#4 Secarik Kenangan, Sebait Puisi, Secerah Mentari Pagi

in cerita •  7 years ago  (edited)

Selamat sore menjelang malam, teman-teman semua! Saya hadir lebih cepat lagi nih. Soalnya malam nanti takut ngantuk, enggak bisa nulis, hehehe. Masih sehat kan?

Sekarang kita lanjutin terus ya ceritanya. Semoga teman-teman tetap setia mengikutinya. Ini menarik, lho. Soalnya kisah cinta seorang pemuda Aceh yang merantau ke Jakarta. Sambil kuliah, terlibat pengalaman-pengalaman romantis dengan seorang gadis.

Tapi, kali ini lebih ke sisi hubugan Harist dengan temannya waktu masih SD dulu. Pertemanan akrab yang terjaga melalui surat-surat. Pokoknya, apa yang dibayangkan tidak sesuai kenyataan. Untuk lengkapnya yuk kita simak lanjutannya.


Ternyata Tak Seakrab di Surat

4a.jpg

Ilustrasisource

Harist turun dari metro-mini di depan kampus. Perasaannya lega setelah begitu lama terkurung sumpek dalam angkutan kota. Ditambah lagi dengan jalanan macet. Sebelumnya terbayang pun tidak kalau dia bakalan mengalami perjalanan menjenuhkan itu. Mana ada di Sabang jalanan macet!

Mata pemuda itu menyapu bangunan kampus dengan perasaan bangga. Walau kampusnya tidak megah, tapi ada yang membuat hatinya begitu senang. Tidak pernah terbayang kalau dia bisa tinggal dan kuliah di Jakarta. Jika membayangkan semua itu, rasanya sungguh konyol.

Semua ini bermula dari abang sulungnya, Kamal. Kamal memang tipe lelaki yang terlalu memaksa kehendak supaya dia mengambil jurusan Ekonomi di Unsyiah Banda Aceh. Tapi gagal lewat, sebab Harist tidak mengisi satu soalpun di berkas ujian tes UNPTN! Itu semua karena protes pada abangnya yang terkesan sangat oteriter. Kamal membanggakan temannya Hasanuddin Latif yang dosen ekonomi di Unsyiah. Dia menginginkan Harist kelak menjadi seperti itu. Padahal Harist cukup berminat di jurusan Hukum. Atas protes itu akhirnya dia tidak dapat menyambung kuliah.

Tapi apa yang dihadapi kemudian? Harist merasa malu dan minder sediri tinggal di rumah. Dulu dia menjadi siswa teladan. Selalu mendapat prestasi sepuluh besar. Sejak SD dia sudah ikut Jambore Nasional 1986 di Jakarta. Dia tidak bisa tersiksa terus-menerus tinggal di rumah.

Akhirnya dia mengambil jalan pintas. Saat Jambore dulu, Harist berkenalan akrab dengan Sarmin. Kemudian berlanjut dengan surat-menyurat hingga kini mereka remaja. Dengan berbekal alamat sahabat pena itulah dia memberanikan diri pergi sendiri ke ibu kota. Tidak ada tujuan pasti baginya selain untuk melarikan diri dari kekecewaan.

Alangkah saling terkejutnya dua sahabat itu ketika bertemu. Mereka sudah berpisah selama tujuh tahun. Sarmin tidak sama seperti Sarmin yang dulu. Dia sudah dewasa, lebih dewasa dari seharusnya. Padahal mereka masih sama-sama remaja. Kalau dihitung-hitung baru mahasiswa semester tiga.

Hal sama dirasakan Sarmin ketika melihat Harist. Bocah kecil itu tampak sudah gede. Walaupun kelihatan masih muda, agak sedikit kebapakan. Yang tidak pernah berubah kulitnya. Kulit Harist tetap seperti dulu. Terus coklat, tidak pernah putih-putih seperti kebanyakan orang di sana!

Kebetulan waktu Harist tiba, Sarmin baru pulang tugas. Lelaki itu kerja di perusahaan ayahnya. Dia begitu klimis. Mungkin orang-orang Jakarta memang begitu. Keduanya tidak bisa akrab seperti dulu. Tapi mereka mengulang juga kenangan-kenangan kecil saat Jambore dulu. Kemudian berlanjut pada kisah-kisah lucu. Tapi tidak juga mengubah keakraban mereka berdua.

Belakang diketahui mereka jauh berbeda. Bahkan ketika Harist shalat, Sarmin tetap cuek. Kebetulan Harist tidur sekamar dengan cowok itu. Malam pertama sudah membuat pemuda asal Aceh itu tidak kerasan. Dia ingin cepat-cepat pergi dari rumah itu. Tapi mau ke mana? Di Jakarta cuma Sarmin satu-satunya orang yang dikenalnya.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali Sarmin sudah berangkat kerja. Rupaya dia begitu disiplin. Harist melihat penampilan cowok itu sangat rapi dengan pakaian kantor. Selanjutnya dia tidak mungkin dijumpai hingga sore nanti. Sarmin begitu sibuk dan tidak boleh ditawar-tawar soal kedisiplinannya. Mungkin sama seperti orang-orang Jakarta lainnya; harus kerja dan memburu waktu!

Malam kedua, Sarmin mulai berbicara masalah wanita. Inilah yang membuat hubungan mereka semakin renggang. Harist bukan tipe orang yang senang ngomongi masalah cewek ataupun khayalan jorok. Pemudah ini sudah terbiasa dengan lingkungan pesantren, tidak pantas membicarakan hal-hal yang mengarah pada rusaknya moral.

~Bersambung....


Begitu teman-teman kisahnya yang bisa saya suguhkan untuk hari ini. Ada yang penasaran, tidak, bagaimana lanjutannya? Doakan ya agar saya tetap sehat dan kuat. Besok (kalau tidak ada halangan) akan saya lanjutkan lagi. Semoga teman-teman semua terhibur ya. Saya berharap teman-teman senang membacanya.

Saya akan selalu mendoakan agar teman-tam dan kita semua selalu dalam keadaan sehat, hidup bahagia, dan mencapai kesuksesan bersama. Aamiiin...



Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

dasar sarmin udah jorok luan bang @arafatnur

iya, @el-nailul. begitulah kisahnya, hehehe.