Yang Datang Dan Pergi – Kisah Pengalaman Pribadi Aksi Kedaulatan Rakyat (3)

in catatanmariska •  6 years ago  (edited)

Memandangi jalan dan rumah-rumah serta suasana di belakang Gedung Sarinah saat sedang duduk berpikir mencari jalan agar bisa melakukan komunikasi dengan kawan-kawan membuat kenangan indah di masa lalu muncul kembali. Daerah itu bukan daerah yang asing bagi saya, banyak keluarga dan kawan tinggal di sekitar sana, dan bahkan saya pun sempat tinggal sebentar saat masih kuliah. Mantan pacar saya yang paling awal dan terbanyak ceritanya pun rumahnya tak jauh dari tempat saya duduk, hanya sekitar 200 meter saja.


Baru beberapa bulan sebelumnya kami masih sempat makan bersama dengan beberapa orang karyawannya, di dekat sana karena kantornya pun tak jauh. Kami memang masih dekat dan bersahabat karena kenal sudah lama sekali sejak masih SMA, kuliah di Trisakti dan di Sydney pun sama-sama. Banyak kegiatan yang masih dilakukan bersama, teman-teman kami, ya itu-itu juga, sih! Sayangnya, hanya karena beda pilihan calon presiden, rasanya jadi ada yang aneh dari persahabatan yang sudah terjalin sekian lama itu. Ada yang hilang, kami tak bisa lagi berbincang seperti biasanya, saya malas meladeni segala ucapannya yang menurut saya terlalu mengintimidasi dan memaksa, walaupun dia masih sangat baik sebagai sahabat.

Kami yang tadinya satu group bersama di alumni SMANDEL pun jadi terpisah. Dia dengan kawan-kawan yang sealiran dan saya dengan kawan-kawan yang sejalan juga. Meskipun saya tidak pernah mau ikut-ikutan debat kusir di media social manapun hanya karena perbedaan ini, tetap saja selalu ada yang cerita dan membuat saya sedih sebetulnya. Apalagi, yang hilang dan terpisah bukan hanya dia, tapi ada banyak sekali kawan-kawan yang selama ini dekat dan masih bermain dengan saya, juga jadi seperti ada batas yang memisahkan. Mau sekedar basa basi di telepon pun jadi malas. Nggak enak banget!!!


Ada senangnya juga, karena saya jadi bergabung dan lebih banyak teman baru karena akhirnya saya bergabung dengan alumni lintas angkatan juga. Saya jadi tahu senior-senior saya yang angkatannya jauh banget, ada yang di atas 10 tahun, dan kami bisa ceria bersama. Meski saya boleh dibilang wakil yang termasuk termuda, karena di angkatan saya pun usia saya masuk yang termuda, tapi saya senang karena bisa belajar dan berbagi dengan semua. Saya malah sangat kagum dengan semangat mereka yang begitu membara, malah mengalahkan semangat mahasiswa yang ada sekarang. Tidak ada rasa takut, meski sudah terbilang jauh dari usia muda, tetap saja tak kenal lelah dan selalu semangat. Bukan hanya urusan perjuangan, namun juga dalam hal berbagi dan saling membantu. Sekolah yang sudah lama ditinggalkan tetap diperhatikan, guru-guru sampai kegiatan pendidikan dan bimbingan masih juga dijalankan.

Saya membayangkan bagaimana dengan orang-orang yang sedari tadi terus banyak lalu lalang di hadapan saya, apakah mereka mengalami dan merasakan hal yang sama dengan saya?! Mereka pun mungkin jadi ada batas pemisah dengan kawan-kawan sendiri, dan tak tertutup kemungkinan dengan keluarga. Hanya karena perbedaan pilihan, ya hanya karena perbedaan pilihan. Dan ini konyol sekali, menurut saya. Kenapa sampai harus terjadi? Siapa yang membuat perpecahan ini? Mengapa tega sekali melakukannya? Belum lagi karena tidak ada kepastian apa yang akan terjadi ke depan, bukan hal yang mustahil bila perpecahan ini menyimpan dendam dan terus berlanjut, siapa yang paling diuntungkan?!


Beberapa kali saya mencuri pandang wajah senior-senior saya selama aksi Kedaulatan Rakyat 21-22 Mei lalu. Saya memperhatikan apa yang mereka lakukan dari atas tempat saya berdiri, sementara mereka duduk bersama di bawah, di lapangan parkir. Saya ingat juga ada yang harus rebut dengan anak sendiri karena beda pandangan dan pilihan, entahlah, hati saya jadi terusik sekali.

Saya tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi bila para tokoh dan pemimpin bangsa ini masih saja bersikukuh dengan kepentingan dan hanya memanfaatkan rakyat yang begitu tulus dan naifnya mendukung pilihannya masing-masing. Sementara Indonesia tercinta bukan hanya milik segelintir orang dan pihak, tetapi adalah milik semua rakyat Indonesia. Sudah sepatutnya rakyat yang diprioritaskan dan dilayani, karena meski menjadi pimpinan pun sesungguhnya tetap berada di bawah rakyat. Rakyat yang menggaji dan memberikan semua fasilitas, mengapa rakyat yang terus dijadikan objek kepentingan?

Jujur saja saya sudah malas bicara dan debat, apalagi menuding siapa yang salah. Saya lebih memilih memikirkan apa yang sebaiknya saya lakukan ke depan dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Baik dan yang terburuknya tetap harus siap, karena tak ada satu pun dari kita yang tahu pasti apa yang akan terjadi esok. Kita hanya bisa berdoa dan berusaha, semoga kita semua bisa benar siap menghadapi segala kemungkinannya. Tak mau juga saya berharap, sebab saya tak mau kecewa, saya memilih untuk melakukan apa yang bisa saya lakukan saja. Saya yakin meski buruk sekalipun, tetap adalah yang terbaik yang dibutuhkan. Alasan mengapa, hanya Allah yang tahu dan kita biasanya terlambat menyadarinya.


Yah ini hanya catatan perenungan singkat mengingat saat-saat saya duduk di trotoar jalan, saat aksi Kedaulatan Rakyat berlangsung di depan Bawaslu. Sekaligus perenungan atas perbincangan dengan orang yang memiliki cinta dengan perhatian dan pemikirannya untuk saya dan masa depan. Yang hilang semoga bisa kembali dan yang datang, semoga terus bertahan dan tak ada lagi perpecahan yang harus menjadi batas pemisah yang memberi jarak.

Semoga berguna dan bermanfaat juga bagi semua.

 

Bandung, 25 Mei 2019

03:03 WIB

Salam hangat selalu,

 

Mariska Lubis


Posted from my blog with SteemPress : https://mariskalubis.com/2019/05/24/yang-datang-dan-pergi-kisah-pengalaman-pribadi-aksi-kedaulatan-rakyat-3/

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Tak ada pembahasan mengenai kecurangan pemilu sebagai pemicu aksi masa.. :)

Posted using Partiko Android

Saya tadinya ga percaya teori post-truth. Tadinya saya kira itu teori yang sangat ngarang dan ngawang-ngawang. Tapi pilpres kemarin bikin saya jadi melongo, post-truth beneran terjadi, di semua kubu: baik 01, 02, maupun Golput. Narasi-narasi digelembungkan, tapi minim data faktual. Huft, cuma bisa mengelus dada.

Sampai hari ini, nyinyir-nyinyiran di socmed juga masih terjadi. Kok ga ada capek2 nya. Padahal ga ada faedahnya. Hiks, saya kangen sama masa-masa dimana yang kita idolakan adalah sosok2 seniman berprestasi (hehe), bukan politisi.