Untuk kalian yang mengira bahwa polisi bekerja asal-asalan, sebaiknya kalian mengikuti salah satu kasus paling pelik dalam sejarah hukum dan pengadilan.
Di kantor polisi, hal pertama yang kami lakukan adalah memanggil para ahli. Begitulah menurut buku petunjuk.
Si psikolog berkata, "Uji kasus. Sungguh luar biasa. Belum pernah terjadi sebelumnya.”.
"Mengerikan," adalah kata dokter gigi. "Kelalaian yang paling mengerikan.”
Dokter sependapat dengan dokter gigi.
Bos saya, Dr. Grimm, menjadikan kasus ini sebagai tanggung jawabku.
"Bharada Nina punya tisu basah, dan dia tidak punya rasa jijik." Dia mengedipkan sebelah mata padaku, rona wajahnya mendekati warna hijau muntah.
Dr. Grimm jenis manusia penunggu meja, bukan orang yang sudi turun langsung ke lapangan. Dia benci tangannya kotor.
"Itu tugasnya kamu, Baradha Nina."
Yang dia maksud, "Pekerjaan yang kotor-kotor adalah tugas polwan," tapi dia takut dituntut melakukan pelecehan..
Kasus ini? Mungkin mimpi terburuknya.
"
Ayo, anak-anak," aku membujuk. "Berhentilah mengigit tembok. Kalian bisa makan singkong goreng sambil menonton Ipin dan Upin,"
Kedua bocah itu, laki-laki dan perempuan, menjerit-jerit sendiri. Berlari-lari dari dindig ke dinding, masuk ke bawah atau naik ke atas meja, berguling-guling, menggaruk punggung dan menarik rambut, menggigit borgol pada pergelangan tangan mereka yang kusam.
"Disfungsi sosial," kata psikolog. "Kurangnya didikan orang tua, isolasi dari norma pembentuk perilaku -"
"Busuk sampai ke gusi," dokter gigi menggelengkan kepalanya. "kerusakan gigi terburuk yang pernah saya lihat."
"Mereka menggigit Dr. Grimm di pantat," kataku sambil memperhatikan tingkah anak-anak itu melalui jendela kaca di pintu. "Bajingan kecil."
"Inilah yang terjadi saat masyarakat rusak." Psikolog itu membuat catatan dengan lincah, menggoreskan stylus di padnya.
"Mereka menunjukkan pola perilaku yang liar."
"Mereka kencing di lantai."
Aku berteriak: "Tolong ambilkan ember dan kain pel!"
"Anda bilang mereka menggigit bos Anda?" Dokter gigi itu tampak ragu.
"Tembus ke tulang."
"Ini karena gula," kata dokter. "Aku belum pernah melihat hal seperti ini. Bukan tentang berapa kadar gula dalam darah, tapi lebih kepada berapa banyak darah dalam gula. Aku tak heran jika ngompol ini disebabkan oleh diabetes."
"Mereka memakan sebuah rumah," kataku merujuk catatanku. "Lantai, atap, dinding, dan masih banyak lagi."
"Bukan rumah, tapi pondok," psikolog itu mengoreksi. Saya rasa penting menyatakan perbedaan itu. Rumah menyiratkan bangunan permanen, struktur. Kalau yang ini lebih pantas disebut gubuk di hutan."
"Mereka makan genteng?" dokter gigi bertanya takjub..
"Atapnya terbuat dari roti jahe dan kerang beku."
Aku menggambar garis bergelombang dengan penaku. "Permen akar manis sebagai batu bata, gula tarik cair sebagai semen. Tidak heran mereka sedikit mabuk."
Di dalam ruangan, anak-anak sedang merayap dalam kekacauan yang mereka buat, terbatuk-batuk, menghantam dinding dengan tinju mereka.
"Ada sesuatu yang lain dalam darah." Dokter itu terdengar tidak nyaman. "Protein. Agak banyak itu. Dan kadar kalsiumnya di luar garis."
Dari tulang belulang, pikirku.
Aku tidak akan mengatakannya di depan para ahli, terutama kepada psikologyang sombong itu.
Mereka menemukan kerangka yang tinggal setengah di dalam belanga besar di di dapur pondok.
Perempuan. Tua. Anak-anak itu telah memasak dan memakannya, begitulah yang diketahui oleh forensik.
Wanita apa yang mengunci anak-anak kecil di rumahnya? Pasti seorang penyihir.
Aku merasa kasihan terhadap bocah-bocah itu. Dan lagi, mereka telah menggigit pantat bosku.
Aku tersenyum pada mereka melalui jendela kaca.
" Begitu kadar gula mereka kembali normal, kita bisa bertanya pada mereka. Sejauh ini informasi yang baru mereka berikan adalah nama mereka.”
"Oh ya? Siapa?” tanya dokter gigi.
"Hansel dan Gretel."
Banda Aceh, 20 Januari 2018
menggigit tembok?
hehehe
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit