Deritaku Di Tanah Emirat

in cerpen •  8 months ago 

Deritaku Di Tanah Emirat

Part 5

"Sssttt, Jamilah. (Sssttt, Cantik)."

Aku terperanjat ketika mendapati sosok laki-laki dengan perangai menjijikkan itu, sekuat tenaga aku menghindar darinya. Meskipun aku tahu tekad majikan laki-laki itu tak pernah surut, perlawanan yang kulakukan tak membuatnya menyerah.

"Yalah, bas degiga.(Ayolah, cuma sebentar)." Senyumnya menyeringai memancarkan nafsu yang sudah menggebu.

Aku menelan saliva kuat, tubuh sudah dibanjiri peluh. Harapan seolah-olah sirna akibat langkah harus berhenti karena pintu dapur tak bisa kubuka, jantungku kian berdebar ketika sepasang tangan telah memeluk pinggang dari belakang.

Cengkraman tangannya semakin erat, aku terus berusaha untuk bisa lolos dari jeratannya. Bisa kurasakan deru napasnya yang semakin memburu, tenagaku tidak sebanding dengan laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Tangannya mulai meraba ke bagian dada, aku menyilangkan kedua tanganku demi menjaga kehormatan.

Tubuhku dihimpit olehnya di antara pintu, hijab yang menutup kepala sudah hilang entah kemana. Air mata tak henti mengalir, dengan liar majikan laki-laki mulai menciumi leherku. Namun, pandanganku melirik ke sudut pintu. Tampak bayangan seseorang sedang menyaksikan aksi Babah Saleem.

"Wallah, ba'id a'ni! (Demi Allah, menjauhlah dariku!)" Aku terus saja berusaha untuk bisa melepaskan diri dari manusia menjijikkan itu, meski nyatanya kekuatan yang kumiliki tak mampu menandinginya.

Aku menjerit ketika dia berhasil merobek baju yang kupakai, tatapannya semakin beringas bak hewan buas kelaparan. Direngkuhnya tubuhku dengan paksa, tangannya mulai menggerayangi bagian dada. Napasnya semakin liar pun dengan bibirnya yang tak melewatkan satu inci pun dari leher dan wajahku.

Allah bantu aku!

"Hana!" panggil seseorang.

Seketika aksinya Babah Saleem berhenti, lalu beranjak pergi membiarkanku begitu saja. Tubuhku seperti kehilangan tenaga, aku meraung menangisi nasib buruk yang kerap menimpaku.


"Hana, liyom ana wa kulu eyali bi ruh London. Mumkin talata liyom, inti hina pil bet sawa-sawa Babah wa Mama Kebir. La sawi muskilah! (Hana, hari ini saya dan semua anak-anak akan pergi ke London. Kamu di rumah bersama Babah dan Nyonya Besar. Ingat jangan bikin masalah!)" ucap Madam Dannah, aku mengangguk ragu.

Setelah selesai membantunya menyiapkan segala keperluan, aku diberi waktu untuk istirahat selama satu jam. Satu piring nasi tanpa lauk tersaji di depan kasur tipis milikku, jatah makan hari ini. Aku meraih piring berisi nasi dingin itu, melahapnya perlahan. Meski berulang kali mulut menolak asupan tersebut, aku tetap berusaha mengisi perut demi menyambung nyawa.

Netraku menghangat lalu mengalirkan anak sungai di pipi, dadaku terasa kian nyeri. Sampai kapan kepedihan ini harus kujalani, Tuhan?

"Bapak, jahat!" Aku merutuk sosok laki-laki yang harusnya tidak pergi secepat ini. Beban yang biasanya dipikul oleh sosok Ayah, kini telah berpindah pada bahu anak bungsunya.

"Hana, kuat." Tiba-tiba saja aku mendengar suara tanpa bayangan, aku mengenal pemilik suara itu.

"Bapak," panggilku, mengedarkan pandangan guna mencari sosok yang teramat kurindukan itu.

Tangisku semakin menjadi, kala tak kutemukan sosok Bapak. Aku memang sudah gila, berharap pada orang yang telah mati. Dering ponsel membuatku sadar lalu meraihnya dari bawah bantal.

"Halo," sapaku ketika panggilan sudah tersambung.

"Hana, ini aku Winda," jawab keponakanku.

"Iya, Win. Apakabar kalian?" tanyaku basa-basi, berharap pertanyaan yang sama bisa kudengar darinya.

