat salah. Aku selalu takut kehilangan, aku selalu takut.....
Oleh karena itu, semua aku pasrahkan pada sang penciptaku. Aku akan selalu menyayangi keluarga kecilku, aku akan selalu merawat dan menjaga suami dan anakku sekuat tenagaku. Aku sangat mencintai keluargaku, mencintai anakku, mencintai engkau wahai suamiku.