Di Tangan Hanung, Nasib Bumi Manusia akan Setragis Nasib Annelies Mellema?

in bumimanusia •  6 years ago 

Berita akan difilmkannya Bumi Manusia, karya fenomenal Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis besar (kalau tidak bisa dikatakan terbesar) milik Indonesia segera memantik reaksi para penggemar novel ini.

Bagi para pembaca pecinta buku ini, Bumi Manusia yang merupakan buku pertama tetralogi yang ditulis oleh Pram semasa pembuangannya di Pulau Buru ini bukanlah sekedar buku novel biasa karena di buku ini Pram dengan apik menggambarkan semangat yang melingkupi kaum terdidik di negeri ini pada masa awal periode Kebangkitan Nasional yang lahir berkat masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda. Novel ini menggambarkan suasana dan kondisi mental pemuda terdidik di negeri ini pada masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern dengan pola demokrasi ala Revolusi Perancis.

Melalui buku ini, para pembacanya seolah dibawa masuk ke dalam suasana di masa pemerintahan kolonialisme Belanda yang begitu rasis dan terang-terangan memperlakukan pribumi secara tidak adil. Semangat perlawanan itu begitu terasa. Penekanan kuat yang disampaikan Pram di buku ini adalah jangan pernah tunduk pada ketidak adilan, lawanlah ketidak adilan itu. Tidak ada gunanya terdidik secara akademis kalau mental masih tetap mental terjajah.

Kritikan terhadap kelompok terdidik secara akademis tapi bermental kacung ini dihadirkan Pram melalui sosok Sanikem alias Ontosoroh yang tidak bersekolah secara formal tapi melalui pengalamannya dan bacaan dari buku-buku, pengetahuannya ternyata lebih luas dari guru-guru sekolah HBS yang saat itu levelnya mungkin bisa disetarakan dengan para dosen di kampus-kampus saat ini. Dan yang terpenting, pen getahuannya itu bukan sekedar hafalan, pengetahuan yang dia punya tercermin dalam sikapnya dalam memandang segala ketidak adilan di sekitarnya.

Novel ini adalah api semangat perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas, terhadap ketidak adilan dan terhadap kesongongan orang-orang yang merasa pintar secara akademis yang oleh konstitusi diberi hak mengelola negara.

Tidak heranlah ketika masa Orde Baru, novel yang keseluruhannya berisi semangat perlawanan terhadap otoritarian ini dibaca secara sembunyi-sembunyi dengan resiko ditangkap oleh aparat keamanan. Tapi pembaca setianya, tidak keberatan menanggung resiko itu demi membaca karya sastra fenomenal ini.

Maka ketika terdengar berita bahwa kisah ini akan difilmkan, menjadi wajar kalau para pembacanya yang memandang novel ini sebagai karya sastra terdepan dalam menyuarakan semangat kebangsaan dan harga diri Indonesia sebagai bangsa ini mengharapkan bahwa semangat perlawanan terhadap ketidak adilan, terhadap kebodohan, mentalitas menghamba dan para intelektual besar kepala yang tidak menginjak bumi yang dibawa oleh buku ini bisa tampil utuh dalam filmnya.

Tapi keraguan muncul ketika mengetahui bahwa film ini akan disutradarai oleh Hanung Bramantyo, sutradara yang selama ini dikenal terbiasa mengangkat tema sedalam apapun menjadi dangkal. Melalui film-filmnya, tokoh-tokoh besar bangsa ini mulai dari Soekarno, Ahmad Dahlan sampai yang terbaru Kartini. Oleh Hanung, sukses dibuat menjadi sosok-sosok yang “dangkal.”

Melihat rekam jejak Hanung di dunia perfilman, berbagai pandangan berisi keraguan bahkan kekhawatiran akan nasib Bumi Manusia di tangan Hanung pun bermunculan dari para pembaca setia novel ini di dunia maya. Salah seorang yang sangat getol menyuarakan kegundahannya yang juga menjadi yang terdepan dalammewakili kegundahan para pembaca novel ini adalah Profesor Ariel Heryanto, seorang guru besar sekaligus Ketua Southeast Asian Studies Centre di The Australian National University.
Mendapati situasi seperti ini, beberapa orang mencoba mengajak berpikir positif dengan meminta Hanung diberi kesempatakan dengan mengutip kalimat Jean Marais, salah seorang tokoh dalam Novel ini yang mengatakan “Seorang terpelajar hendaknya Adil sejak dalam pikiran.”

