karya: Nizam Al-Kahfi PKB
Tetanggaku orang kaya. Bayang-bayang rumahnya melindungi rumahku sebagian siang ke sore. Area rumahnya dikelilingi tembok batu pagar besi yang sederhana tingginya. Sering aku terlihat babu yang gemuk bekerja di situ membuang makanan yang tampak masih utuh dan bagus. Tong sampah besar berwarna hitam diletakkan di dalam dekat pintu pagar.
Satu pagi, aku menyelinap dan menyelongkar mencari sesuatu di dalam tong sampah itu. Untung-untung ada 'sampah orang kaya' yang masih bisa dimanfaatkan. Asyik mengambil itu ini yang bagus-bagus, memasukkannya ke dalam kantong plastik - selain boneka perempuan yang tampak real, sendal dan sepatu, aku juga mendapatkan beberapa keping uang merah dan hijau. Bisa diketahui rahasia pribadi seseorang lewat tong sampahnya.
"Mau cari apa, Kang?"
Kaget. Aku melihat orang ini. Meski pakai celana pendek dan singlet, ia tetap tampak kaya. Orang kaya yang simple. Mungkin lagi santai. Tergagap-gagap aku meminta maaf lalu mengunjukkan uang yang kudapatkan tadi. Tiga ratus ribu. Bukan sedikit. Ia mengambilnya senyum-senyum.
"Marilah masuk ke rumah dulu," ia mengundang. "Tinggalkan sampah itu."
Ia berjalan perlahan. Aku melihat kakinya bertelanjang menginjak ubin tanpa bunyi. Ia terinjak beberapa ekor semut dan semut-semut itu tidak mati cuma sedikit linglung, padahal ia gemuk.
Bilik tamunya lebih besar daripada rumahku. Perabotnya tidak mungkin bisa kumiliki. Di sudut sebelah kanan ada meja panjang, sebuah komputer. Di atas meja itu ada gumpalan dan bundel uang tunai, sepertinya belum selesai dihitung. Ia menyuruh babu pembantu rumah menyediakan santapan.
"Kakang orang mana?"
"Saya tetangga."
Ia memandang babu pembantu rumah.
"Kok, Buk, aku punya tetangga? Mengapa aku tidak pernah tau?"
Ia menyangka rumahku pondok buruk terbiar tidak dihuni. Aku menanggapi ia sebenarnya orang baik-baik: merendah diri, sehingga terasa aku sama level. Cuma barangkali ia teralienasi oleh kekayaan yang berlebihan. Ia memberikan uang tiga ratus ribu yang kuperolehi pada babu pembantu.
"Buang aja Buk," katanya. "Sudah lusuh dan buruk. Bau kotor lagi."
Aku memandangnya: ingin meminta uang itu kembali. Lusuh, buruk, bau atau kotor, nilai uang tetap sama. Apa memang uang tidak berharga bagi orang kaya?
Babu pembantu kemudian membawa hidangan.
"Silahkan Kang," ia mempelawa. "Maaf yah, hidangannya simple. Aku juga belum breakfast."
Aku santap sepuas-puasnya. Hidangan seperti ini hanya bisa didapatkan dari restoran mahal bergengsi. Sebelum habis santap ia pamit.
"Panggilan alam yang gak bisa ditangguh," katanya senyum sipu-sipu.
Aku bersendirian di kamar tamu. Katakan apa yang kamu mau. Katakan aku orang jahat tidak tau diuntung. Aku bangun dengan gopoh mendekat meja panjang di sudut sebelah kanan, mengambil lima bundel uang tunai, menyembunyikannya di dalam baju dan celanaku yang longgar lagi baggy. Aku kembali menyantap hidangan. Sekejap kemudian ia masuk semula. Aku pamit. Kakiku seperti tidak sabar-sabar mau berangkat. Aku mengucapkan terima kasih. Ia menahanku.
"Sebentar Kang," katanya, mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Nah, ini tiga ratus ribu, sebagai ganti yang tadi. Ikhlas dariku."
Aku menolak dan ia tidak memaksa aku menerimanya. Buru-buru yang tertahan-tahan aku berjalan. Beberapa ekor semut mati kuinjak. Dari jauh aku terdengar ia menyuruh babu pembantu menyemprot semut-semut itu.
Tidak membuang masa, aku ke toko berbelanja. Beli baju, sepatu, celana - malah beli celana dalam padahal selama ini aku tidak pernah pakai celana dalam. Aku cuma membawa satu bundel uang tunai, selebihnya disembunyi di rumah. Tidak habis satu bundel itu aku belanjakan.
Esoknya saat keluar rumah untuk menyambung berbelanja, aku ditahan oleh dua polisi berseragam dan dua lagi berpakaian awam. Di tubuhku mereka menyita satu bundel uang baru dan baki uang kemaren. Di dalam rumah selebih uang yang aku curi ditemukan, disita sebagai barang bukti.
"Ini semua uangmu?" terasa pertanyaan itu konyol sekali. "Semua pernyataanmu akan dicatat sebagai bukti."
"Iya," aku menjawab.
Tidak masuk akal untukku menjawab bahwa uang itu aku curi dari tetangga yang kaya itu. Aku telah berharap yang ia tidak akan melaporkan hal ini. Berbanding kekayaanya, uang kuambil cuma debu. Aku mempelajari sesuatu yang baharu, bahwa orang kaya itu sangat berkira-kira dalam hal keuangan - sedikit atau banyak semua diperhitungkan. Tetanggaku itu tidak tampak bayangnya, pasti ia lagi sibuk menghitung-hitung uang.
Tanganku digari. Aku tidak banyak bicara, iyah, risiko pencuri ialah tertangkap. Aku telah membuat pilihan.
Di kantor polisi aku ditanya lagi: "Ini semua uangmu?"
"Iya," aku menjawab. "Memang uangku dari dulu, sekarang dan sampai bila-bila."
"Ini kasus apa, Mas?" tanya seorang polisi yang baru datang kepada yang menyoalku.
"Pengedaran uang palsu."
© cerita-secangkir-kopi-nak03032018
Sangat menarik crtanya bg :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Makasih sudah sudi baca.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit