Melihat saya kembali mengunggah foto diri bernuansa siluet sebagai foto profil, Tri menanggapi; katanya, “Tuan suka nian pada kegelapan.”
Saya bilang, “Ada banyak aib pada diriku yang harus kututupi agar orang-orang tidak bertambah dosanya lantaran membicarakan aib-aibku.”
“O, hmmm, mengerti. O-ya, itu di batu mana Tuan dipotret?” tanya Tri. Mungkin dia pura-pura lupa, atau benar-benar lupa. Tapi, sudahlah.
“Itu di batu di mana setiap orang yang berada di atasnya akan menjadi batu,” jawab saya.
“Semacam batu ajaib?”
“Jika hari-gini kamu masih percaya pada jenis keajaiban mitosis seperti itu, berarti masih ada nuansa kegelapan di alam pikiranmu.”
“O, sorry. Tetapi, Tuan, kalau bukan jenis batu ajaib, batu apa juga yang bisa bikin orang ikut jadi batu saat berada di atasnya?”
“Batu cincin.”
“Apa maksud Tuan?”
“Manakala kamu percaya bahwa ada jenis batu yang mengandung kekuatan gaib tertentu—dan, lalu kamu mengasahnya sebagai batu cincin—serta, kemudian kamu memakainya di jarimu dengan penuh keberimanan—maka, saat itu, sebagai manusia kamu telah berubah menjadi manusia berkepala batu.”
“Bagaimana dengan batu Hajar Aswad, Tuan?”
“Yang ‘dikeramatkan’ pada Hajar Aswad adalah nilai sejarahnya; bukan kekuatan ajaibnya—yang memang tidak ada.”
“Tapi, Tuan, banyak orang yang setelah berhasil mencium Hajar Aswad merasa dirasuki suatu sensasi spiritual tertentu.”
“Jika kamu percaya bahwa Hajar Aswad adalah batu ajaib serta dapat memberi keberkatan, maka kamulah yang ajaib; bukan Hajar Aswadnya. Seperti analogi berikut ini: jika kamu percaya bahwa sebuah patung patut disembah, maka dengan sendirinya menyembah patung itu akan memberimu suatu sensasi spiritual tertentu. Di sini sesungguhnya bukan patung itu yang memiliki kekuatan tertentu, tapi kepercayaanmu, yakni kekuatan imanmu pada patung tersebut. Di sini bermakna, betapa kekuatan iman manusia itu memang ajaib. Jadi, yang ajaib itu iman manusia; bukan patung atau batu yang disembahnya.”
“Berarti, kita tetap akan merasa diri sebagai hamba yang tawaqal meski ketauhidan kita adalah beriman pada tuhan patung?”
“Sebentar dulu. Kamu keliru memahami orang-orang yang ‘menyembah’ patung. Mereka sesunguhnya tahu bahwa patung itu bukan Tuhan, tapi hanya sebagai perantara dalam ritual kepada Tuhan Yang Sesungguhnya.”
“Jika ternyata ada orang yang menganggap patung yang disembah itu sebagai Tuhan, itu bagaimana?”
“Merekalah yang cocok disebut sebagai penyuka kegelapan. Bukan saya—yang seperti dalam pernyataanmu tadi.”
“Tuan tersinggung rupanya?”
“Jika yang kamu maksudkan saya sebagai penyuka kegelapan yang sejenis dengan kegelapan intuisi para penyembah patung, ya, tersinggung dong.”
“Tapi tentu Tuan tahu bukan jenis kegelapan yang begituan yang tersirat dalam kata-kata saya tadi.”
“Ya, saya tahu.”
“Lalu, kenapa pula Tuan memainkan retorika bolak-balik begitu?”
“Agar kegelapan dalam dialog kita tidak melulu hitam; tapi ada sedikit warna-warni.”
“Tuan orangnya penuh omong kosong.”
“Dan kamu selalu terhibur dengannya—kenapa tak kamu syukuri saja. Ternyata kamu masih belum bisa membuat terang dan iklas seluruh pikiran, rasa, dan sistem opinimu.”
“Oya, ngomong-ngomong, siapa yang memotret Tuan saat sedang di atas batu itu?”
“Tapi, kamu, kan?”
“Ooo, ya-ya-ya. Sorry—sampai lupa,” kata tripod itu sambil sedikit menggerakkan kaki ketiganya seperti gaya manusia menepuk jidat.!
Musmarwan Abdullah....