Kesejahteraan untuk rakyat dan korban konflik, boleh saja di gembar-gemborkan oleh pemerintah berkuasa baik dalam pidato maupun di media massa. Namun kenyataan belum lah tentu demikian.
Salah satu bukti di alami oleh Nurhayati (63) tahun warga daerah Gampong Kilo Meter VIII kecamatan Simpang Keuramat Aceh Utara, rumahnya hangus setelah ditinggal mengungsi era 2000 silam. Delapan kali sudah proposal diajukan ke BRA kabupaten Aceh Utara. Sekian uang diberikan untuk orang yang memberi harapan untuknya. Namun hingga tahun 2013 rumah yang nanti tak kunjung datang.
Kawasan itu merupakan salah wilayah basis Gerilyawan GAM Pasee, tidak heran desa yang ditempati Nurhayati yang langsung berhadapan dengan perkebunan dan hutan itu menjadi salah satu sasaran operasi pencarian Gerilyawan GAM oleh TNI.
Warga disana ikut terkena imbas operasi militer tersebut. Beberapa kali warga disana mengungsi ketempat yang lebih aman. Upaya pemisahan GAM dan masyarakat pun dilakukan TNI saat itu. Sejumlah wargapun di ungsikan. Termasuk Nurhayati.
Dia bersama suaminya Zulkifli dan anaknya serta sejumlah warga desa lain terpaksa meninggalkan kebun rumah dan harta benda lainnya, untuk mengungsi ke daerah yang sudah ditunjuk yaitu lapangan sepakbola Reuleut.
Selama dalam pengungsian ia tidak pernah menjenguk rumah dan harta benda yang ditinggalkan. Cerita kontak tembak dan kematian mewarnai berita didalam pengungsian saat itu. ,” sijeh ka keunong timbak, sinyo ka ji drop,” itulah bisik-bisik hari –hari para pengungsi bersama warga lain.
Tekanan batin dan ketakutan juga menjadi makanan sehari –hari para pengungsi, kenapa tidak? Bukan tidak mungkin setiap orang yang tertangkap dan dianggap terlibat GAM pasti akan ditanya siapa warga yang ikut membantu, memberi makan atau memasok rokok ke hutan.
Apalagi warga dikawasan itu, jikapun tidak pernah memberi makan, pasti mereka kerap melihat laulintas Gerilyawan.
Jantung para pengungsi tidak pernah tenang. Saban hari mereka mengkhawatirkan keselamatan. ,” Apakah saya diambil (Tangkap) atau tidak? Atau saya dianggap terlibat atau tidak? Pertanyaan itupun selalu muncul didalam penungguan kapan akan berakhir hidup dibawah tenda?
Tidak ada yang bisa menjawab saat itu, semunya berdoa agar selamat dari keterancaman itu.
Terkadang untuk pelipur lara, para pengungsi kedatangan berita yang mungkin dapat sedikit menyenangkan hati, berita tersebar lewat frekwensi radio bergigi (Radio Meu Igo atau berita tidak jelas) bahwa petinggi (Red) diluar negeri sedang melaporkan situasi Aceh kepada pihak internasional, dan pasukan PBB akan datang membantu kita.
Lama di tunggu pasukan PBB pun tidak pernah muncul?
Sementara kematian dan penangkapan terus terjadi. Situasi semakin kacau, dan dikala itu pula Nurhayati menerima kabar buruk, bahwa rumah semi permanen yang ditinggal didesanya hangus dibakar. Entah siapa yang bakar!
Setelah kehilangan rumah tempat tinggal, di pengungsian Nurhayati kembali menghadapi cobaan lain, suaminya mulai sakit-sakitan, itu dipengaruhi oleh kondisi. Karena setiap mendengar ada kontak tembak dan ada orang yang di tangkap, ia langsung men-gusuk dada, pertanda berat. ”Bapak sakit jantung” Ujar Nurhayati dengan tatapan kosong.
Lama kelamaan penyakit yang dialami Zulkifli suami dari Nurhayati tidak menunjukkan tanda membaik. Dan Januari 2004, penyakit Zulkifli semakin parah, akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir. Innalillahi Wa Inna Ilairajiun. Jenazah Zulkifli langsung di kebumikan di desa Reuleut tempat mereka mengungsi.
Tinggallah Nurhayati menjalani hidup dengan gadis simata wayangnya, Suryati (kini berumur 17 tahun) dan sejumlah warga lain didalam pengungsian, dan itu sampai ditanda tangani perjanjian damai 15 Agustus 2005.