Suatu ketika Salwa pulang dari pasar dengan menenteng sekantong plastik berisi jeruk. Tiba di gerbang rumah, Salwa melihat ada anak-anak tetangga dan putra kecilya lagi bermain riang di teras rumah. Kelihatannya Salwa mulai bersembunyi dari padangan anak-anak. Matanya menyorot kiri kanan mencari jalan lain untuk masuk rumah. Perempuan satu anak itu pun melewati jalan belakang rumah lalu masuk dari pintu dapur. Salwa merasa lega. Putra semata wayangnya dan anak tetanggan tidak sempat melihatnya pulang dengan oleh-oleh sekantong jeruk.
Dari dapur Salwa langsung menyusup ke kamar beserta jeruknya yang berisik dengan gesekan plastik. Ia terlihat hati-hati agar gerak geriknya tidak ada yang tahu.
Lalu Fata sang suami Salwa masuk kamar mengikuti jejak isterinya. Salwa terduduk lesu di kasur.
“Duhai umi dari anakku, mengapa engkau masuk rumah lewat belakang dengan secuil jeruk itu?, tanya Fata.
“Duhai ayah dari anakku. Aku khawatir anak kita dan anak-anak tetangga meminta jeruk yang ku bawa pulang.”
Fata terkesan tidak senang dengan cara isterinya.
“Mengapa sifatmu demikian?.”
Salwa menangis dengan pertanyaan suaminya. Tangisannya pecah hingga terisak. Lalu Salwa merangkul tubuh Fata dan memeluk erat.
“Duhai suamiku, bukan daku kikir tak ingin berbagi jeruk pada anak tetangga”.
“Tapi daku tak rela mereka mencicipi buah jeruk ini, sekantong jeruk yang ku bawa pulang adalah sisa-sisa jeruk busuk yang dibuang orang ke tong sampah. Aku mengambilnya sebab di rumah kita tak ada makanan sedikit pun.”
Fata pun mulai menangis dengan cerita sang bidadari bumi. Ia merangkul tubuh Salwa. Lelaki bersurban itu menatap wajah isteri dengan penuh kasih sayang. Tangan kasarnya menyeka air mata yang mengalir di pipi halus Salwa.
“Duhai istriku. Hentikanlah tangisanmu. Jangan khawatirkan rezeki dari raja alam. Allah tidak akan menghinakan kita dengan kemiskinan ini.”
-Abu Teuming.