Tapi kemudian muncul beberapa tanggapan yang membuat pikiran positif itu terdengar absurd ketika membaca komentar salah satu netizen yang tampaknya adalah anak muda milenial yang mengatakan "Lagian Pramoedya itu siapa sih? Cuman penulis baru terkenal kayaknya..masih untung dijadiin film, dan si Iqbaal mau memerankan karakternya..biar laku bukunya."

Pramoedya itu siapa.jpg

Lebih jauh lagi ada yang menyangka novel ini karya Tere Liye. Situasi yang membuat miris dan hati para pecinta novel ini teriris-iris sehingga ucapan Jean Marais ketika disandingkan dengan Hanung jadi terdengar seperti sebuah lawakan yang sama sekali tidak berkelas.

Beberapa praktisi komunikasi dan periklanan menduga bahwa ini adalah teknik promosi Hanung dan Falcon yang berhasil. Karena terbukti, dengan pernyataan Hanung dan kontroversinya, film ini menjadi menarik minat banyak orang, sampai-sampai konon di Gramedia buku ini tiba-tiba menjadi buku yang paling dicari. Jadi ada yang melihat ini sebagai sebuah usaha untuk terus mengenalkan PAT, mengapa tidak? Berhasil atau gagal, itu soal lain.

Tapi semua hal yang digambarkan positif itu menjadi mental kembali ketika dalam wawancara CNN https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20180528114015-220-301802/hanung-bumi-manusia-itu-soal-cinta-minke-dan-annelies Hanung sang Sutradara mengatakan bahwa Ayat-ayat Cinta lebih berat dari Bumi Manusia.

“ saya sangat tidak setuju menyikapi novel Bumi Manusia adalah novel yang berat, yang hanya bisa dinikmati budayawan-budayawan saja. Oh tidak, ini novel harus bisa dinikmati, seharusnya dinikmati remaja milennial.” Ucap Hanung dalam wawancara itu.

Artinya apa, PAT bisa jadi akan lebih dikenal setelah film ini diputar, Bumi Manusia akan dikenal oleh generasi milenial, tapi dikenal sebagai apa? Pramoedya Ananta Toer akan dikenal sebagai penulis yang tak lebih baik dari Tere Liye dan Bumi Manusia adalah novel yang lebih ringan dari Ayat-ayat Cinta. Situasi yang tentu saja tak akan bisa diterima oleh para penggemar setia Novel ini dan pengagum Pramoedya secara khusus sebagaimana halnya orang-orang seperti Profesor Ariel Heryanto.

Gambaran semakin terang ketika Jawa Pos menurunkan tulisan wawancara dengan adik Pram https://radar.jawapos.com/radarkudus/read/2018/05/27/76770/respon-film-bumi-manusia-masyarakat-ramai-adik-pram-santai

Menurut keterangan Soes, Bumi Manusia sempat dikontrak seharga Rp 1,5 miliar namun gagal karena melebihi batas yang ditentukan. Untuk saat ini, dia mengaku keluarga mematok harga kontrak sebanyak Rp 5 miliar.

Ternyata inilah biang masalahnya, ahli waris pram yang sekarang memegang hak atas novel ini telah menjual novel ini dengan harga mahal. Dengan harga kontrak sebesar 5 miliar, kalau film ini dibuat sesuai idealisme Pram, mana bisa balik modal. Paling yang nonton cuma para penggemar setia novel ini yang jumlahnya tak seberapa. Nasibnya bukan tidak mungkin akan seperti film Gie atau film-film berkualitas besutan Garin Nugrohp yang meskipun lumayan bagus secara kualitas tapi jeblok secara komersial.

Jadi untuk bisa balik modal dan untung dari kontrak 5 miliar itu tentu saja cerita film ini harus dieksploitasi habis-habisan secara komersial.

Yang jelas, apapun kata orang, seperti dikatakan oleh adik Pram, Soesilo Toer, uang kontrak dari buku ini bisa digunakan untuk umrah bersama 21 anak cucu Pram untuk membuktikan kalau Pram dan keluarganya tidak ateis sebagaimana stigma yang dilekatkan oleh pemerintah Orde BARU.

