Siklus

in cerpen •  7 years ago 

"Saphira!" Terdengar panggilan. Tapi sayang, suara wanita tua itu tertelan oleh keramaian.

Mereka berada di sebuah stasiun kereta api dimana para pedagang asongan, pengamen, dan para calon penumpang berbaur menjadi satu.

Wanita itu menyelipkan tubuh di antara orang-orang berkoper besar. Melongokkan wajahnya yang telah memucat demi menyadari gadis kecil yang dicarinya tidak ada di tempat semula.

"Shapira!" Teriaknya lagi.

Sementara di sebelah tiang besar stasiun tak begitu jauh dari wanita itu, terlihat seorang anak perempuan kecil berusia sekitar 6 tahun. Rambutnya yang diikat ekor kuda bergoyang ke sana sini seiring dengan celoteh yang keluar dari mulutnya. Asyik bercerita pada seorang pria tinggi berhidung mancung dengan rambut coklat kekuningan yang berjongkok di hadapannya.

"Shapira!" Akhirnya wanita itu menemukannya.

Gadis kecil itu menoleh, lalu tersenyum lebar ke arah sang nenek. Bermaksud mengenalkan neneknya pada pria di hadapannya, tapi saat ia kembali menoleh ke depan, dia hanya melihat punggung pria itu menjauh. Lalu menghilang di antara keramaian.

"Shapira!" Sang nenek segera meraih tubuh gadis kecil itu, merasakan kelegaan yang luar biasa karena akhirnya bisa menemukan cucu kesayangannya.

"Nenek!" Gadis kecil itu mendongak menatapnya.

"Dengar, jangan pergi terlalu jauh dari nenek! Nanti kamu hilang!" ucap wanita itu penuh kekhawatiran. Tapi kemudian mata tuanya sedikit terkejut melihat sesuatu di tangan Shapira.

Sebuah kalung dengan bandul batu shapire biru yang cantik.

"Itu ... dari mana?" Suaranya tercekat.

"Tadi ada yang bicara padaku. Dia memberiku kalung ini ..." jawab gadis itu polos.

Sang nenek mengambil kalung itu dari tangan Shapira. Mematung, dengan mata berkaca-kaca. "Ya Tuhan, ini kalung ibumu ..."

"Pantas saja, dia bilang dia ayahku!"

Lagi-lagi wanita itu terkejut. Matanya membelalak lebar. "Ayahmu?"

Gadis itu mengangguk yakin, "Dia bilang, takdir yang terhenti di waktu yang sama, akan mengacaukan energi listrik di sekitarnya."

Dahi wanita tua itu mengernyit. Tidak mengerti.

"Nenek, takdir itu apa?"

"Takdir itu hidup yang sudah digariskan Tuhan pada manusia ..."

"Lalu ... takdir yang terhenti di waktu yang sama itu apa?"

Wanita itu tak menjelaskan lebih banyak lagi. Hanya menatap nanar ke arah mana cucunya menunjukkan saat punggung pria itu menghilang.


   Shapira memandangi kalung berbandul batu Shapire biru yang tersimpan rapi dalam sebuah kotak beludru warna merah. Kalung yang tersimpan rapi selama belasan tahun. 

Hari ini gadis berwajah lembut itu genap berusia 17 tahun. Sang nenek mengizinkannya pergi mentraktir beberapa teman di kafe, dan juga mengizinkan memakai kalung ini meski agak keberatan.

Dia ingin Shapira menjaga kalung ini baik-baik, karena ini kalung peninggalan mendiang sang ibu. Sempat menghilang bersama sang ayah, lalu entah bagaimana seseorang yang mengaku sebagai ayahnya memberikan ini di stasiun waktu itu.

Neneknya bilang, mungkin sang ayah sudah memiliki kehidupan baru sekarang. Tapi, pria di stasiun itu mengatakan bahwa ayahnya tak pernah pergi.

Entahlah. Hingga saat ini, bagi Shapira kejadian itu adalah misteri. Sayangnya, dia tidak bisa mengingat dengan jelas bagaimana wajah pria itu.

Ponsel berdering.

"Ya?" Shapira menyahut sambil merapikan rambut yang dibiarkan terurai panjang.

