Coklat Abu Abu

in cerpen •  6 years ago 

Prolog

Entah bagaimana, tiba-tiba saja aku ingin mengunjungi Sekolahku dulu, salah satu sekolah yang kurang favorit di Kabupaten Cilacap pada masanya. SMA N 1 Sampang atau orang sering sebut dengan julukan SMA “Mblabag” (Papan kayu. red). Sekolahku terletak ditengah-tengah komplek persawahan, yaaaa pada saat itu sekolahku masih sangat kurang “menarik” dibanding beberapa sekolah favorit yang ada.
Aku memutuskan untuk mengunjungi sekolahku itu seusai bimbingan proposal penelitian Tesisku. Mumpung aku berada disini pikirku,akhir tahun ini aku harus kembali ke tempatku bekerja. Aku adalah pegawai di salah satu Universitas Negeri di Papua. Sekarang ini aku berkesempatan untuk melanjutkan studi untuk mendapatkan gelar magister di bidang pertanian, aku memutuskan untuk mengambil Universitas yang dekat dengan Kota kelahiranku yaitu Cilacap, selain karena bisa lebih dekat dengan orang tua dan keluarga yang selama 7 tahun ini tidak pernah kutemui, aku juga masih bisa bertemu dengan teman-temanku dulu. Yaaaa. . .7 tahun bukan waktu yang sebentar.

Serpihan Masalalu

Siang hari, aku sudah menyelesaikan bimbinganku, aku bergegas menuju Sekolahku itu, motor Vixion merah lawasku meluncur perlahan. Ada rasa yang sedikit menggelitik dalam benakku, apa yang aku pikirkan, ini hanya kunjungan ke sekolah, apa karena banyak kenangan dulu yang susah untuk dilupakan, mungkin saja iya, dan mungkin saja tidak. Entahlah. . . .
50 menit berselang, aku sampai di gerbang Sekolahku, ada perasaan sedikit ragu saat akan masuk kedalam. Aku menarik nafas panjang dan bergegas memakirkan motorku di dekat lapangan basket. Aku memandang sekeliling sekejap, sambil mengangguk angguk kecil aku berdecak kagum, sekolahku yang dulu terlihat kurang “menarik” sekarang terlihat bagus. Luar biasa perkembangan selama 7 tahun ini. Tidak lama berselang, seorang berseragam hitam menyapaku,
“ Selamat siang pak. . .”, sapa orang itu
“Selamat siang pak. . .”, timpalku sembari tersenyum lebar dan berusaha meraih tangan orang itu untuk bersalaman
“Maaf...bapak siapa dan ada keperluan apa ya kesini?”, tanya orang itu heran namun masih menunjukan senyum sopan
“Maaf pak, saya Yudhistira, saya alumni sekolah ini, saya hanya ingin berkunjung, apakah tidak papa pak?”, tanyaku
“ Oh. . .silahkann pak silahkan masuk, saya Badrun pak, satpam di sekolah ini”, jawabnya ramah sembari mempersilahkan saya masuk ke dalam area sekolah
“ Terima kasih banyak pak, saya hanya sebentar disini, mungkin hanya berkeliling sebentar saja untuk mengobati rindu saya pak”, ucapku dengan senyum yang lebih lebar lagi sembari sedikit membungkuk ijin pamit masuk kedalam area sekolah, Pak badrun membalasku sedikit membungkuk dan senyum tanda mempersilahkan.
Benar saja yang ada dalam bayanganku, sekolahku sekarang semakin bagus, tertata dan terlihat lebih berkelas, sawah yang dulu masih ada beberapa petak di dalam area sekolah sekarang dirubah menjadi Masjid besar yang indah, Lapangan voly yang dulu seadanya kini terlihat semakin terawat, ruangan kelasnyapun sekarang bertambah banyak, bahkan sekarang dirubah menjadi gedung berlantai dua. Kantin-kantin yang dulu berdiri seadanya dengan bangunan semi permanen, sekarang menjadi lebih tertata dan sangat rapi, aku penasaran, apakah masih orang-orang dulu yang berjualan disitu, akupun langusng menuju ke kantin sekolah langgananku dulu.
“Monggoh mas pinarak (silahkan mas masuk), .”, teriak seorang Wanita tua dengan sopan dari dalam kantin,
“Nggeh bu. . .”, aku masuk kedalam dan langsung menuju Wanita tua itu, “Sugeng bu? (Sehat bu?)”, aku meraih tangan Wanita tersebut dan langsung mencium tangannya, beliau mengernyitkan dahi,
“Kie sapa sih yah? (Ini siapa sih ya?)”, tanyanya heran
“ Sapa wiiisss?? (Siapa hayo?)”, jawabku sambil tersenyum, “Yudhis bu, kemutan mboten? (Yudhis bu, ingat tidak?)”
“Subhanallah, Yudhistira apa yah?masya allah, deneng gede temen siki?sehat mbok?nang ndi bae siki?@#@#@#@#@##@#@###@@#” dan banyak sekali pertanyaan yang beliau lontarkan, intinya beliau kaget dan tidak percaya bisa melihat aku lagi. Beliau juga terkejut dengan perubahan badanku yag dulu sedikit proporsional berubah menjadi “babi potong”.
Setelah sedikit bercengkerama dan bercerita, saya memesan segelas es teh dan 3 mendoan. Tidak lama ibu kantin mengantarkan pesananku, sambil menikmati es teh yang kupesaan, pandanganku menyapu seluruh sudut kantin, tidak ada yang spesial, hanya ada beberapa siswa sedang menikmati jajanannya dan seorang Wanita yang duduk tidak jauh dari tempatku duduk. Wanita itu mengenakan kaos merah berkerah dan celana jeans hitam, aku sedikit memperhatikannya lebih dalam, dan tiba-tiba jantungku seakan berhenti berdetak dalam beberapa detik, keringat mengucur pelipisku, ya ampun!!!aku mengenalnya!!!bukan hanya mengenalnya, aku sangat mengenalnya!!!
Aku mendekati Wanita itu, dan dengan hati-hati bertanya,
“Charisma Arum Rinengga?”, tanyaku perlahan

