Deritaku Di Tanah Emirat
Part 6
"Madam Dannah?!"
Aku melihat perempuan itu keluar dari taksi lalu menghampiriku yang masih bergeming di ambang pintu, tingkahnya menunjukkan kalau dia sedang terburu-buru.
"Hana, wen Babah? (Hana, mana Babah?)" tanyanya, seketika aku limbung bahkan gelagapan karena merasa bingung harus memberikan jawaban seperti apa.
Tanpa menunggu aku menjawab pertanyaannya, dia segera menuju lantai dua setelah melihat tanganku yang menunjuk ke arah atas. Aku tersenyum miring, ada sedikit harapan tumbuh dalam hatiku. Semoga saja perempuan itu melihat dengan mata kepalanya sendiri, pengkhianatan yang dilakukan oleh ibu dan suaminya.
Setengah berlari menyusul majikan perempuanku itu, bersenandung kecil menyuarakan rasa gembira dalam hatiku. Sebentar lagi pasti ada drama yang sangat sayang kalau dilewatkan.
"Umi," seru Madam Dannah seraya membuka pintu kamar yang ditempati oleh ibunya tersebut.
Aku mengintip ke dalam kamar yang tampak tenang itu, wanita tua terlihat sedang tertidur di atas ranjang. Suasananya sangat jauh berbeda dengan beberapa waktu lalu sebelum Madam Dannah datang, kenapa mereka bisa secepat itu merubah segalanya. Sial.
"Hana, ta'ali. (Hana, kesini)." Madam Dannah memanggilku.
Aku mendekat ke arah kedua wanita yang sedang duduk di atas ranjang itu, tatapan Madam Dannah seketika berubah. Begitu nyalang bak serigala yang siap menerkam mangsa, entah apa yang mereka bicarakan sampe Madam Dannah terlihat amat marah.
"Les mapi isma kalam, Mam?! (Kenapa kamu tidak mendengar perkataan, Mama?!" tanyanya seraya melayangkan satu tamparan ke pipiku.
Seketika rasa panas menjalar ke seluruh tubuh, seperti biasa Madam Dannah tidak akan pernah memberiku waktu untuk menjelaskan perihal apa yang dia dengar. Tidak cukup sampai di situ, perempuan berhidung mancung itu kembali menjambak rambutku lalu menyeret tubuh kurusku menuju kamar mandi.
"Ana ikreha Idza inti sawi harekat! (Aku benci ketika kamu bertingkah!)" hardiknya, lalu menenggelamkan wajahku ke dalam mesin cuci yang sedang menggiling pakaian.
Napasku tersedat akibat air yang masuk melalui hidung, hampir saja aku kehilangan nyawa terakibat kehabisan oksigen sebelum akhirnya dia mengangkat wajahku memberi sedikit waktu untuk bisa menghirup udara. Setelahnya dia mengulang lagi aksinya, sampai akhirnya aku terkulai lemas.
"Mara tani, isma kalam Mama. Pahma?! (Lain kali dengerin semua perkataan, Mama. Mengerti?!)" Setelah dia merasa puas menyiksa, dia membiarkan tubuhku tergeletak di kamar mandi.
Samar-samar aku mendengar percakapan antara anak dan ibu itu, ternyata wanita tua itu mengatakan sesuatu yang tidak pernah kulakukan. Bahkan dia juga dengan tega, mengarang cerita demi membuat Madam Dannah merasa geram terhadapku. Allah, harus seperih inikah jalan hidupku?
Tidak berselang lama aku mendengar Madam Dannah kembali berpamitan, setelah mengatakan kalau ada beberapa dokumen yang tertinggal. Wanita berusia 35 tahun itu pun pergi terburu-buru, dengan alasan dia mengkhawatirkan anak-anaknya yang dititipkan pada teman dia di Bandara.
Aku berusaha bangkit guna mengganti pakaianku yang basah kuyup, tidak kupedulikan lagi rasa sakit ini. Namun, di depan pintu sudah berdiri sosok laki-laki yang sejak tadi tidak kuketahui keberadaanya.
"Hana, inti mi'ha? (Hana, kamu baik-baik saja?)" tanyanya.
Aku melengos tanpa ingin menjawab pertanyaan dari manusia keji seperti mereka, namun seketika tanganku dipegang olehnya. Aku berontak melepaskan genggaman tangannya, tidak ingin ada lagi penyiksaan yang harus kuterima akibat ulahnya.
"Terkini, lohsamahti. (Biarkan aku, mohon)." Aku berjalan melewatinya, meski dia masih berusaha menghalangi jalanku.
"Ana asif, Hana. (Aku minta maaf, Hana)," ucapnya, aku melirik sekilas ke arah laki-laki yang masih mengenakan celana pendek tanpa atasan itu. Pandangannya terlihat sayu, tidak ada netra mengerikan yang selama ini aku dapat. Namun, aku tidak bodoh dan tidak akan tertipu dengan jebakannya.
Tanpa ingin terlibat dalam perbincangan lebih, aku memutuskan untuk segera keluar dari kamar ini. Kembali langkahku dihadang ketika sampai pada pintu utama, wanita tua dengan pakaian seksinya menatap sinis ke arahku.
"La sawi harekat gedam, Saleem. Pahma?! (Jangan bertingkah di depan, Saleem. Mengerti?!" ancamnya.
Di dalam kamar dengan suhu udara yang teramat dingin, aku merebahkan diri di atas kasur tipis. Cuaca ektrem hampir saja membuat tubuh ini membeku, kedua majikanku akan melepas mesin penghangat ruangan di dalam kamar ketika anak-anak sedang tidak berada di rumah.
Aku menggigil menahan hawa dingin yang teramat, memeluk kedua lutut dengan balutan selimut tipis tidak lantas membuat suhu tubuhku menghangat.
"Apa kamu yakin mau berangkat, Han?" Ingatanku kembali memutar kejadian di masa lalu, tangan Ibu menghentikan aksiku yang sedang mengemas pakaian ke dalam ransel.
"Hana yakin, Bu. Doakan saja agar semuanya berjalan dengan baik, sampai Hana kembali ke rumah." Aku mencium punggung tangan yang sudah banyak keriputnya itu, demi meyakinkan keraguan Ibu.
"Pikirkan sekali lagi, Han. Kalau kamu ragu, ibu bisa membujuk kakak kamu agar membatalkan keberangkatanmu," ucap Ibu, netranya tampak mengembun.
"Sudah Hana bilang, kalau Hana yakin ingin berangkat, Bu. Ini juga demi kebaikan keluarga kita, agar hutang almarhum Bapak bisa kita lunasi juga." Aku berusaha meruntuhkan segala rasa ragu yang masih saja bersemayam dalam dada ibu.
Mengingat kepergian Bapak yang meninggalkan banyak hutang, membuatku tidak memiliki pilihan. Apalagi aku adalah penyebab dari kematian Bapak, maka kewajibanku membayar semua beban dunia agar dia tenang di sisi-Nya.
Setelah mendapat restu dan izin dari Ibu, aku dan Teh Yani berangkat menuju rumah salah satu sponsor yang memberangkatkan tenaga kerja ke luar negeri. Entah berapa lama waktu yang kami tempuh, sehingga mobil yang disewa oleh Teh Yani sudah terparkir di halaman sebuah rumah mewah bercat merah muda.
"Silakan masuk," titah perempuan paruh baya dengan setelan pakaian jaman dulu.
"Dia pembantu di rumah ini," ujar Teh Yani seolah-olah mengerti dengan kebingunganku.
Aku dan Teh Yani duduk di ruang tamu, aku sangat terpesona dengan keindahan ruangan ini. Banyak hiasan mewah yang tertata rapih di lemari kaca, bingkai poto raksasa pun terpajang indah di dinding. Seorang pria berkumis tipis tengah duduk di kursi mewah, dengan ditemani perempuan dengan tubuh sedikit gemuk berdiri di sampingnya. Keduanya tampak serasi, mengenakan pakaian adat Sunda.
"Maaf tadi saya sedang ada kerjaan dulu, jadi telat menyapa tamu," sapa seorang perempuan dengan penampilan bak kaum sosialita.
"Tidak apa-apa, Teh. Lagian kami juga baru sampai," jawab Teh Yani, lalu keduanya saling bersalaman.
"Ini yang mau berangkatnya?" tanyanya setelah menyalamiku.
"Iya, Teh. Ini adik saya, dari pada kerja di kota dengan gajih kecil, lebih baik dia ke Arab yang gajihnya gede." Teh Yani terlihat antusias menjelaskan perihal niatku.
"Cantik sekali adikmu ini, Yan. Bapak pasti tertarik," kata wanita bernama Yulia itu, dia tersenyum ke arahku.
"Tentu saja, kalau Bapak tertarik bukan salah Hana dong," celetuk Teh Yani, lalu keduanya tertawa.
Sementara aku memilih untuk diam, tidak tertarik ikut menimbrung obrolan kedua wanita yang katanya dulu satu sekolah itu. Beberapa kali Teh Yulia memuji kecantikanku, memang sejak kecil aku sudah mendapat julukan kembang desa dari warga kampung. Katanya karena wajahku yang bulat dengan hidung bangir dan bibir mungil kemerah-merahan, pun dengan mata bulat disertai bulu yang lentik.
"Asalamualaikum." Terdengar suara laki-laki mengucapkan salam, aku dan Teh Yani beserta Teh Yulia menjawab serempak.
Laki-laki dengan usia kisaran kepala empat berdiri di depan kami, penampilannya masih terlihat gagah.
"Ini Bapak," ucap Teh Yulia.
"Saya Yani, dan ini adik saya Hana." Dengan senyum mengembang Teh Yani memperkenalkan diri pun denganku.
"Saya, Wahyu. Biasa dipanggil Pak Ustad," kelakarnya.
Setelah beberapa saat kami berbincang dan mengisi formulir keberangkatanku, akhirnya Teh Yani pamit hendak pulang.
"Ini untuk jajan kamu," ujar Pak Wahyu seraya menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah.
"Terimakasih, Ustad," jawab Teh Yani gembira.
Teh Yani pulang begitu saja tanpa memberiku bekal, aku hendak menyusul kakakku keluar namun laki-laki itu mencegah.
"Kamu tidak perlu cemas, semuanya saya yang akan menanggung," katanya, seolah-olah dia tahu hal yang membuatku resah karena tidak memegang sepeser pun uang.
Aku mengangguk lalu kembali duduk, kemudian laki-laki itu memanggil Teh Yulia dan berkata.
"Siapkan kamar," titahnya, kulihat dia mengedipkan sebelah matanya lalu melirik ke arahku dengan tatapan liar pun dengan tangannya yang meraba paha."Dia terlalu istimewa untukku."
Bersambung
Perjuangan seorang gadis berusia 23 tahun bernama Hana, yang terpaksa harus pergi merantau ke neger...