"Kau udah siap? Kami sudah di jalan, mungkin sebentar lagi sampai!" Terdengar suara nyaring Deya, sahabatnya.

"Iya, jangan kelamaan ya?"

"Siap!"

Suara telepon diputus.

Gadis berwajah lembut itu segera memakai kalung berbandul batu shapire itu. Sejenak memantaskannya di depan cermin rias. Lalu tersenyum puas.

.

   "Wow, hadiah ulang tahun ya?" Mata Deya membesar, takjub melihat kalung yang melingkari leher Shapira.

Mereka berlima sudah berada di dalam sebuah kafe. Dengan iringan musik bernuansa lembut memenuhi ruangan. Sementara di meja tersaji beberapa gelas juice dan cake.

"Bukan hadiah ulang tahun sih, ini kalung peninggalan ibuku. Dulu, sempat hilang. Tapi kemudian, seseorang mengembalikan ini padaku."

"Seseorang yang mengaku sebagai ayahmu, dan kamu menceritakannya berulang-ulang," sahut Rare sambil menyeringai.

Shapira tertawa kecil. Menyadari betapa bersemangatnya dia setiap kali menceritakan tentang kejadian itu.

"Ya, karena sampai sekarang aku masih merasa aneh. Ada yang janggal sama orang itu. Jika dia memang ayahku, kenapa tidak pernah lagi datang menemuiku." Shapira menggumam. Melepaskan kait kalung itu, kemudian lagi-lagi menaruhnya digenggaman tangan. Membiarkan mereka ikut mengagumi keindahannya.

"Sudahlah. Yang penting kalung ini udah balik ke tangan yang seharusnya," hibur Franda, "gilaaa... cakep banget nih kalung, Sha!" Gadis bermata lebar mengelus permukaan batu shapire itu dengan penuh perasaan.

"Eh, Sha!" Tiba-tiba Pita berbisik, serius.

Shapira menoleh padanya.

"Ada yang memperhatikanmu dari tadi!" Dia memberitahu, "cowok keren banget."

"Mana?"

"Siapa?"

"Di meja mana?"

Gadis-gadis belia itu terlihat menoleh ke kiri dan kanan, sibuk ingin melihat pemuda yang dimaksud. Sementara Shapira hanya terdiam tanpa berniat ingin menoleh pada pemuda itu.

"Eh, dia ke sini!" Deya hampir terpekik.

Mereka terus berbisik-bisik. Sementara Shapira menyadari ada seseorang berjalan ke arahnya. Sedikit tegang, dia mulai merasa jantungnya berdebar.

Lalu ...

"Hei!" Gadis itu berseru kaget saat menyadari kalung di tangannya sudah berpindah tangan. Cepat, dia menoleh. Hanya dapat menatap punggung pemuda berkemeja biru tua yang langsung melangkah menjauh. Masih sempat ia melihat ada sebuah tindik kecil di telinga kiri pemuda itu. Sementara dari balik topi itu terlihat rambut berwarna coklat kekuningan.

"Kalungku!" Shapira berteriak mengejar.

Tapi saat tiba di pintu kafe, sosok itu sudah menghilang di antara keramaian para pejalan kaki.

Merasa lemas, hingga tanpa sadar gadis itu jatuh berlutut di depan pintu kafe. Lalu mulai menangis. Sementara teman-temannya berusaha menenangkan. Mereka berjanji akan membantu Shapira mencari kalung itu.

Tapi hingga bertahun-tahun kemudian, kalung itu tak pernah ditemukan.


    Seorang gadis berusia sekitar 24 tahun berparas lembut dengan rambut hitam lurus terurai panjang berdiri tepat di depan lift. 

Shapira.

Gadis itu menunggu pintu lift terbuka. Sementara suasana gedung tempatnya bekerja mulai terasa sepi. Hampir seluruh karyawan sudah pulang sejak jam 5 tadi, tapi karena dia mendapat banyak tugas dari sang bos, membuatnya harus pulang terlambat.

Pintu lift berdenting terbuka, dia melangkah masuk dengan tenang. Tapi saat pintu lift akan bergerak menutup, tiba-tiba sebuah lengan menahan geraknya.