Wanita itu menoleh dan tersenyum simpul,
“Yudhistira Kuncoro Adi?”, timpalnya
Saat iu juga keringatku semakin bercucur deras, dadaku berdegup semakin kencang, kakiku sedikit gemetar. Dia wanita spesial yang dulu pernah mengisi hidupku, wanita hebat yang seharusnya tidak kutinggalkan, wanita yang menangis saat aku memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di Papua, wanita yang dulu sempat bermimpi bersamaku untuk membangun keluarga kecil yang bahagia!!!! Yaaaa, dia Charisma Arum Rinengga, biasa dipanggil Riris, seorang wanita dengan postur tubuh tidak terlalu tinggi, kulit kuning langsat, wajah cantik, ramah, dan pintar. Aku berpacaran dengannya semenjak aku duduk dibangku kelas X, dan sampai lulus sekolah aku masih berpacaran sampai akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke Papua untuk melanjutkan kuliahku. Masih teringat jelas tangisnya waktu itu, tak tega meninggalkannya namun harus, saat itu aku harus memilih antara cinta atau masa depanku. Aku memutuskan tetap pergi mengambil kuliahku, karena jika aku tetap disini pada saat itu, orang tuaku tidak bisa membiayai kuliahku. Keputusanku pun tak sia-sia, syukur alhamdulillah sekarang aku malah berkesempatan mengambil study magisterku. Allah memang selalu baik.
Selama di Papua, Riris tidak pernah mau memberiku kabar, tidak mau berhubungan denganku sama sekali, aku memakluminya, karena memang berat untuknya, begitupun bagiku. Tiga tahun berselang dan aku mendapatkan kabar kalau dia sudah menikah, syukur alhamdulillah, dia mendapatkan lelaki yang siap bersamanya dalam suka dan duka. Aku memutuskan untuk tidak ingin mengetahui kabarnya lagi, toh dia sudah bersuami. Semoga dia bahagia pikirku.
“Dhis. . .hei!!”, panggilnya dengan sedikit memukul lenganku perlahan
“Eh. . . iyaaa”, aku terkejut, rupanya aku cukup lama terdiam memikirkan sedikit masa lalu itu, “Maaf ris. . .hehehehehe. . . .aku kaget banget bisa ketemu kamu disini, gimana kabarmu?”, tanyaku sambil duduk di bangku sampingnya.
“Alhamdulillah baik. . . kamu juga pasti baik kan, kamu terlihat “sehat”. . .”. sambil menggelembungkan pipinya dan mengangkat kedua tangannya seperti pose seorang pesumo
“Hahahahahha. . .iya iyaaaa, alhmdulillah aku sehat”, jawabku di ikuti dengan tawanya.
Kami berbincang cukup lama, sesekali aku memperhatikan mukanya, tidak banyak berubah, dia masih tetap cantik, masih tetap sama seperti Ririsku yang dulu. Obrolan kami semakin hangat, kami berccerita tentang pekerjaan kami masing-masing, dan bercerita tentang kelucuan masa lalu di sekolah ini. Tidak ada hal intim yang kami bahas, tidak ada sama sekali pembahasan tentang cinta kami dulu, cinta kami sekarang, keluarga kami masing-masing. Aku sendiri tidak mau membahasnya karena aku takut “sakit” mendengar cerita tentang keluarga bahagianya yang dulu sempat kami impikan.
“Eh ris. . kita lanjut ngobrol di luar aja yuk”, kataku sambil melihat jam yang sudah menunjukan pukul 15.30, “kamu mau?”, tambahku
“Boleh. . ayo”, jawabnya sambil mengemas barang-barangnya dan memasukannya kedalam tas kecil berwarna hitam
