Di review bab ini, kita akan melihat orang Aceh dari sudut pandang cara berpikirnya, terutama bagaimana pola pikir (cara seumike) orang Aceh. Pola pikir orang Aceh dibangun atas tiga fondasi dasar yaknia, agama dan jiwa. Maksudnya disini yaitu setiap pola pikir itu digunakan untuk menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat, di mulai dari kawom hingga Nanggroe di awali dengan bagaimana manusia bersikap pada alam, agama, dan jiwa. Falsafah alam (cosmos) ini menjadi tolak ukur untuk mengendalikan tingkah laku. Untuk menciptakan pemahaman, sesuatu yang melawan alam sering di sebutkan dengan istilah hana roh. Istilah ini sering muncul namun belum ada penjelasan yang lebih komprehensif. Hana roh adalah pemahaman yang muncul, jika dilakukan akan melawan Alam ini penjelasan aspek pertama. Jadi, ketika sesuatu dilakukan hanya untuk mengikuti keinginan alam. Istilah Roh bisa di artikan ruh atau spirit yang mana merupakan sebuah kekuatan yang tidak terlihat secara nyata atau kasat mata. Salah satu wujud kesatuan antara alam dan manusia. Di upayakan memberikan sebuah persembahan bagi alam dengan simbol kanduri (khanduri). Tidak bisa di pungkiri di Aceh paling banyak kenduri, bisa dilihat pada saat ada ritual selalu di barengi dengan kanduri.
Adapun aspek yang kedua yaitu pola pikir yang di dasarkan pada jiwa, aspek ini sering biasanya melahirkan konsep Hana get (tidak baik) atau Hana jroh. Pola pikir ini mengandaikan bahwa segala sesuatu perbuatan dilakukan atas berdasarkan ilmu-ilmu para bijaksanawan. Konsep berfikir seperti ini pun juga terdapat pada Ureung tuha di Aceh. Dimana mereka sering menasehati atau menegur dengan falsafah hna get atau haha jroh. Ukuran nya disini yaitu jika dilanggar akan melawan aspek-aspek batiniyyah manusia.
Dan aspek yang ketiga yaitu hanjeut (tidak boleh) yang berasal dari Agama, konsep ini yang mengeluarkan oleh para ulama di ambil Dari hukum-hukum Allah SWT. yang menjadi larangan. Oleh sebab itu, setiap terdapat upaya yang berkaitan dengan keagamaan tempat untuk bertanya ialah para Ulama. Cara berfikir hanjeut ini menjadi negosiasi terakhir, setelah hana roh dan hana get tidak dapat berfungsib di dalam masyarakat. Aspek ketiga ini juga ingin di formalkan kedalam bentuk penerapan Syariat Islam di Aceh. Dalam artian semua kendali kehidupan bisa di luruskan dari sisi ini. Tetapi Agama kemudian berfungsi tidak hanya sebatas mengatur masyarakat. Akan tetapi semua wilayah privasi.
Di Aceh sendiri ada suatu konsep yang asli dari Aceh yaitu konsep hadih maja yang sampai saat ini masih di akui sebagai pemikiran yang lahir dari Aceh tanpa mengikuti konsep pemikiran dari luar, hadih maja sendiri merupakan nasehat dari para tetua Aceh.Dalam keseharian orang Aceh, orang Aceh terkadang mengejek sesama temannya dengan menggunakan bahasa 'reuboh' yang biasanya akibatnya orang yang di katakan reuboh akan merasa marah, namun ejekan tersebut tidak dianggap sebagai suatu keseriusan akan tetapi hanyalah candaan belaka, yang pada ujunganya akan dikatakan ‘hanjeut beungeh’ ejekan tersebut tidak boleh sama sekali dilontarkan kepada keluarga mereka, dan jika itu terjadi tidak jarang akan menimbulkan suatu konflik.
Dari beberapa istilah di atas dapat kita pahami bahwasanya cara berpikir orang Aceh lebih di tentukan berdasarkan wilayah dan status sosial seseorang, dan apabila terjadinya suatu konflik agama dan sosial kebudayaan yang kembali mempersatukan masyarakat Aceh. Untuk mencegah terjdinya suatu konflik maka diantara yang konflik tersebut mereka di ingatkan dengan suatu istilah, yang mana istilah tersebut akan membuat yang konflik tadi sadar, istilah tersebut di kenal dengan istilah ‘bek peumale gampong’ yang bertujuan agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan.
Salah satu hal yang unik pola berpikir orang Aceh, masalah 'keurija' ada terdapat 2 pemahaman yaitu, 'keurija udep' dan 'keurija mate', yang di maksud dengan 'keurija udep' merupakan kerjaan seperti di acara perkawinan, sunatan, dan yang dimaksud dengan 'keurija mate' suasana yang menyelimuti duka, contohnya orang meninggal, kedua hal tersebut merupakan relasi sosial dalam dua kerja yang sampai sekarang masih berlangsung di perkampungan Aceh, adapun kerjaan tersebut di artikan dalam pekerjaan tanpa pamrih yang semuanya di lakukan bersama-sama oleh masyarakat Aceh, dalam hal ini untuk menutupi konflik yang terjadi kerap digunakan bahasa, 'bek peumale gampong', atau istilah lain adalah upaya tetangga untuk menutupi masalah, dengan kata lain apa yang baik dan buruk bukanlah di ukur dari kenyataan, melainkan dilihat dari aspek jiwa yang kemudian melahirkan konsep moralitas ke-Aceh-an.
Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!