Seorang pemuda. Bertubuh tinggi dengan iris mata coklat dan rambut kekuningan. Hanya mengenakan kemeja putih tanpa jas dengan dua kancing atas yang terbuka. Terlihat satu tindik kecil di telinga kirinya.

Mata gadis itu sedikit memicing. Belum pernah dia melihat sosok pemuda ini di kantor tempatnya bekerja. Mungkin karyawan baru? Tapi penampilan berantakan seperti ini tentu akan membuatnya didepak dengan segera. Lagipula siapa yang mau mempertaruhkan keberuntungan bekerja di Golden Corp hanya karena lupa menggunakan seragam normal layaknya seorang karyawan?

"Ehm," terdengar pemuda itu berdehem.

Shapira sedikit tergagap. Menyadari tatapan menyelidik yang ia sorotkan pada sang pemuda terpantul jelas dari dinding lift. Wajahnya merona merah, sadar ia baru saja tertangkap basah.

Sesaat mereka saling diam. Hening.

Tiba-tiba terdengar suara benda terbentur bersamaan dengan goncangan keras dan lampu lift yang berkedip. Mereka tersentak hingga menabrak dinding lift, hampir jatuh kalau saja pemuda di sebelahnya tidak menahan pinggangnya dengan satu lengan.

Mereka bertatapan. Wajah Shapira memucat, matanya membesar penuh pertanyaan. Menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan lift yang sedang mereka tumpangi.

Mereka terjebak!

Shapira merasa napasnya seketika sesak. Dia takut berada dalam ruangan sempit seperti ini. Wajahnya semakin memucat sementara dadanya berdebar keras.

"Tolong!" Dia mulai berteriak sambil menatap nanar ke arah kamera cctv di sudut atas lift.

"Tolong!!" Kali ini dia memukul-mukul pintu lift. Berharap ada petugas yang segera mengeluarkannya dari sana.

Napasnya semakin sesak. Kini dia merasa kedua lututnya mulai lemas. Air mulai menggumpal di sudut mata, kemudian menetes dan akhirnya semakin deras.

"To -"

Pemuda itu menyentuh lengannya. Membalikkan tubuh Shapira dengan lembut hingga menghadap ke arahnya. Lalu satu tangan menekan dinding lift di belakang tubuh gadis itu.

"Sstt ... tak ada gunanya berteriak. Mereka tidak akan mendengar suaramu," ucapnya. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang begitu tenang.

"A ... aku takut," Shapira setengah terisak. Ia menggigit bibir kuat-kuat. Bahkan kini jemarinya terasa gemetar hebat.

"Jangan takut, ini tak akan lama." Pemuda itu berucap tenang.

"Tapi ... aku takut ..."

"Dengar, aku bersamamu."

Shapira mendongak. Pemuda itu menatap lekat kedua matanya. Dalam, seperti ingin mengungkapkan sesuatu.

Baru saja gadis itu bertanya, saat lampu di dalam lift beberapa kali berkedip lagi. Terdengar suara besi berkeriut tepat di atas mereka. Menandakan ada yang rusak dan -mungkin- lift akan segera jatuh ke lantai dasar.

Ya Tuhan, Shapira mulai meracau. Berkali mengucapkan doa, sambil menyebut nama neneknya.

"Tolong!!" Akhirnya dia berteriak lagi.

"Namaku Aaron," ucap pemuda itu.

Shapira menoleh sekilas. Berkenalan? Dalam situasi seperti ini? Yang benar saja!

Lagi, Shapira memukul-mukul pintu lift. Merasa napasnya semakin sesak. Ia ingin keluar, ingin segera menghirup udara bebas. Tidak ingin berada di sini lebih lama lagi. Dia ingin keluar.

Sangat ingin keluar!

"Tolong! Tolong ...!!"

"Kamu tau, ada rahasia besar yang aku punya." Aaron berkata.

"Tolong!!"

"Aku ingin ..."

"Ya Tuhan, tolong! Siapapun cepat tolong aku!!" Gadis itu memukul-mukul pintu lift, frustasi.

"Aku ingin menikah denganmu."

Pukulan Shapira terhenti. Dia menoleh menatap pemuda di sampingnya, kaget.

"Namaku Aaron, dan aku ingin menikah denganmu." Kini dia mengulang lebih jelas.