Akupun bergegas membenahi barang-barangku dan pamit kepada Ibu kantin. Segera ku berlari kecil mengejar Riris yang sudah keluar kantin lebih dahulu. Kami berjalan berdampingan sampai di depan pintu gerbang, aku pamit kepada pak Badrun yang saat itu sedang sibuk mengelap motornya.
“Kamu pake motor juga apa gimana ris?”, tanyaku penasaran
“Engga, aku tadi pake Bis kesini”, jawabnya
Aku memberanikan diri membuka pertanyaan ini kepadanya,
“Suamimu engga nganterin kamu?”, tanyaku sedikit pelan
“Heheheh. . .engga”, jawabnya singkat, “kenapa emang?oya. . istrimu dimana?”, tambahnya seolah ingin membalas pertanyaanku
“Ummm. . .adaaaa lah”, jawabku sambil tertawa, “udah ayo jalan, keburu malem”, tambahku sambil memasang helm dan menstater motor.
Kami menuju warung bakso di dekat pasar Sampang, tempat langganan kami dulu.
Setelah sampai, kami masuk, aku menyapu ruangan dengan pandanganku, tempatnya sudah berbeda, lebih luas rupanya, dan pemiliknya sudah bukan orang yang dulu lagi. Aku memesan mie ayam bakso dan segelas es teh, dan Riris rupanya masih sama seleranya seperti dulu, Bakso dan es Jeruk. Kami duduk di pojok ruangan, warung bakso ini berkonsep lesehan, jadi membuat pelanggan dapat duduk dengan santai. Sambil menunggu pesanan tiba, kami melanjutkan perbincangan kami disekolah tadi, dengan iseng aku mengeluarkan Smartphone ku, akun mengambil fotonya, dia pun kaget.
“Apa-apaan sih?”, tanyanya heran.
“Buat laporan aja kalo aku lagi makan sama kamu”, jawabku
“laporan sama istri?umm. . aku juga deh”, dia mengambil Smartphone nya dan juga mengambil fotoku, “impas kan jadinya”, tambahnya sambil tertawa menjulurkan lidah, persis seperti dulu.
“Buat laporan ke suami?”, tanyaku penasaran dan dijawab hanya dengan seyuman olehnya.
Kami bercerita dengan konsisten tidak sama sekali membahas kehidupan percintaan masing-masing dari kami. Aku tidak menanyakannya, begitupun juga dia. Walaupun ada rasa penasaran namun tetap takut untuk menannyakannya. Kadang dalam beberapa detik kami mengahbiskan waktu hanya dengan saling pandang dan diakhiri gelak tawa dari kami. Menyenangkan rasanya. Sampai tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 20.17. Dia tiba-tiba berdiri dan pamit untuk pulang, jemputan sudah datang katanya, ah. . suaminya pasti kupikir, aku bergegas membayar ke kasir dan berlari kecil mengejar dia ke depan warung. Benar saja ada sesosok lelaki yang sudah menunggunya, tapi sebentar. . . saya mengenalnya. . .yaaa. . itu adiknya, Ilham. Kenapa bukan suaminya yang menjemputnya?ah sudahlah, mungkinsuaminya orang yang sibuk. Dia melambaikan tangan dan tersenyum meninggalkanku. Aku membalas dengan tersenyum dan melambaikan tangan. Yaahh. . seperti itu hari ini berakhir, tidak terlalu spesial, namun cukup menyenangkan. Mengobati rinduku. Rindu yang terdengar salah untuk saat ini. Perasaan ini mungkin masih sama kepadanya, hanya keadaan yang membuatnya terlihat berbeda.
Aku bergegas segera pulang, ingin segera menulis tiap rasa yang tadi sangat mengumkan itu, membayangkan tiap senyumannya satu per satu. Aku suka menulis, dari dulu aku suka menulis, begitupun dia, tapi entah sekarang.

Bersambung

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!