Catatan Gam Kribo: KETIKA LEBAINYA KAU, AKU DAN DIA (1)

in cerita •  7 years ago  (edited)

Lebai (s): Berlebih-lebihan. Bersikap berlebih-lebihan terhadap suatu masalah atau peristiwa. Berasal dari kata lebih yang dirubah cara membacanya dengan mengikuti cara membaca dalam bahasa Inggris pada huruf (i), Leb-ai-h – lebaih – lebai.  (anonimous/google.com)

"Apa yang kau tulis?" tanyaku sambil memijat pundak si gondrong kribo ala Ahmad Albar dari belakang. Sekilas dari layar laptopnya, terlihat status galau.  

"Jangan kau intip, aku sedang palak ni..., hilang mood aku pulak nanti", balasnya sambil menggoyang pundak. "Kau lihat status dia... bikin aku naik darah...", tunjuknya ke arah benda baru yang sekarang menemaninya kemana-mana. 

"Nggak ah, tadi kau bilang jangan. Sekarang suruh lihat", balasku dan duduk dibangku sampingnya. Kucomot pulut kuning, sambil mengunyah, aku menasihatinya, "Buat apa ribut di medsos. Mau satu dunia tahu?".  "Ini udah keterlaluan. Apa dia tidak mikir, siapa saja di pertemanan kami?. Memangnya dunia akan kasihan dengan kandasnya kisah kami? Coba kau pikir...!", cerocosnya membuat air liur muncrat kemana-mana. Sambil bersungut-sungut ia menambahkan, "Kalau menurut dia aku kurang baik, its oke. Aku masih bisa jawab aku kurang baik. Tapi...", ia diam dan menghela napas.  

Melihatnya terpakur gagu, aku tidak bertanya. Tanganku teracung memberi kode kopi sikhan kearah pelayan. Ku comot rokok si Gam Kribo yang tergeletak nganggur diatas meja. Setelah sekali isapan dalam, barulah bersuara. “Setiap orang butuh alasan untuk membenarkan dirinya. Mungkin ia ingin menyampaikan pesan itu secara halus..”. “Apa kau pikir aku salah? Kau sehari-hari tau aku bagaimana. Iya, aku nggak begitu banyak belajar agama. Tapi… bukan serta merta begini caranya. Kalau dia mau cari yang bisa membimbingnya secara agama…coba kau tunjuk. Laki-laki mana?”, gemeretak suara gerahamnya ketika kata terakhir ia lontarkan. 

Aku terdiam mendengar semprotannya. “Nasehat yang salah ya wak Gam? Bakar dulu rokok. Biar tenang…”, jawabku serba salah. Untung kopi sampai, langsung aku menyeruputnya sambil memutar otak. “Mungkin, itu hanya sebatas harapan…”, ujarku pelan. “Maksudku, dia.. bagaimana ya…? Aku bukan perempuan. Jadi aku tidak bisa menggambarkan perasaannya…”, tambahku sambil memasang wajah konyol.  

“Kalau kau perempuan, dah kukawinin kau dari dulu…”, wajahnya mulai terlihat melembut. “Jika memang akhirnya ia ingin yang jauh lebih baik, tidak perlu di status medsos. Laki-laki baik itu tidak bermain medsos. Laki-laki baik itu di luar sana. Di dunia nyata. Ini, medsos hanya sebatas… bagaimana cara aku ungkapkan…”, ada jeda sejenak dengan mulut terbuka. 

Terlihat jelek, pikirku. Benar-benar jelek si keriting hitam ini. Ia kembali bersuara setelah menghisap rokoknya dalam-dalam. “Medsos itu ibarat barang kawe. Terlihat bagus, penuh pesona. Tapi di dunia nyata? Bah taik kucing semua. Bau berserak-serak rata sudut. Kau paham maksudku?”, tanyanya sambil menatap wajahku lekat-lekat. Aku mengangguk, setuju.  (bersambung)

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!