"Bahkan aku tidak mengenalmu!"

"Katakan syarat tersulit yang kamu punya, dan aku akan mengabulkannya."

Shapira terdiam.

Lama.

Lalu mulai menyadari ada keseriusan di dalam tatapan lembut pemuda yang menggariskan senyum ke arahnya itu.

"Carikan kalung batu shapire biru milikku yang hilang bertahun-tahun yang lalu ..."


    Shapira membuka mata. 

Suara itu terdengar lagi.

Suara ketukan di kaca jendela kamarnya. Dahinya mengernyit, berusaha meyakinkan pendengarannya sendiri.

Tok-tok!

Benar. Dia tidak bermimpi! Ada seseorang di luar sana sedang mengetuk jendela kamar. Tidak mungkin itu pencuri, karena pencuri tidak akan repot-repot membangunkan tuan rumah saat dia beraksi.

Tok-tok!

"Shapira, aku tau kau sudah terbangun!" Terdengar bisik tertahan dari luar sana. Suara yang sangat ia kenal.

Aaron?

"Buka jendelanya. Aku membawakan sesuatu untukmu!"

Ragu, Shapira melangkah turun dari ranjang berseprei marun. Sejenak terdiam sebelum akhirnya memberanikan diri menyingkap jendela kamar.

Benar. Terlihat wajah Aaron di balik jendela kamarnya. Pemuda itu mengenakan jaket tebal berwarna hitam yang menutupi hampir seluruh tubuh. Sedikit menggigil menahan dingin karena berkeliaran di udara terbuka dalam suhu serendah ini.

Cepat, Shapira membuka pengait yang mengunci jendela kamar.

"Apa yang kau lakukan selarut ini di luar sana?" tanya Shapira sedikit khawatir. Khawatir akan kesehatan Aaron, juga khawatir jika sang nenek akan memergokinya.

"Aku datang untuk memberikan ini ..." ucap Aaron dengan gigi yang bergemeletuk menahan gigil. Lalu tangannya merogoh sesuatu dari balik saku celana jeans yang dikenakannya.

Mata Shapira membesar saat sesuatu berkilau tertarik keluar. Itu kalung berbandul batu shapire miliknya yang hilang bertahun-tahun yang lalu!

"Kau ..." bibir mungilnya tercekat. Lalu meraih kalung itu dengan cepat. Ya benar, ini memang kalungnya!

Mata gadis itu mulai berkaca-kaca, penuh haru. Dia ingat, betapa dia sangat sedih saat kehilangan kalung berbandul batu shapire itu. Bukan tentang harganya, tapi karena sejarah yang ada padanya.

"Bagaimana kau bisa menemukan ini?" tanya Shapira dengan tatapan tak percaya.

Aaron tersenyum tipis.

"Apa itu penting dari mana aku mendapatkannya?" Dia balik bertanya.

"Seseorang mencurinya dariku bertahun-tahun yang lalu ..." gumam Shapira.

Lalu tiba-tiba saja matanya memicing, menyadari sesuatu saat melihat Aaron membuka kancing jaket tebalnya. Terlihat kemeja biru tua yang sangat diingatnya.

"Berbalik," ucapnya.

"Apa?"

"Aku ingin kau berbalik!" Shapira sedikit mendesak.

Aaron berbalik membelakanginya.

Tubuh tinggi itu, rambut coklat kekuningan itu, kulit pucat yang sedikit bersinar saat terkena cahaya itu ...

Gadis berparas lembut itu menahan napas, menyadari bahwa dugaannya memang benar.

"Kau menyadari sesuatu?" Terdengar tawa kecil pemuda itu. Lalu kembali dia berbalik menghadap Shapira.

Shapira mengangguk.

"Sekarang aku tau, apa alasan kita terjebak dalam lift waktu itu."

Mereka bertatapan, lama.

"Aku sudah memenuhi syaratmu. Sekarang ..." pemuda itu meraih tangan Shapire dan membuka telapaknya, lalu meletakkan kotak beludru kecil berwarna merah di sana, "... menikahlah denganku."


   "Apa rasanya sakit sekali?" Berkali-kali Aaron mempertanyakan hal yang sama, dengan wajah pucat karena rasa takut dan gugup tiap kali menoleh ke samping, dimana Shapira, istrinya, terlihat meringis kesakitan sambil mengusap perut yang membuncit.

