MAHABBAH
scene 2
Oleh : MH
Seminggu sudah Umar hanyut dalam dilema. Antara iya dan tidak tentang tawaran Abinya. Desiran angin pantai ulee lheu menjadi teman yang tepat untuk diajak bicara. Ia duduk bertumpu di atas bongkahan kayu lapuk.
Sore itu pantai ulee lheu sunyi senyap, hanya terlihat beberapa anak kecil berlarian mengejar ombak didampingi orang tua mereka. Umar lebih tertarik menatap sang surya yang hampir saja tenggelam di ufuk barat, itu lebih mewakili kegundahan hatinya.
Tiba-tiba, "Umar... Kau kah itu?" Sayup-sayup terdengar suara seorang perempuan dari arah belakang. Suara lembut itu tidak asing lagi, cepat-cepat Umar menoleh.
"Zahra! Untuk apa kau kesini?" Tanya Umar heran. Namun tergurat senyum lepas di wajah Umar. Ada kebahagiaan besar yang tak dapat ia ungkapkan dengan kata-kata. Wajah sumringahnya lah yang dapat menafsirkan segalanya.
"Aku mencarimu. Kenapa kau begitu lemah, Umar? Tidak kah kau ingin memperjuangkan cinta kita?" Tanya Zahra lirih. Suaranya tidak terdengar begitu jelas, hampir melebur bersama desiran angin dan sayup-sayup pekikan para bocah.
"Tidak, Zahra! Aku sangat mencintaimu. Tapi... " Suara Umar tertahan, ia berusaha berdiri, ada banyak hal yang ingin ia ruahkan ketika itu juga. Genangan rasa sudah menyesakkan dada. Surya mulai menjingga. Warna kuning meratai penjuru laut.
"Tidak! Kau ingin mengubur dalam-dalam cinta itu kan? Ah! Cinta kita terlalu besar untuk ditampung bumi, Umar!" Ucap Zahra lirih, terpampang jelas kekecewaan dari wajah ovalnya. Matanya berkaca-kaca. Sebulir air mata menggelayut jatuh ke pipinya yang putih bersih. Perlahan Zahra melangkah mundur. Jilbab panjangnya melambai-lambai dibelai angin.
"Zahra! Zahra! Bagaimana dengan laki-laki yang akan melamarmu?" Tanya Umar tergesa-gesa.
"Zahra!"
"Zahra!"
Mata Umar mencari-cari sang kekasih. Sosok Zahra lenyap dari pandangan mata. Tak tarasa air matanya tumpah. Pandangannya kosong. "Mana mungkin Zahra menemuiku," ratap Umar. Itu bukan pertama kali ia berkhayal tentang kehadiran Zahra. Namun harapan selalu bersiteru dengan kenyataan.
Handphone Umar berdering lagi, tak sengaja ia membuka pesan dari akun bernama Anggun itu, "Apa kabar? Semoga engkau baik-baik saja," tulis anggun, di ujung pesan dibubuhi sad emoticon.
Umar hanya membalas tanda senyum saja. Ia tidak berminat menanyai arti sad emoticon itu. Ia menutup handphonenya kemudian mengusap dengan ujung gamis air mata yang membasahi janggut tipisnya.
Sayup-sayup suara bacaan Qur'an terdengar dari mesjid, menandakan sebentar lagi akan magrib. Umar bergegas meninggalkan ujung pantai ulee lheu, Ada tawaran ketenangan dari Allah melalui ayat-ayat cinta di setiap bacaan shalat.
*****
"Empat tahun bukan waktu yang singkat, Nak! Dulu Abi sangat mengimpikan Yaman, kau beruntung dapat menginjakkan kaki disana. Jangan pulang untuk kampung halaman, pulanglah untuk ummat dan Agama, jadilah manusia yang dirindukan banyak orang," Ucap Abi Jalal menyemangati sambil menepuk bahu putra tunggalnya, Umar. Mata Abi Jalal berkaca-kaca, namun beliau berusaha agar air matanya tidak tumpah. Seorang Ayah mestilah terlihat tegar.
Umar hanya mengangguk-angguk. Tidak banyak yang dapat ia katakan selain air mata yang terus berjatuhan, ia peluk erat-erat Abi dan Umminya yang sedari tadi sudah sesenggukan melepaskan sitampan mereka satu-satunya.
Sebulan yang lalu, Umar meminta tangguh untuk tidak menikah dulu. Ada tawaran beasiswa S1 ke Ahgaff Yaman yang sedari dulu ia impikan. Soal Zahra, Ah sudahlah! Endapan luka sudah terlanjur berkerak. Pun tidak ada guna lagi menangisi cinta itu, yang salah siapa? Bukankah Zahra tidak melampaui apapun dari definisi menyakiti? Umar saja yang terlalu pemalu. Tidak pernah ia berbicara dengan perempuan? Apalagi mengungkapkan perasaan. Disaat nekat, cinta sudah terlanjur telat, Zahra akan dikhitbah orang.
Air mata dan lambaian tangan sang Abi dan Ummi menjadi potret kenangan di masa depan. Perlahan mobil melaju, dua sosok malaikat itu perlahan lenyap dari pandangan mata. Hanya cinta dan doa yang ia bawa serta.
Di airport, di jejeran kursi tunggu Umar duduk di tengah-tengah diantara sepuluh orang bergamis yang juga mendapatkan beasiswa yang sama. Kebanyakan mereka terlihat sumringah, hanya Umar yang terlihat murung, namun ia berusaha menyesuaikan diri. Orang-orang berlalu lalang dan memperhatikan sepuluh pria bergamis berwajah teduh yang terlihat asing itu. Namun mereka asik dengan obrolan ringan dan saling mendalami satu sama lain.
Tiba-tiba hanphone Umar berbunyi, ia meminta izin ke teman-temannya untuk membuka pesan tersebut. Ternyata dari Anggun lagi. Hampir saja Umar menutup hanphonennya, tapi dari konten pesan tersebut tertulis, "Aku Zahra."
"Zahra!" Cepat-cepat Umar membuka pesan itu.
"Aku Zahra! Ternyata cinta tak bergetar, tidak ada yang tahu soal perasaan ini selama lima tahun. Maafkan, aku terlalu lancang bergurau dan menangis dengan namamu dalam buku diaryku. Cinta ini antara aku Allah, dan buku diaryku saja. Aku tidak sedang mencoba menghentikan semuanya, aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku pernah memiliki cinta yang besar. Aku mencintaimu karena Allah duhai kekasihku. :("
Tubuh Umar gemetar oleh senggukan tangis yang tak dapat ia tahan. Ia tak tahu harus bahagiakah atau bagaimana?
Ternyata gadis yang selama ini sering mengirimkan pesan itu adalah Zahra. Siapa tahu dua hati ternyata saling mengadu pada Sang Pemilik cinta? Siapa sangka diam-diam mereka telah merawat cinta yang sama? Memupuk menyiram sampai sesubur itu.
Orang-orang mulai riuh, terdengar pemberitahuan 20 menit lagi pesawat lepas landas.
Bersambung.....