Persetan dengan citra buku ini yang akan menjadi selevel karya-karya picisan, persetan bahwa dengan adanya film ini sosok Pram sebagai seorang penulis karya sastra terdepan di Indonesia menjadi telihat lebih kecil dari Tere Liye dan persetan bahwa Bumi Manusia menjadi tampak lebih ringan dari Ayat-ayat Cinta.

Situasi ini mengingatkan saya pada kisah Annelies Mellema di novel ini sendiri, yang setelah kematian sang Ayah dipaksa untuk ikut ke Belanda dengan sang kakak tiri. Dipaksa meninggalkan orang-orang yang mencintainya. Ontosoroh, Minke, Darzam dan para pekerja di perusahaan pertanian yang dikelola ibunya.

Mereka menunjukkan rasa cintanya dengan mencoba melawan keputusan hukum yang sama sekali tidak adil, yang memaksa mereka harus berpisah dengan orang yang mereka cintai yang sudah bisa mereka prediksi, akan seperti apa nasibnya di tangan orang yang sama sekali tidak mengerti dan juga tidak peduli pada sosok Annelies sendiri.

Hanung Bramantyo yang dipercaya oleh Falcon yang mendapat hak dari ahli waris Pram untuk menggarap film Bumi Manusia jadi terlihat seperti sosok Ir. Maurits Mellema, yang tak tahu apa-apa tentang Annelies tapi, hukum menyatakan dialah yang menjadi walinya.

Profesor Ariel Heryanto yang begitu mencintai Bumi Manusia dengan segala kekuatan intelektualnya, menggalang opini dan massa untuk melawan penzaliman terhadap Bumi Manusia, mentok tak berdaya di hadapan Hanung yang oleh hukum diberi hak untuk menentukan masa depan dan merah hitamnya Bumi Manusia secara khusus dan citra Pramoedya di masa mendatang.

Profesor Ariel Haryanto jadi terlihat seperti Darzam yang perkasa, yang dengan segala kekuatannya menggalang massa untuk menghalangi Annelies dibawa paksa. Tapi semua berakhir sia-sia.

Sebagaimana Minke dan Ontosoroh yang sudah bisa memastikan nasib tragis Annelies saat perempuan ini dibawa paksa oleh orang yang sama sekali tak memahaminya. Kitapun saat ini bisa memastikan nasib tragis Bumi Manusia yang oleh Pram dikatakan sebagai anak nuraninya saat nanti berada di tangan Hanung yang sama sekali tak memahami apalagi memiliki rasa cinta terhadap Bumi Manusia.

Ariel Haryanto dan orang-orang yang mencintai Bumi Manusia, sebagaimana Minke, Ontosoroh dan Darzam yang tak punya daya menghalangi takdir buruk Annelies yang sudah di depan mata, juga tak punya daya untuk menghadang takdir buruk yang akan dialami Bumi Manusia.

Film ini akan tetap dibuat sesuai dengan cara pandang Hanung terhadap buku ini, para pecinta buku ini hanya bisa melawan dengan cara memboikot film ini, tidak menontonnya. Tapi itupun tak ada gunanya, karena film ini memang tidak ditujukan kepada para pengagumnya. Film ini menyasar generasi milenial yang dirancang untuk mengenal Pram sebagai seorang penulis yang tak lebih hebat dari Tere Liye dan Bumi Manusia sebagai karya yang lebih ringan dari Ayat-Ayat Cinta.

Akhirul kalam, para pecinta Bumi Manusia pun hanya bisa berkata seperti Minke “Kita kalah ma,” dan Nyai Ontosoroh pun sebagaimana ditulis di kalimat terakhir buku ini mengatakan “Kita telah melawan, Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

@winwannur, I gave you an upvote on your first post! Please give me a follow and I will give you a follow in return!

Please also take a moment to read this post regarding bad behavior on Steemit.

Ulasan yang dahsyat.... I miss something, ternyata Bumi Manusia mau dipopkan? Innalilahi wa inna ilaihi rajiun

Bukan sekedar di-pop kan, tapi di roman picisan kan

Ulsan yang sangat menarik bang... hormat teknik grak...

residu Orde Baru yang masih jadi PR buat kita untuk diselesaikan

Congratulations @winwannur! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!