Review Bab 29 Acehnologi Volume 3 - TRADISI KEPENULISAN DI ACEH

in antrophology •  7 years ago 

Di Nusantara, Aceh merupakan lambang intelektual karena pembukuan yang ada di Aceh telah memberikan suatu kontribusi yang sangat penting. Ulama-ulama yang terkenal pada saat itu akan karyanya yaitu Syaikh Nurdin Ar-Raniry, Syaikh Abd Rauf al-Singkili, dan Hamzah Fansuri, karya yang di ciptakan oleh hamzah fansuri yaitu tasawuf dan sastra melayu, karya yang di ciptakan nurdin ar raniry yaitu kitab, dan karya yang di ciptakan abdurrauf adalah bagaimana mempertahankan tradisi.
Dari kenyataan yang ada di atas yang menarik untuk di bahas lebih lanjut untuk menulis buku, karena ulama pada saat itu ingin, mengisi kekosongan literatur keislaman karena dulu tidak secanggih sekarang, maka begitu pentingnya buku ataupun kitab yang ingin mereka ciptakan, kemudian Permintaan penguasa di jadikan pegangan,lalu menjawab semua masalah yang di hadapi oleh ummat, kemudian untuk mengisi diskusi keilmuan, dan juga menulis sebagai sebuah karya pekerjaan yang berbau intelektual. Dalam perkembangan tradisi penulisan di Aceh kemudian lahir beberapa penulis yang handal di Aceh diantarnya ada Ash-Shiddieqy, Aboebakar, Ali Hasymi dan T. Iskandar.
IMG_1860.JPG
Penulisan di Aceh sudah banyak terbit yang kemudian dijadikan dalam media buku, didalam buku tersebut berisi berbagai istilah peradaban Aceh, walaupun buku-buku tersebut tidak dipakai didalam didalam sistem pendidikan Indonesia. Pada zaman dulu terdapat buku-buku yang ditulis dengan puluhan karya baik itu dalam bahasa Arab mapun bahasa Melayu yang ditulis oleh ulama-ulama. Seperti karya Nurdin Ar-Raniry, Hamzah Fansuri, Abd Rauf al-Singkili, Hasbi Ash-Shiddieqy, Aboebakar Aceh, Ali Hasymi, Teuku Iskandar dan lain sebagainya. Yang mana karya-karya mereka dipakai sebagai rujukan utama bagi kompas keagamaan umat Islam di Nusantara. Penulisan mereka sangat bagus dan merupakan karya yang patut kita banggakan sebagai masyarakat Aceh.
Kemudian, ada beberapa faktor seorang penulis buku yang menarik. Pertama, para ulama menulis buku karena ingin mengisi kekosongan literature keislaman. Kedua, para ulama menulis buku karena ada permintaan dari penguasa, maksudnya buku yang ditulis merupakan pegangan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Ketiga,respon terhadap keadaan terkini, yaitu untuk menjawab sekian masalah yang dihadapi umat. Keempat, menulis untuk berpolemik, yaitu penulisan ini untuk mengisi satu diskusi keilmuan seperti yang terjadi antara Syakh Nurdin Ar-Raniry dan Hamzah Fansuri. Kelima, menulis sebagai sebuah bagian dari pekerjaan intelektual, karena penulisan itu merupakan bagian dari jiwa seorang ilmuan, agar hasil dari wawasan mereka bisa dibaca oleh orang lain, dan bermanfaat. Bentuk-bentuk penulisan di Aceh juga mengenai bumi serambi mekkah seperti tentang kerajaan, ilmu pengetahuan, ulama, peperangan, diplomasi, pengkhianatan oleh pemerintah pusat, gerakan perjuangan melawan pusat, dan langgam budaya.
IMG_1835.JPG
Dunia pembukuan di Aceh memang tidak begitu menarik jika di bandingkan dengan pulau jawa, namun masalah tersebut bisa di kesampingkan. Hal yang menarik dari sarjana Aceh adalah menulis sesuatu untuk Aceh, mereka menulis tentang kegemilangan dan kejayaan bangsa Aceh dalam lintasan sejarah, akan tetapi faktor karya dan dinamika intelektual di Aceh sama sekali telah hidup di dalam tradisi keilmuan. Misalnya Azyumardi Azra yang menyebutkan bagaimana gejala perburuan islam pada abad ke-17 M di Aceh. Sejarah pembukuan di Aceh banyak sekali ditemukan karya, baik dalam bahasa arab maupun dalam bahasa melayu, ini belum lagi terhitung karya yang diciptakan oleh para sarjana Eropa, Asia dan Amerika, dapat dikatakan bahwa hasil intelektual Aceh ternyata kemudian telah di jadikan sebagai panggung tradisi intelektual bangsa lain.
Penulis yang ada di Aceh dalam karyanya selalu di selipkan berbagai macam nilai-nilai sejarah dari perjalanan hidup mereka, misalnya mengenai sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh, dan bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan di Aceh, tak jarang mereka juga menuliskan bagaimana kondisi peperangan antara rakyat Aceh dengan penjajah, Adapun isu terakhir yang sering dituangkan dalam tradisi kepenulisan, mengenai Aceh adalah persoalan budaya. Inilah sumbu terakhir yang menjadikan mengenai ke-Aceh-an. Para penulis Aceh maupun non Aceh masih menganggap bahwa Aceh memiliki kekhasan untuk secara terus menerus di kaji dan disajikan dalam berbagai bentuk penelitian.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!