MESKIPUN Hari Bahasa Ibu Internasional diperingati setiap tahun (pada 21 Februari), tampaknya bukan sebuah jaminan untuk melestarikan bahasa lokal, termasuk bahasa-bahasa etnis yang ada di Aceh. Bagi Aceh, kekhawatiran akan kepunahan bahasa ini (bahasa Aceh sendiri), belum lagi bahasa-bahasa etnis Aceh lainnya sudah dirasakan sejak 1970 silam. Hal ini tergambar dalam satu bait ungkapan syair dalam buku Sanggamara yang ditulis Teukoe Mansoer Leupung: Tameututo ngen bahsa droe// Bahsa nanggroe nyang biasa// Bahsa laen bek tapakoe// Beuthat ragoe bak beurkata
Buku Sanggamara yang ditulis Mansoer Leupueng ini dianggap sebagai satu karya sastra bahasa Aceh dalam menjawab kelesuan kesusatraan Aceh yang sempat terhenti di era 1960-1970-an. Hal ini terjadi karena pengarang (sastrawan) di Aceh ketika itu lebih banyak menulis dalam bahasa Indonesia, termasuk angkatan pujangga baru dari Aceh, seperti Ali Hasjmy, Talsya, Agani Mutyara, dan penulis-penulis Aceh lain yang seangkatan dengannya tidak menghiraukan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu di daerahnya
Penggalan sebait syair Teukoe Mansoer di atas dapat dipahami sebagai rasa keprihatinan ekstrem yang kalau dicermati hari ini sungguh sangat tidak relevan lagi bila arti dari syair itu dipertahankan. Akan tetapi itulah gambaran kekhawatiran bahwa bahasa lokal --secara lebih khusus bahasa Aceh atau bahasa-bahasa etnis lainnya yang ada di Aceh-- tarancam punah seiring perkembangan kebudayaan yang membuat nilai-nilai lokal makin lama makin menepi, termasuk unsur bahasa di dalamnya,
Dalam kasus-kasus yang paling sederhana, sebagaimana dicontohkan Bidiarto Danujaya (1990), cara berekspresi ramaja sekarang hampir tak lagi berbeda antara kota besar dengan desa-desa di pedalaman. Aceh yang kabarnya sangat sulit menerima pengaruh budaya dari luar, tatapi radio-radio lokal di Aceh terus memperdengarkan dialek-dialek Betawi dan sangat digandrungi para kawula muda. Dalam kondisi ekspresi budaya seperti ini; bagaimana kita harus memosisikan bahasa lokal dalam berinteraksi kaum remaja Aceh saat ini?
Menggerus nilai lokal
Itu baru dari sudut pengguna bahasa lokal di Aceh secara umum, belum lagi subetnis yang juga memiliki bahasa tersendiri. Bahasa Gayo, bahasa Tamiang, bahasa Kluet, bahasa Singkil, bahasa Haloban, Devayan, dan bahasa Simeulue, yang penuturnya terbatas hanya pada subetnis itu sendiri, di satu sisi adalah kekayaan khazanah bahasa lokal yang harus dipertahankan dan dilestarikan. Tapi di sisi lain kehadiran budaya baru yang terus menggerus nilai lokal, kita seperti tak kuasa mengantisipasikannya.
Istilah-istilah bahasa lokal yang mengandung petuah-petuah dalam Hadih Maja, kini makin terasing di pendengaran usia anak didik di Aceh, karena kerakter mareka tidak lagi berada dalam kontek kelokalan di mana mereka hidup dan dibesarkan. Mareka kini adalah perantau-perantau budaya di daerahnya sendiri.
Kalau bahasa diartikan sebagai alat perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi, atau berhubungan, baik dengan lisan maupun tulisan dalam menyampaikan hasrat dan kemauan pada orang lain lawan bicaranya. Maka fungsi bahasa ini memiliki dua tujuan, yaitu: Pertama, sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, berinteraksi dan beradaptasi; Kedua, untuk menjalin hubungan pergaulan, mewujudkan seni (kesusastaraan), dan mengeksploitasikan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketika bahasa itu dianggap sudah tak bisa lagi memberi fungsi dalam mencapai tujuan pengguna atau penuturnya, maka bahasa tersebut secara perlahan akan tersisih dan terpinggirkan, karena penuturnya sudah lebih suka menggunakan bahasa yang lebih komunikatif dan terbuka. Lebih-lebih dalam mewujudkan tujuan bahasa untuk mengeksplotasikan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perkembangan kebudayaan manusia dewasa ini.
ancaman terhadap bahasa lokal, dalam perspektif kemajuan kebudayaan saat ini, saya kira tidak hanya melanda bahasa-bahasa etnis lokal di Aceh, termasuk bahasa Aceh itu sendiri. Di Nusa Tenggara Timur yang diperkirakan terdapat lebih dari 50 bahasa lokal yang saling tidak bisa dimengerti satu komunitas penutur dengan komunitas penutur lainnya. Belum lagi bila dihitung perbedaan dialek-dialeknya. Akibat kurangnya komunikasi dengan kelompok-kelompok lain, rupanya bisa menghasilkan isolasi budaya yang sangat merugikan (Bidiarto Danujaya, 1990).
kalau kita kembalikan fungsi bahasa sebagai perwujudan budaya atau sebagai alat berekspresi, berkomunikasi dan berinteraksi, kita juga harus masuk dalam wilayah komunikasi antarbudaya. Di tingkat yang paling kecil --kalau kita menempatkan bahasa-bahasa lokal yang ada di Aceh-- misalnya; sejauh mana orang berkepentingan dengan bahasa Kluet atau bahasa Aneuk Jamee, juga sejauh mana orang berkepentingan dengan bahasa Goyo, atau bahasa Alas, Haloban, Devayan dan sebagainya, selain di luar dari pengguna dan penutur bahasa itu sendiri.
Menyelamatkan bahasa lokal
Bagaimana pun tantangan yang makin mucul untuk menyelamatkan bahasa lokal di tengah mengalirnya ekspresi budaya masa kini yang terus menggerus nilai-nilai lokal terseret ke pinggiran. Meskipun dalam kenyataan sulit dipertahankan, namun harus terus diberikan peluang agar bahasa-bahasa lokal ini dapat tetap eksis, paling tidak di kalangan komunitas penutur atau pengguna bahasa itu sendiri. Tapi kita tak bisa berharap banyak, agar bahasa-bahasa lokal ini tumbuh sebagai bahasa ekspresif dan komunikatif dalam perkembangan budaya manusia yang makin mengglobal sekarang ini.
tantangan nyata yang kita saksikan di depan mata hari ini adalah bagaimana posisi bahasa Aceh sebagai bahasa lokal, yang secara sensus mungkin masih didukung oleh 2 juta pengguna aktif dari 5 juta lebih penduduk Aceh. Jumlah 2 juta penutur aktif bahasa Aceh ini pun masih harus kita ragukan. Karena usia anak didik di Aceh sekarang, mulai dari SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi, mereka lebih cenderung berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, tetimbang menggunakan bahasa Aceh. Kecenderungan ini tak hanya bagi usia didik di perkotaan, usia didik di pedesaan juga cenderung berbahasa Nasional dalam berkomunikasi sehari-hari
http://aceh.tribunnews.com/2018/02/26/bahasa-lokal-terancam-punah
Nab Bahany As, peminat budaya, tinggal di Banda Aceh. Email: [email protected]