"Cepat ..." desis Shapira, menahan rasa sakit luar biasa yang mendesak perutnya.

"Tahan, Sayang. Sebentar lagi kita sampai!" Pria berlengan kokoh itu sedikit menaikkan gas. Menyalip beberapa kendaraan di depannya dengan hati-hati. Gugup, hingga keringat membasahi telapak tangannya yang mencengkeram setir.

Lagi, Shapira mengeluh. Kali ini dengan kaki yang menggeliat resah. Sedikit mengejang. Pasti rasanya sakit sekali.

Aaron kembali menaikkan gas, jauh lebih tinggi. Hingga mobilnya mengeluarkan suara dengungan keras.

"Sebentar, Sayang. Sebentar ..!" Dia terus berucap, sesekali menoleh ke arah sang istri yang semakin mengejang.

"Astaga!" Dia tersentak saat melihat darah mengalir keluar dari antara kaki Shapira membasahi lantai mobil. Sementara istrinya mengerang cukup keras.

"Shapira! Sayang, kau tidak apa-apa?!"

Tapi suaranya tenggelam dalam erang kesakitan. Panik, dia menyentuh lengan sang istri. Berusaha membuat istrinya tetap terjaga. Tapi ia terlupa, jika itu bisa memecah konsentrasinya.

Terdengar suara decit rem, lalu suara benturan keras memecah keheningan malam.

Mobil berguling deras ke dasar jurang setelah menghantam pembatas jalan.

.

    Dingin, gelap, dingin dengan kabut tipis menyelimuti. Di dasar jurang, tergeletak di atas rerumputan basah Shapira dalam dekapan suaminya. Dengan napas yang semakin melemah.

"Shapira ...!"

Suara itu terdengar samar, bersamaan dengan tubuhnya berguncang pelan.

"Shapira .. kumohon ..."

Suara itu berubah serak.

Wanita berparas lembut itu mengumpulkan segenap tenaganya untuk mengatakan sesuatu. Di sela napas yang tersengal, di sisa erang yang tertahan.

"Kalung ..." bisiknya pelan.

"Sayang ..."

"Kalungnya ..."

Di bawah cahaya pucat bulan, terlihat Shapira menggengam bandul kalung di lehernya.

"Berikan ini ... pada ... anak kita ..."

Dia merasa tubuhnya terangkat. Sang suami tertatih, berusaha membawanya entah ke arah mana. Sayangnya, tak ada arah yang bisa ditemukan. Semua yang ia lihat hanyalah pepohonan, dan pekatnya kegelapan. Hingga kemudian, ia merasa tangan itu lemah terkulai.


   Seorang wanita setengah baya berdiri di depan sebuah  makam dengan taburan bunga segar di atasnya. Di gendongannya, seorang bayi kecil berusia sekitar 6 bulan menggeliat sebentar, kemudian kembali tertidur lelap setelah dijejalkan sebotol susu di mulutnya.

Perlahan, tangan yang mulai berkeriput itu mengusap sudut mata. Mengingat kejadian 6 bulan lalu, dimana terjadi kecelakaan yang menimpa putri semata wayang dan menantunya di sebuah jurang tak jauh dari Rumah Sakit. Beruntung, seseorang menemukan mereka di dasar jurang dan segera memanggil bantuan, hingga nyawa cucunya bisa diselamatkan melalui operasi cesar.

Menantunya terus menyalahkan diri, berpikir kecelakaan itu adalah kesalahannya. Lalu sehari setelah kematian Shapira, dia pergi menghilang begitu saja. Bersama dengan kalung berbandul batu shapire biru yang seharusnya diberikan pada sang cucu.

"Shapira ..." terdengar suara wanita itu sesaat setelah menarik napas.

Hening.

"Shapira, aku datang bersama putrimu," ucapnya meneruskan.

Hening lagi.

"Seperti permintaan ayahnya sebelum pergi ..." Wanita itu mengelus pipi sang bayi mungil dengan tatapan penuh rasa sayang.

" ... kami memberinya nama, Shapira."

.

End

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Tak lama lagi bkalan jadi cerita panjang..