"Kami baik-baik saja, Han. Tapi aku butuh uang, soalnya Minggu depan aku mau ke Bali untuk berbulan madu." Winda berbicara dengan begitu enteng, dia pikir aku ini mesin pencetak uang. Sial.

"Tapi aku belum gajihan, Win," ujarku, malas sekali rasanya meladeni anak yang memiliki sipat menyerupai ibunya itu.

"Tapi Hana, kata Ibuku kalau kamu nggak ngirim uang, maka pengobatan Nenek akan ditunda!" Aku tertegun mendengar penuturan Winda, seketika amarah menyelimuti dada.

"Kamu pikir aku di sini mencetak uang hah?!" bentakku pada keponakanku itu, sudah tidak bisa lagi aku menahan semua perlakuan keji mereka. "Tidakkah kamu tahu keadaan aku sekarang, bagaimana?!"

"Sayang, hayo aku sudah tidak tahan." Hampir saja jantungku kehilangan kendali untuk berdetak, bagaikan ribuan anak panah tertancap sempurna di hati ini. Hancur, ketika laki-laki yang namanya masih tertulis rapih dalam dada kini telah menorehkan luka yang teramat dalam.

"Sabar dong, Sayang." Winda terdengar sangat manja, tanpa mereka sadari ada hati yang terluka karena penghianatannya.

Tanpa menutup sambungan telpon, keduanya seolah-olah sengaja membiarkan aku mendengar lenguhan mesra dari keduanya. Tubuhku memanas dibakar cemburu pun dengan jiwaku yang telah hancur, aku menekan tombol merah pada telpon lalu mematikan ponselku.

"Hana!" Aku mendengar si Nyonya Besar memanggil, dengan tergesa aku menghampirinya.

"Na'am, Mama. (Iya, Mama)," jawabku.

"Ta'ali, (Ke sini)," titahnya. Lalu wanita paruh baya itu menepuk-nepuk tangannya ke kasur, dia menyuruhku untuk duduk di sampingnya.

Dia tengah berbaring di atas ranjang mewahnya, hanya mengenakan pakaian dalam saja. Memamerkan lekukan tubuhnya yang gempal, lalu tanganku mulai memijit lengannya setelah mendapat titahnya.

Tengkukku terasa merinding, ketika perlahan dia memintaku untuk memijit bagian pahanya.

"Hana, sawi hina. (Hana, lakukan di sini)." Aku melotot tak percaya, ketika tangannya menunjuk pada bagian intimnya.

"La, Mama. Ana mapi ma'lu_ (Tidak, Mama. Aku tidak tahu car_)." Dengan kasar wanita tua itu mencengkram erat lenganku lalu mengarahkannya pada bagian kewanitaannya tersebut.

"Yalah, Hana. Sawi ahhh, (Ayolah, Hana. Lakukan ahhh)," lenguhnya.

Aku berusaha menelan saliva yang terasa pahit di tenggorokan, sesuatu yang mengerikan tengah kujalani kembali. Allah.

"Hana, ana bas hebi sey itla min hina. (Hana, aku cuma ingin mengeluarkan sesuatu dari sini)," racaunya, aku berusaha untuk menjauhkan tanganku. Namun dia mengcengkramnya terlalu kuat, aku bergidik ngeri ketika wanita tua itu membuka kedua kakinya.

Pemandangan yang begitu menjijikkan, aku tidak percaya ternyata di Negera yang kental dengan agama Islam masih ada manusia dengan otak dangkal. Suara ketukan pintu membuat wanita tua itu seketika menghentikan aksinya, lalu menyuruhku untuk keluar. Saat aku membuka pintu, ternyata Babah Saleem sudah berdiri.

"Halas ruh! (Sudah sana pergi!)" Aku segera beranjak meninggalkan mereka.

Aku melirik ke arah pintu yang sudah ditutup, apa yang akan mereka lakukan berduaan di dalam kamar? Ahh, apa urusanku harus memikirkan mereka. Namun, langkahku terhenti ketika mendengar suara aneh dari dalam kamar tersebut. Bahkan semakin lama suara itu semakin nyaring bersahutan, layaknya sepasang kekasih yang sedang memadu kasih.

"Aahhh, aiwa kida Salemm. Sawi alatul,(Aahhh, terus begitu Salemm. Lakukan terus)." Aku bergidik lalu segera turun ke lantai bawah.

"Hana!" Aku terperanjat ketika mendengar seseorang memanggilku dari luar, mobil taksi berhenti tepat di halaman.

"Madam Dannah?!"

Bersambung

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!